.

MENGAPAI KE LANGIT, JEJAKNYA DI MANA?

Posted By: Abdullah Chek Sahamat - March 02, 2013

Share

& Comment

Rahsia Alam
Kesamaran pagi masih belum pulang. Kabut-kabut dingin masih menari-nari menyapa setiap yang dilewatinya. Ada yang kelelahan, terus hinggap di hujung dedaunan, bergumpal menjadi bintik-bintik mutiara indah, embun. Di ufuk Timur, sang pencerah alam masih mengeliat. Garis-garis sirna unggu kian memerak. Tubuh siang, hangatnya belum terasa, masih dingin. Di jendela, dia melempar pandangan kekejauhan. Gunung Santubung masih samar-samar dibalut embun. Dia menghela nafas segar pagi. Beberapa kali. Perlahan-lahan. Panjang dan dalam.

(2) Munsyi berjalan keluar dari appartmentnya dengan langkah biasa. Tidak pantas. Tidak longlai. Seperti biasa. Biasa-biasa saja. Sebiasa embun menyerap hangat sirna mentari, lalu menyejat perlahan-lahan dengan pasti. Tadi malam, lenanya enak sekali. Fikiran, jiwa dan jasadnya bersatu kukuh. Dia kelihatan segar cakep sekali. Dia ingin awal ke pejabat, kantor. Enjin kereta, mobil dia hidupkan. Berdeham dan menderu saat pedal minyak dimain-mainkannya. Dia bermain-main sebegitu sekitar dua minit, seperti mengkhabar perintah kepada mobilnya, siap untuk meluncur. Matanya melihat-lihat ke cermin libas belakang, sisi kanan dan kiri. Segalanya lapang, lalu dia mundur melibas ke kanan. Sebaik-baiknya langkah awal dalam setiap perjalanan harus dimulai dengan langkah atau arah ke kanan. Itu jadi langkah permula hari-harinya. Saat tangan dan kakinya sedang sibuk mengendali mobil, mulutnya kumat-kamit membaca surah Al Fathihah, Al Ikhlas, Al Falaq, Al Naas dan Kursi. Itulah surah-surah yang banyak hikmah dan kekuatannya. Dia sadar, dia hanyalah seorang hamba yang cukup kekurangan. Dia menyandarkan kepada Allah Yang MahaBerkuasa untuk merahmatinya dengan perjalanan yang lurus, dan terpelihara dari segala hadangan. Dia mengharap perjalanannya penuh limpahan barakah.

(3)Saat beban kerja mengunung, pasti sebegitulah caranya. Memandu nyetir perlahan-lahan dengan penuh tenang ke kantor, sambil menyerap batin awal siang menjadi kekuatan dan tenaga buat khidmat baktinya di sepanjang hari. Sebegitulah keyakinan dirinya. Namun tidak hanya tergantung oleh soal kerja, sememangnya sebegitulah tabiatnya hari-hari. Itu budaya pribadinya. Jati dirinya. Segalanya harus diawalin. Tidak suka berlengah-lengah, ngak tangung-tangung. Buat Munsyi, hidup ini sekadar sekelumit waktu. Terbatas sekali. Sedang yang harus dihambat, syurga terindah, syurga terbaik memerlukan amal-bakti yang sangat besar. Dia berfikir, jika dia ingin sering bersama syufaat Muhammad SAW di syurga nanti, maka pengorbanannya buat Ummah dan Islam harus lebih hebat dari manusia biasa. Untuk itu, perjuangan maha hebat di setiap pagi adalah melawan nafsu malas, melawan rasa ingin terus bermalas-malas di kamar tidur. Dia harus bangkit awal, saban harinya seharusnya sebegitu. Memulakan segala seawalnya, selekasnya, gelis. Syukur ayahnya, sejak dia masih anak-anak lagi sudah mendidiknya sebegitu, bangkit awal lalu terus mandi, adus bersamanya ke perigi yang airnya dingin mengigit. Alah bisa tegal biasa. Dia sudah biasa terdidik agar sentiasa awal. Paling kalau ngak terusan ke kantor, dia akan muter-muter berkeliling kota atau ke kebun bunga yang terdekat dan menghirup hawa pagi di sana, sambil menari-narikan jemarinya mengumpul tetes-tetes mutiara embun di hujung dedaunan. Lewat amalan awal ke kantor, Munsyi ngak perlu buru-buru, kerusuhan kerana jalan belum sesak teruk, macet. Panduan, nyetirnya pasti santai saja. Tingkap mobil bisa dibuka seluasnya. Bisa dia menyaksi burung-burung dan rama-rama berterbangan merayakan awal pagi; menari-nari simpang siur. Sekurang-kurangnya dia bisa melihat warna-warna indah sayap mereka. Sangat menghiburkan menikmati keindahan warna-warna alam seawalnya. Saban harinya, dia ingin memulakan segalanya dengan penuh warna-warna alam. Dia ingin seluruh alam pagi untuk bersamanya. Dia seperti mengharap agar dingin sepoi-sepoi angin pagi serta sirna unggu indah awal mentari mengamit serta mengucap selamat atas perjalanannya. Saat sebegitu, segala nikmat Allah terasa menyapa lembut ke mukanya, dan kerana itu sering dia balasi dengan tasbih SubhanaAllah WalaIlla Hailla WallahuAkhbar sebanyaknya. Dia sangat mengharapkan agar nafas Allah, lewat udara pagi yang dia hirup, sedot mengisi seluruh jatungnya lalu mengalir meresap bersama darah-darahnya menerobos setiap sel menjana segala kekuatan dan ketulusan yang dia perlukan, butuhkan.

(4) Namun, terkadang dia merasa hiba sendiri, menetes airmata dalam diam, sebel kenapa dia tidak pernah cuba mengerti akan hikmah dan nikmat Allah sebegini seawalnya. Tidakkah Dia sudah berpesan agar dia ...sholat pada waktunya, kemudian bertebarlah mengejar hidup ini.... Dia menghitung, sekian lamanya dia sangat patuh pada masa saat mengejar hidup, sedang melalaikan penghadapannya kepadaNya. Sebel kerana dia hanya sekadar tahu tetapi ngak mengerti, betapa menepati waktu banyak hikmah dan nikmatnya. Juga dia kini kian mendasari, akan maksudNya, ...betapa segala sesuatu itu punya waktu dan peraturannya tersendiri.... Umpamanya, nikmat sepoi-sepoi pagi, saban hari ianya hanya hadir dari mulai subuh sehingga waktu fajar mulai mengeliat di ufuk timur. Maka untuk menikmati keindahan dingin pagi, dia harus sudah bersama alam pada saatnya sebegitu. Tidak awal, tidak lewat, telat. Begitu juga, hening pagi, akan hadir dari sekitar jam 0530 sehingga 0630, kerana suhu tubuh alam mulai bertukar hangat dari dinginnya malam. Sesungguhnya, tanpa dia sadari, waktu itulah Allah mewajibkan sholat Fajr, saat di mana para malaikat akan bertukar giliran bertugas menjagai dirinya. Bukankah indah, saat sekelompok malaikat akan berangkat ke Syurga menyembah catatan, melapurkan prihal dirinya, saat mereka akan berangkat betapa dia sedang sujud tawaduk kepada Penciptanya. Juga, saat sekelompok akan hadir bersamanya sehingga waktu Assarnya, mereka juga sempat mengucap Amin di atas segala permintaannya semasa sholat Fajrnya. Sesungguhnya, Munsyi telah alpa untuk mengerti, betapa alam sebetulnya bangkit bersama Azan Fajr. Azan Fajr adalah tanda mulanya hari, dan bertukar giliran tugas para mailaikat dalam menjaga Muslimin. Inilah hikmah batiniah yang Munsyi baru sadari, dan dia benar-benar sebel tidak mengerti akan prihal ini seawalnya. Di saat itulah para unggas bangkit sama meraikan dan mensyukuri bangkitnya lembaran baru dalam hidup mereka. Juga pada saat itulah, kelopak-kelopak bunga memekar untuk menerima sisa-sisa tetes-tetes embun dan kucupan pemula hangatnya alam. Indah, jika dimengertikan bukan sekadar tahu.

(5) Sesungguhnya, bangkitnya pagi, adalah penuh dengan segala kelembutan sebetulnya. Lembut, selembut menantap mata bayi yang mulai terbuka, dengan jari-jari mungilnya mengeliat terkepal lalu mengusap-ngusap wajahnya, bangkit bersama alam. Sesungguhnya, dibening subuh, seluruh alam bangkit mensyukuri majlis Change of Guard para malaikat yang mengawasi dirinya. "SubahanaAllah, aku tahu, tetapi aku tidak mengerti hikmah dan nikmat yang Allah selindungkan sebermula dari kamar tidurku membawa kepada maha besarnya Kamar alam yang telah Dia bentangkan. Tuhan, Al Haq, syukur aku masih punya waktu untuk mengerti dan mensyukuri keberkuasaan dan kebenaranMu. Allah, dengan namaMu yang MahaMerahmati dan MahaPengasih, Bismiilah HirRahman NirRahim, kupohon semoga Engkau bersihkan hatiku, fikiranku, tubuhku dari segala kotoran serta menjadikan aku aku untuk lebih pemurah berkongsi seluasnya dari nikmat yang telah dan bakal Engkau datangkan kepadaku. Ya Allah jadikanlah aku seorang yang bersyukur dan merendah diri." bisik hatinya. Matanya berkaca-kaca. Namun dadanya lapang dan senyum indah terukir di bibirnya. Mobilnya meluncur pelan, tenang.

(6) Begitu juga saat pulang kerja, Munsyi paling ngak suka pulang lewat petang, sore atau malam, hanya untuk menghabiskan, memberesin kerja-kerja yang mengunung, melainkan jika terlalu terdesak, gawat atau untuk mengelak jalan macet saat hari hujanan atau ada kecelakaan di hadapan. Pengertian Munsyi, di awal pagi, tenaga dan fikirannya pasti akan lebih hangat dan tajam sepertinya sang mentari yang sedang merentas, meneter langit. Jika sudah kesorean pasti segalanya sudah lesu dan tumpul, kurang mempan. Dia cuba mengamati apa yang Allah telah pesankan, betapa biar dalam peredaran hari, itu juga adalah tanda-tanda kebesaranNya. Allah sesungguhnya menjadikan siang agar apapun mahlukNya, menafaatkanya sebagai siang. Sedang malam harus diperlakukan sebagai malam. MahaBerkuasa Allah, segalanya telah ada waktu dan peraturannya. Faham Munsyi, umpamanya, segala binatang akan ghairah mengawan di siang hari, sedang tidak sebegitu tabii manusia. Malam adalah bahagian waktu bersengama buat manusia agar para syaitan sukar merasuknya. Begitu juga, saat siang segala hidupan berklorofil akan menjana panganan sedang manusia akan makan. Sedang di waktu malam, segala tumbuhan enak makan, sedang manusia harus istirehat menjana tenaga buat bekalan segala usaha siangnya nanti. Sesungguhnya sebegitulah sebahagian contoh akan kehendakNya. Sebegitulah manusia seharusnya melakukan hidup ini. Melakukan aturan hidup pada waktu-waktunya. Sesungguhnya, tertanam dalam hatinya, betapa sholat pada waktu-waktunya tertentu adalah sebagai caranya Allah menandakan waktu-waktu bagi segala perlakuan yang seharusnya UmatNya ikuti kuat. "SubhanaAllah. Itulah MahaBijaksananya Allah", desah Munsyi penuh sadar. Maka pasti lebih baik, pulang kerja awal, dia bisa sholat Maghrib dan membaca Al Quran dengan santai. Jika mahu ke Masjid berjamaah, pasti punya kelapangan yang secukupnya. Tidurpun pasti bisa awal, dan dengan itu dia pasti punya daya untuk sholat Tahajjud lalu Subuhan. Paling ngak dia punya masa untuk membaca apa juga buku yang sesuai dengan kebutuhan kerjanya.

(7) Kebetulan mumpung kemarin saat berpengajian di Pesantren CiJinJing, Pergunungan Halu, Badung Barat Kiai Mas Chang Nana, sudah berpesan, betapa Allah itu lebih dekat dengan hambanya di waktu awalan subuh. Maka, bangkit dan bersamaNya di waktu sebegitu harus diamalkan. Itulah Sunnah, itulah ikutan para sahabah. Nasihat Pak Kiai juga, coba mengertikan, saat orang lain sedang leka, "kita menghadap boss, lalu bercerita dan berencana bersamanya, apa mungkin kita tidak jadi paling istimewa di sisi boss kita? Sebegitulah kita di mata Allah jika kita sering Tahajjud kepadanya, tanpa kita melalaikan sholat wajibnya". Lagi, istimewanya jika pulang awal, tidurnya sering saja kecukupan, enam ke tujuh jam dan itu adalah penting buat menjaga kesihatan dan kesegaran tubuh. Paling bagus, saat bangkit, dia berasa damai dan bertenaga, lalu jiwanya menjadi lebih tenang untuk menghadapi segala kerjaan biar seberat mana sekalipun bebanannya. Bahunya, pundaknya, dapat berdiri kuat. Sebegitulah perhitungan Munsyi di balik sikapnya yang suka ke kantor awal pagi serta kembali setepatnya jam lima sore. Pokonya, dia berpegang kepada aturan, jika kerjaan dibuat penuh rencana dan tumpuan, pasti segalanya bisa diberesin pada waktunya.

(8) Di Kantornya, sejak dari jam 07.00 tadi Munsyi telah berulang-ulang kali meneliti beberapa Kertas Cadangan Pelan Pembangunan Usahasama Perladangan khusus yang terkait dengan kawasan yang melibatkan masyarakat Melayu Matu-Daro, di sebuah kawasan terpencil, yang kemarin tidak sempat dia semak. Bolak balik dia menyemak Kertas tersebut. Dia merasa ada yang kurang lengkap. Ada yang tercicir. Ada yang belum dipedulikan penuh. Kertas tersebut diletaknya bertul-betul di depannya. Dia mnegundur kerusi empuknya ksedikit ke belakang. Dia bertompang kaki. Dia berpeluk tubuh. Matanya tajam memerhati Kertas tersebut. Dia merenung tajam. Dahinya berkerut. Sebegitulah sikapnya saat dia mencari akal. "Oh. SubhanaAllah. Apa matlamat akhir Projek ini? Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Apa bisa itu tercapai baik?" dia bersoal jawap sendiri. "Bagaimana seharusnya modus operandi Projek ini jika kemakmuran dan kesejahteraan rakyat hendak dicapai? Apa bahagian rakyat, dan apa bahagian pelabur?" dia terus berhujah bersendiri. Bahasa Tubuhnya bertukar. Hanya tangan kirinya memeluk tubuh. Lengan tangan kanannya mengempit kuat tangan kirinya. Jari-jari tangan kanannya tergengam kuat dan menutup mulutnya. Olahnya seperti persilat siap untuk menyerang. Kedua kakinya digoyang-goyang kuat. Dia seperti sedang membantu jantungnya untuk mengepam darahnya agar mengalir deras ke kepalanya. Otaknya perlukan lebih banyak oksijen segar untuk dapat berfikir luas dan tajam. "MasyaAllah. Kertas ini harus membentangkan bagaimana rakyat dan pelabur harus terus makmur. Kerjasama ini harus kerjasama yang memakmurkan. Kedua-dua harus bersama sejahtera berpanjangan. Ya Allah. Projek ini harus mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama berkekalan. Yah! terus kepalan tangan kanannya bertemtum menghentak meja di depannya. Lalu perlahan-lahan dia meneliti setiap perengan dari Kertas tersebut. Dia mencari-cari apa ada kemungkinan saranan Model Jaringan dan Rantaian Perusahaan yang tersedia buat rakyat. Puas dia membelek-belek. Tidak dia ketemui. Astarfirullah Halazim. Dia mengeleng-geleng kepala. Apa yang dia dapati rakyat, pemilik tanah hanya terlibat di peringkat pengeluaran sahaja. Sedang, perusahaan perladangan boleh menjana perusahaan-perusahaan lain bertali arus bentuknya. Bidang huluan, pemprosesan dan hiliran lainnya sepertinya rakyat tidak kebagian. Apa lagi yang dinamakan perdagangan, rakyat langsung terisih minggir. Sepertinya, rakyat tani, harus terus hidup hanya sebagai petani. Sekadar bercucuk tanam. Terbatas dalam bidang pengeluaran. Itulah keahlian mereka. Mereka haruslah tetap di situ. Mereka terhukum sebegitu. Suatu pandangan yang sangat patuh pada saran ahli ekonomi Barat, Smith betapa pengkhususan kerja itu harus ada dan mesti dipertahankan, the best should do the best menunjang jauh dalam akal fikiran anak bangsa yang terdidik sebegitu. MasyaAllah. "Apa maksud Muhammad SAW berpesan, betapa sembilan dari sepuloh rezeki hidup adalah dari perdagangan? Umat Islam cukup ingat akan pesanan itu, namun ingatnya sekadar ingat, mengertinya jelas polos. Juga apakah erti dagang dalam pesannya Muhammad SAW, apakah ianya hanya terbatas pada kegiatan jual-beli atau lebih luas dari itu?" keluh sesal Munsyi. Kekurangan Kertas tersebut terpampang luas di depannya. Paling dia takut, apakah semua ini tidak akan sama saja dengan Model Monopoli Perusahaan para penjajah Belanda di Filipina dan Indonseia ditahun-tahun 1800an-1900an dulu, yang kini terus diamalkan di Agentina, Brazil, Chile dan Mexico, yang terus mencekek rakyat kekal dalam kemiskinan dan kemalaratan."Di manakah khilaf dan atau silapnya? Apa semua ini tidak kerana para pegawainya bersikap bekerja sekadar bekerja, tanpa ada rasa kebersamaan rakyat? Atau mereka sedang terlalu mentah untuk mengerti, betapa adalah tugas azali setiap mereka untuk sama-sama sering mementingkan kesejahteraan Ummah?" perlahanh-lahan dia menarik nafas sesal yang sangat dalam.

(8) "SubhanAllah. Sesungguhnya, Ya Allah, UmmahMu kini sepertinya kian melupakan sejarah. Tidak mereka sadar sebahagian besar dari segala FirmanMu adalah prihal sejarah untuk mereka berkaca diri. Mereka lupa sejarah payahnya menegakkan Islam. Mereka lupa payahnya mendirikan bangsa. Mereka lupa, Negara ini berdiri lewat limpahan perit pedihh air mata, keringat, darah dan nanah para moyang mereka. Mereka kian lalai dengan hambatan hidup kini yang bermewah dan mudah-mudah. Mereka tidak nampak musibah bangsa dan agama di depan sedang menanti." rumus Munsyi dalam sesal yang sangat dalam. Sambil terus membelek-belek Kertas di tangannya, Munsyi mengimbas, betapa dulu nenek moyangnya, sebelum Belanda datang menjajah adalah merdeka berdaulat. Merdeka dan berdaulat. Bebas dan mandiri. Mereka, seisi keluarga, sekampung, bahkan seluruh warga Palembang, Rhiau, Batawi, dan Sambas tempat tumpah darah nenek moyangnya, bebas sebebasnya bertani, bersawah, memburu, menangkap ikan, dsb. Bumi mereka adalah milik mereka. Mereka bebas menuai mengarap apa saja buat kehidupan mereka. Namun saat Belanda sudah berkuasa, tanah-tanah mereka dirampas, dan mereka dipaksa menanam tanaman wajib seperti getah, kopi, tembakau, tebu dsb. Tanaman makanan panganan kian tersisih. Rakyat dipaksa bekerja di kebun-kebun tanaman wajib milik Belanda. Upahnya tidak seberapa. Kemiskinan mulai menular ke mana-mana. Makanan kian bertkurangan. Kehidupan rakyat kian susah. Namun mereka tiada daya untuk bangkit membantah lantaran tubuh mereka sudah kian kurus tiada bermaya. Fikiran mereka juga telah buntu dan terkurung. Jiwa mereka jadi kian pengap dan mengalah. Namun, syukur berkat masih tersisa jati dirinya Adam AS dalam tubuh para moyang, buyutnya, mereka berjalan merendah belantara menyeberang Selat Melaka lalu terdampar di Borneo dan kini menumbuh segala waris, namun tetap juga masih terpenjara cara lainnya. Merenung semua ini, Munsyi jadi geram membara, gemes gergeten.

(9) Dalam benak Munsyi, dia kian merasakan betapa kehebatan bangsanya satu-persatu kian pudar ditelan zaman. Sayang. Pencak silat. Kuntau gayung. Keris lok tujuh. Keris lok sebelas, semuanya sudah tersarung, banyak sekadar penghias dinding atau almari kaca. Kian berkarat. Sekadar penyeri majlis apapun. Bukan untuk asalnya ia tercipta. Perkisahannya adalah hanya sebuah cerita, tanpa pembuktian. Semuanya kematian jatidiri. Kenapa? Munsyi melihat, betapa keris, pencak silat, kuntau segala, hanyalah sekadar kemahiran dan persenjataaan untuk bertikam sesama Melayu. Tidak lebih dari itu. Kerana musuh kini adalah bukan Melayu, maka keris dan pencak silat tidak boleh digunakan untuk menantang mereka ini. Inilah keanihan Melayu. Mereka hanya punya, segalanya untuk hanya berperang sesama Melayu. Majapahit lawan Sri Vijaya. Majapahit lawan Melaka. Langkasuka lawan Melaka. Demak menantang Sambas. "Begitulah Melayu. Dulu, kini, selamanya apakah terus saja akan tetap sama?" desah Munsyi cukup sebel

(10) Saat kemerdekaan sudah tergarap segalanya tetap serupa. Tanah yang dirampas dari rakyat terus kekal milik perusahaan. Di Mexico adanya Montoya menguasai segala, di Palembang, Rhiau, dan Batawi Pak Juragan mengambil kuasa. Dulu, Juragan adalah para captain kapal perang Belanda, yang menjadi Little Napolean membentuk perusahaan tersendiri di tanah-tanah jajahan. Kini, Juragan adalah anak pribumi yang telah diwasiatkan untuk menjaga kepentingan Belanda yang sudah kabur. Lalu, biar perushaan kemudian telah dimilik Negara, tanah-tanah asalnya milik rakyat yang dirampas, terus jadi milik Negara. Rakyat dalam sebuah Negara merdeka, biar sudah bernegara, namun Negara tetap menghakmilik rakyat. Segalanya terbalik. Dulu Negara milik rakyat, kini rakyat milik Negara. Rakyat seperti telah termakan janji, saat merdeka, pasti segalanya berubah. Negara makmur, rakyat sejahtera. Kini, Negara makmur, rakyat susah, rakyat payah kian bertambah. Semuanya kerana apa yang disebut sebagai bijakpandai anak-anak pribumi, terlalu patuh akur tentang didikan cara Barat yang telah menunjangi pemikiran mereka. Harta Negara harus diurus oleh perusahaan sedang rakyat harus hanya menerima kebajikan Negara dari hasil cukai, pajak. Tanpa sadar, Barat terus saja ingin menguasai kehidupan rakyat bekas tanah jajahan lewat ideologi pendidikan mereka. Barat dengan sengaja menekankan agar rakyat adalah milik Negara, biar Negara menguruskan rakyat, bukan rakyat mengurus Negara. "MasyaAllah. Negara mengurus rakyat. Sepertinya alam mengurus manusia. Bukankah itu kebalikan dari fitrah tujuan kejadian manusia? Manusia yang seharusnya mengurus alam. Bukan alam mengurus manusia. Rakyat seperti dinafikan hak kepemimpinan mereka. Manusia tercabut dari tugas kekhalifahan mereka." keloh Munsyi dengan nafas yang sangat berat. Barat sengaja mendidik anak bangsa agar menterbalikkan fitrah Allah. Sebabnya, agar mereka terus saja boleh menguasai segelintir pemerintah Negara biar telah merdeka akan terus jadi kuda tunggangan. Barat, atas iedologi pemikiran bertunjangkan kapitalis Yahudi, licik hati dan akal mereka, dalam menyesatkan dan menghancurkan Muslimin.

(11) Para bijakpandai pribumi sepertinya belum mampu merumus bagaimana seharusnya bentuk perusahaan yang dituntut oleh Allah. Perusahaan kini adalah ibarat sekawanan serigala dalam kandang sekawanan kancil. Serigala enak membaham kancil, sedang kancil hanya bisa berteriak terkurung terkorban satu-satu. Itulah yang menyebabkan hati Munsyi menjadi gelisah melihat percaturan alam haloba manusia yang tidak pernah serik memangsa antara satu sama lain. Apa lagi dulu tanah anak bangsa yang hanya sekangkang kera kini kian susut hilang tergadai tinggal sejengkal menjadi rebutan tidak berkesudahan.

(12) Para pegawai yang dia arahkan untuk merumuskan Kertas Cadangan Usahasama Pembangunan Tanah Rakyat secara Koprat di Matu-Daro dan kawasan-kwasan terpencil lainnya telah lupa untuk meneliti tentang kehidupan masyarakat sasaran. Mereka terlupa untuk meneliti pola pendapatan rakyat. Tentang taraf pendidikan mereka. Tentang pola pekerjaan mereka. Tentang pola milikan tanah mereka. Paling ketara, pegawai-pegawai berkenaan tidak langsung memikirkan tentang keperluan untuk terus mencari jalan bagaimana untuk mengekalkan peningkatan berterusan pendapatan rakyat sasar. Inilah akibatnya, bila penjawat awam sudah terlalu jijik apa lagi menjadi buta, bisu dan pengap tentang kehidupan sebenar rakyat yang seharusnya mereka tadbir dengan sempurna. Munsyi berkira, hati dan fikiran mereka sudah sangat terpisah dari nurani rakyat. "Nampaknya, terpaksa mereka ini terus dididik dan dididik. Membuka mata, membuka telingga, membuka hati, membuka fikiran mereka seluasnya. Kapan kiranya, baru mereka sadar, tidak alpa? Ya Allah, sesungguhnya aku sudah penat, capek bener, namun janganlah Engkau hadirkan sikap mengalah padaku." keloh Munsyi separuh membentak penuh sesal. Jelas wajah sedih merambat ke seluruh kulit mukanya. Dia kelihatan sedih sekali. Matanya mulai berkaca-kaca. Beberapa kali dia menarik nafas panjang untuk mendamaikan dirinya. Syukur, lewat akhir-akhir ini, Munsyi tidak putus-putus mencari kekuatan dan akal lewat banyak pembacaannya. Dalam salah satu pembacaannnya, betapa dia insaf akan prihal Nabi Yunus AS ditelan ikan Nun. Sesungguhnya, hampir 1,000 tahun Nabi Yunus AS berdakwah kepada umatnya, namun seorangpun mereka tidak mengindahkannya. Allah sepertinya dengan sengaja mengagalkan Yunus AS, sehingga baginda kecewa, marah dan kabur pergi, sedang Allah tidakpun mengizinkan baginda berbuat sebegitu. Yunus AS sangat kecewa, marah dan mengaku kalah tanpa keizinan Allah. Lantaran itu, dalam perlarian baginda, Yunus AS telah ditimpa musibah, terhukum, dibuang ke dalam laut lalu ditelan ikan Nun, paus gergasi. Saat sebegitu, baru baginda sadar betapa Allah telah murka kepadanya lantas baginda bertasbih "Lailla Hailla Anta Subhannaka Ini Kuntu Minazolimin" merintih mengakui tentang kekhilafannya menyerah kalah sebelum waktunya. Tempoh hampir 1,000 tahun berdakwah, tanpa dipedulikan, pastinya adalah suatu ujian yang terlalu berat buat Yunus AS. Begitulah juga ujian yang terpaksa di tempoh oleh Nabi Noh AS. Biar berhempas pulas berdakwah, namun hanya lapan puloh orang, termasuk tiga ahli keluarga baginda sahaja yang benar-benar patuh akan ajarannya. Yang paling mendukacitakan, anak dan isteri baginda sekalipun tetap tidak akur kepada seruannya. Muhammad SAW tidak terkecuali, bila Abi Thalib, ayah saudara baginda sendiri, antara orang yang paling percaya terhadap wahyu Allah, tetap pergi tanpa Shahadah. Allah sebegitulah MahaBijaksanaNya dalam mengatur rencana buat pedoman manusia lainnya. Sesungguhnya, dalam menghambat kebajikan buat Ummah, siapapun tidak harus punya rasa kecewa dan berputus asa tentang kecapaiannya. Sesungguhnya, manusia harus hanya berusaha dan kejayaan akan sesuatu usaha itu adalah terletak di tangan Allah. Sebagai hambaNya yang taat, manusia hanya harus berusaha, dan apapun kesudahannya, manusia hanya boleh redha. Redha jika gagal. Bersyukur dan pemurah saat ada kejayaan. Prinsipnya, sabar dan syukur dalam apa juga perkara adalah tuntutan mutlak Allah bagi mencapai sebarang kemungkinan.

(13) Pendeknya, Kertas yang digubal seolah-olah mengusulkan betapa pelabur mendapat segalanya, sedang rakyat hanya bisa menjilat, lamot sisa-sisa kuah, dodoh, itupun jika masih ada, kebagian. Semuanya terbuat lewat teladan kapitalisma silam. Mengertinya, terus-terusan meneladani yang sudah-sudah. Tidak diperhati dan dirasakan keresahan sosial semasa rakyat, apa lagi di masa depan. Munsyi merasakan prinsip-prinsip usahasama antara rakyat dan perusahaan, banyak yang harus diperbaiki. Sambil melayang pandangannya pada barisan Gunung Sampadi di kejauhan, hatinya tiba-tiba membentak: "Kenapa tidak dilihat pada sepohon Meranti, diptocarp yang menjulang di Hutan Gunung. Saat perkasa, gagah berdiri menaungi segala, Meranti Gunung meluruhkan rambut-rambut dedaunan dan jari-jari rantinnya agar segalanya mereput menjadi makanan segala macam serangga, cacing dan kulat, jamur dalam berbagai warna dan coraknya. Kemudian segala serangga, cacing dan jamur mati mereput lalu jadi hidangan lazat Meranti Gunung. Di tubuh pohonnya yang tidak pernah halus dan licin, mengerutu, menjadi rumah penginapan segala semut dan tumbuh-tumbuhan pemanjat dan pengurai, saprofit. Lumut-lumut paling banyak menghijau di situ. Di dahan-dahannya yang tegar, bergantungan para tumbuhan penumpang, epifit, dari keluarga pakis dan orkid. Dalam rimbunan segala tumbuhan tumpangan itu, bersarang segala tikus dan ular. Di situlah, saat kelam malam bercahaya rembulan penuh, Sang Pungok, seperti bersenandung bagai Yusuf dan Zulaikha di batas-batas perparitan Khahirah. Sebetulnya, Sang Punggok sedang memburu tikus dan ular agar keluar dari persembunyian mereka lalu kemudian jadi santapan enaknya, agar para burung tidak kemudian bertangisan kehilangan telur dan anak-anak mereka, di telan ular dimamah tikus. Di celah-celah rantingnya, burung-burung bersarang, berasmara, berkeluarga, menari-nari bersenandung memuji kemurahan meranti. Apa lagi yang dinamakan monyet, bergayutan bagai anak-anak lincah di padang permainan. Kadal, mengkarung, dan cicak juga mendapat nikmat dari gergasinya Meranti Gunung; memungut para semut agar tidak gatal para burung dan monyet lantaran rayapan dan gigitan mereka.". Begitulah pengertian Munsyi akan hikmah Allah pada sepohon Meranti Gunung. Namun berapa banyak dari manusia mengerti akan prihal itu? Segala kelemahan ini, pada tanggap Munsyi adalah akibat, bila sistem pendidikan yang dihenyak kepada anak bangsa, hanya melihat itu hanya sebagai ilmu botani dalam khususnya ekologi tanpa melihat apakah hikmah Allah dalam menciptakan itu sebegitu?. Duniawi dan Syurgawi sepertinya tersenggang terlalu jauh.

(14) Kenapa dalam soal usahasama perusahaan yang melibatkan hak rakyat, tidak pernah dilihat sepertinya Meranti Gunung dan alamnya? Pastinnya para pensyarah terpelajar dari Harvard, Lincoln, Michigan, Oxford, apa lagi dari Jewish University of Jerussalam, tidak akan mahu melihat alam sebegitu. Kapitalisma telah mengakar terlalu dalam. Mereka mahu agar semua melihat alam lebih dari sudut Kapitalisma dari fitrha Allah buat perkongsian semua. Haloba diri telah bertunjang dalam menjadi cacing pita terus melekap yang membunuhkan. Enau dalam belukar sudah menjadi budaya koprat di mana-mana. Anak-anak bangsa yang terdidik cara Barat telah terperangkap dalam doktrin sebegitu. Maka rakyat sudah mereka lihat dari sudut lain cara menangani mereka.

(15) Sesungguhnya, Meranti Gunung, bukan hanya kukuh, menghijaukan gunung, indah dipandang biar dari kejauhan buat semua, namun dia paling bersahabat dengan semua, membina semua, demi akhirnya adalah kekuatan mutlak dirinya. Hikmah Allah, pada sepohon Meranti Gunung subur meredang, adalah sebuah Persyarikatan Tuhan untuk kita persaksi dan mengertikan. Itulah kehidupan kemasyarakatn berbilang lapis dan budaya koprat yang Allah cuba pertontonkan buat semua jika ada yang berfikir dan cuba mengerti. "Mungkin kebanyakan manusia hanya lebih terbulas terbeliak, melotot dari melihat, merasa, dan berfikir?" terjah hati Munsyi keras. "Ya Allah. Kembangkanlah akalku agar, agar dapat aku sampaikan fitrahMu itu untuk dimegerti oleh kebanyakan." berdoa Musnyi penuh rendah diri.

(16) Kepalanya agak berpinar. Berkunang-kunang. Bintang-bintang rasanya berhamburan berputar-putar keliling kepalanya, membentuk seperti pusar para bulan di keliling mustari. Berat sekali rasanya. Dadanya juga mulai terasa perit. Senak asakan gas-gas gastrik kian melanda perut, lambungnya, menjalar menikam-nikam dadanya. Matanya terasa panas. Urat-urat lehernya, punggung kian menegang. Menyentap-nyentap. "Sayang, embah sudah berpulang. Jika tidak, pasti jari-jari kurusnya akan mampu mengendurkan urat-urat tegangku", tiba-tiba Munsyi terbayang kembali nenek, embahnya yang telah lama kembali bergabung bersama anak dan menantunya, kedua orang tuanya. Dulu, saat Munsyi kepenatan mentelaah pelajarannya, embahnya pasti sering menghulur kopi lalu mengusap-ngusap punggungnya. Sebel menusuk dalam dadanya, mengenang nasib kehilangan kasih pada saat dia baru memulai belajar menerjah kehidupan ini. "Tuhan, Ya Rabulalamin. Terlalu lama aku terus teruji. Berikannlah aku kesabaran tinggi." desah Munsyi separuh kesal. Namun rasa lapar mengalih rasa hatinya. Tadinya, kerana ngak mahu buang masa, dia hanya sempat meneguk segelas kecil air Zam Zam dan memakan dua biji kurma. Biasanya, dengan Bismillah dan sepotong Selawat ke atas Rasullullah dan seisi keluarganya baginda, "Allahumasaliala Sayiddina Muhammad, Waalaali Muhammad", dia dapat bertahan sehingga tengahari. Hari ini lain jadinya, dia benar-benar merasa lapar. Lalu terlintas di benaknya akan sahabat lamanya, Bakri Zainal Abidin, ringkasnya sering dia panggil sebagai Bob, yang kini menerajui sebuah Public Listed Company, PLC. Mereka sudah lama tidak minum, ngopi apa lagi bersantai, ngobrol seperti selalunya. Munsyi mencapai handphone lalu menghubunginya. "Assalamulaikum wbt Bob, sibuk tak?" tanya Munsyi saat dia membalas "hellow" di hujung talian di sebelahnya. "Tak, tapi..." jawapnya mendesah mati separuh jalan. Terpingga Munsyi mendengar suaranya yang kelam serta agak parau. Jarang sekali begitu sifatnya. Pasti ada saja sesuatu yang sangat berat yang payah untuk dipikulnya."Ayuh kita ngopi, ketemu di Restro Nusantara sekitar tiga puloh minit lagi. Jangan banyak tapi, aku tunggu engkau di sana" seru Munsyi separuh memerintah.

(17) Sambil cuba beriul-siul bernyanyi bersama kumpulan Unggu tentang Kekasih Gelapku, Munsyi memandu santai menuju Restro Nusantara. Di benaknya, dia cuba menduga-duga, apa desah yang sedang melanda si Bakri. Pastinya bukan sekadar urusan kerjanya. Urusan lain yang lebih dalam pasti sedang menghantuinya. "Apakah Bob sedang bercinta dan kecewa lagi? Selayaknya, pantas juga sebegitu. Dia bujangan seumurannya. Kedua orang tuannya sampai bosan menyuruh dia menikah. Entah puteri sebagaimanakah yang dicarinya? Entah berapa kali sudah dia hampir-hampir terjerangkap oleh wanita, saat mahu menjadi, dia ketakutan. Lelaki apalah Bob ini?" perkira Munsyi diam-diam. Bakri pasti perlukan ketenangan. Wajar jika mereka berdua harus terbang lari jauh ke mana-mana. Munsyi berkira-kira. "Seawal tahun sebegini, belum banyak yang ingin berhempas pulas bekerja. Waktu wajar liburan." bisik hati kecil Munsyi. Lantas, dia menalipon Siti Aminah, PA Bakri menyemak "Siti, Munsyi ni. Boleh tolong semak jadual Bob untuk bulan-bulan ke depan?". Unggu terus berdendang tentang SyurgaMu. Jari-jarinya berdetik-detik mengikuti paluan drum kumpulan itu. Unggu bukan sekadar lirik nyanyiannya adalah puitis mengesankan, paling dia sukai, paluan drumnya sangat mengujakan. Setidak-tidaknya Munsyi merasa darah tubuhnya terus mengalir deras saat mendengar paluan drum mereka, serta hatinya cuba mengikuti maksud di balik segala bait lirik nyanyian mereka.

Burung Dara Makan Di Tangan

Bakri sudah mulai bosan. Apa saja perubahan yang ingin dia perbuat, sepertinya mahu menolak sebuah gunung ke laut luas. Terlalu berat. Terlalu payah. Terlalu banyak penghadang. Semakin hari, dia mulai merasa kesendirian. Dia termenung panjang. Dia mengeluh. Manik-manik peluh jantan lebat tumbuh di dahinya tanpa dipinta. Dia benar-benar buntu. Fikirannya sudah macet. Dia kecewa. Paras hormon adrenalin dalam aliran darahnya mendadak tinggi. Amarahnya menjalar mengisi dada. "Auzubillah Himinas Syaitan Nirajim. Astafirrulla Halazim. Astafirrullah Halazim." serunya perlahan-lahan buat mengendurkan rasa membakar di dadanya.

(2) Seawal pagi, belum sempat melabuh punggung, pinggul, dia menerima sebuah panggilan. "Awak tolong lihat bagaimana caranya agar ganjaran buat semua Ahli Lembaga Pengarah dapat ditambah. Saya rasa, mereka harus mendapat ganjaran yang lebih baik. Elaun, Kereta, Insuran, Keraian dan Percutian harus ditambah. Saya tidak ada masalah. Awak buat Kertas Edaran Lembaga, DCR secepatnya" arah mendadak Pengerusi Syarikat. Sedang, kemarin dia berbincang dengan Jawatankuasa Pelaburan yang dianggotai oleh beberapa Ahli Lembaga Pengarah, meminta agar dalam usahama Pelaburan Ladang Sawit dengan Rakyat, supaya Rakyat juga diberikan saham dalam urusan Pemprosesan dan Perdagangan Hiliran yang berkaitan. Dia juga meminta agar sebahagian dari tanah Syarikat diperuntukkan bagi pembinaan perumahan mampu milik di mana masyarakat sekeliling khususnya mereka yang terlibat secara langsung dengan Projek berkaitan akan diberi keutamaan untuk membelinya. Hajat Bakri, adalah agar rakyat juga mendapat nikmat lanjut dari keuntungan perusahaan secara berterusan dan bertambah-tambah. Namun, usulnya ditolak mentah-mentah dengan alasan bahawa Syarikat telah mengagihkan tiga puloh peratus keuntungan buat mereka. Itu sudah cukup. Lebih dari cukup. Kini saat berkait dengan kepentingan diri masing-masing, secara dak-dak lulus biar Kertas Lembagapun belum dibuat lagi. "Kapanlah kiranya, manusia ini akan puas dengan kepentingan sendiri? Kapankah mereka akan sedar, betapa yang mereka perolehi adalah pinjaman belaka. Mereka mesti mengembalikan apa yang dipijamkan dengan sebaik-baik dan secepatnya. Anih, tabiat orang diberi pinjam, jarang yang bersyukur dan mengerti. Beart untuk mereka memulangkan. Ya Allah, sadarkanlah mereka." keluh dan pohonnya.

(3) Saat sebegini, jiwanya terasa kosong polos. Tiada siapa untuk dia berpaling. Munsyi. Nama itu sering hadir di benaknya saat kepayahan bertandang. Munsyi sebetulnya adalah abang angkat dan temannya paling akrabnya. Saat Munsyi masih kecil dulu, saat ibunya telah meninggal dunia, mereka berkongsi kasih dengan ibunya. Mereka seperti adik beradik kembar. Cuma Munsyi sedikit lebih tua dari Bakri. Namun, kini dia sadar Munsyi juga sedang terbeban kuat dengan pelbagai urusan. Dia kini sering mengelak untuk menambah payah Munsyi. Dia berusaha untuk mendepani segalanya sendiri-sendiri. Namun resahnya terus bertambah. Apa lagi tiada siapa untuk dia menghadap resah hatinya dan membelainya. Kedua orang tuanya telah pergi. Terasa kehausannya akan belaian lembut buat melembutkan darah menderunya. "Allah tetap ada. Bicarakan segalanya kepadaNya" tergiang pesan yang dia dengar saat menatap TV Al Hijrah di awal padi tadi. Ustaz yang bercakap dalam Bicara Iman, dengan yakin menyatakan betapa saat sesiapapun dalam kegundahan dan keriangan sekalipun, berbicaralah akan isihatinya kepada Allah. Allah MahaMendengar. Pasti akan dipedulikanNya. "Apakah sebegitu mudah segalanya? Saat payah terus saja berserah, 'merepotin' Tuhan. Manusia sepertinya tidak punya tanggungjawap, tidak usah berusaha?" sanggah hati Bakri. "Mana mungkin, saat saja kegalauan atau keresahan, maka manusia harus terus saja menghadap dirinya kepada Tuhan, berdoa, berdoa. Apa sebegitu mudah? Entahlah!" dia terus membantah.

(4)Sharen, tiba-tiba nama itu turut menerpa dadanya. Hatinya jadi bertambah berat. Dia jadi bertambah sedih. Pilu menusuk-nusuk. Sharen, sejak akhir-akhir ini, nama itu sering menguncang keteguhan dirinya. Saat tersenyum, saat tertawa, apa lagi saat pilu, saat gundah, saat sendiri, nama itulah yang sering saja menerpa. Dia merindukan Sharen. Ada tikanya dia cukup marah, jengkelnya bukan kepalang ke atas Sharen. Ada tikanya dia membenci nama itu. Sharen sepertinya adalah rindu, marah dan bencinya. Segala rasa hatinya bersatu dalam nama itu. Namun dia tidak pernah mahu benar-benar benci dan marahkan Sharen. Ibarat gulai asam pedas. Manisnya ada. Masamnya mengigit. Pedasnya menyeringaikan. Namun, saat lapar dalam hangat siang biar akan menumpahkan peluh, tetap enak rasanya. "Sharen, Sharen. Kenapalah terlalu payah untuk aku menangkap engkau? Teruk sangatkah aku? Tidak layakkah aku? Apa, sememangnya aku sekadar untuk hanya tahu rindu sendiri?" soalnya kepada dirinya. Sharen, burung dara yang bebas. Makannya mahu di tangan, ditangkap, payah sekali. "Adakah sebegitu sifatnya Sharen?" soalnya terus. "Adakah dia mahu mempermainkan aku, atau apa? Ujian apa lagi mahu dia henyakkan kepadaku?" Bakri terus bersoal sendiri. Jawabannya, dia tidak pasti. Sama ketidak pastiannya akan sikap Pengerusi dan Ahli Lembaga Pengarah Syarikatnya. Darahnya semakin mengelegak. Dia benar-benar marah. Dia tidak mengerti. Dia binggung sebetulnya.

(5) Fikirannya kacau. Resah terlalu dalam. Rasa hatinya berbaur. Marah. Kesal. Benci. Rindu. Fikiran dan rasanya bercelaru. Tidak ketahuan apa sebetulnya. Dia benar-benar gemes. Akhirnya, syaitan meniup bara neraka ke dalam hatinya. Beberapa kali dia membanting fail di atas mejanya. Berdentum bagai halilitar, geledek. Kemarahannya menyambar-nyambar. Siti Aminah, PAnya beberapa kali terlompat dari kerusi empuknya. Gadis manis itu, kekagetan tidak kepalang sehingga kacamatanya terpelanting, coplot jauh. Dia mengurut-ngurut dadanya. Dia juga jadi cemas. "Kenapa dengan Cik Bakri ni? Belum pernah dia marah sebegini panas." bisiknya. Mahu menjengah ke kamar bossnya dia jadi kecut. Takut, salah-salah fail itu singgah melampias, membandem ke mukanya. Namun, dia pasti betapa bossnya perlu diamankan. Tanpa berbuat apa-apa, itu bukan profesional namanya. "Astafirullah Halazim. SubhanaAllah, SubhanaAllah. Damaikanlah hati dan fikiran bossku." doanya, tanda simpati dengan bossnya. Lalu dia mengambil keputusan berani, dia mengambil keputusan untuk mendepani bossnya. Perlahan-lahan dia berjalan menuju kamar Bakri, dengan lembut mengetuk lalu dengan cermat membuka pintu. Dia melangkah masuk tegap, tapi santun. Dia menghambur seribu kewangian kelembutan agar segalanya jadi aman. Dia menatap tepat wajah bossnya, yang tengah tidak senyum, polos. Dia cuba-cuba melempar wajah selamba, bersahaja kepada bossnya. Dia menahan sepenuhnya rasa kekhuatirannya di dalam dadanya. Wajahnya sekuatnya ditenangkan. Namun sedikit riakpun tidak ada terlepas dari wajah Bakri. Bakri menatapnya penuh polos. Beberapa fail berhamburan di atas lantai. Siti Aminah dengan santun, mengutip lalu menyusun kembali fail-fail itu di meja kopi di depan duduknya Bakri. Sengaja dia menjauhkan fail-fail itu dari capaian segera bossnya. Siti Aminah, gadis manis biar masih setahun jagung umurnya, dia mengerti adat berdiplomasi dan berkomunikasi. Dia tahu, fail-fail yang berhamburan itu, pastinya musuh Bakri nombor satu di saat itu. Dia tahu, saat musuh sedang berantakan wajar saja mereka dipisahkan. Pendamai, harus saja jangan banyak soal, omongan. Tidak menyembelahi sesiapa. Api dan minyak harus dipisah segera. Maka dia menyusun rapi fail-fail yang berselerakan di atas meja tulis Bakri. Semuanya dia susun rapi ke dalam Incoming Box. Duduknya di situ. Dia pasti. Bakri pasti belum membuat apa-apa keputusan berkait dengan segala permasalah yang terbangkit, jika tidak pastinya fail-fail itu tidak berselerakan. Pastinya semua sudah duduk damai dalam Outgoing Box. Dia seperti mengisyaratkan kepada bossnya agar "Biarkan saja fail-fail itu di situ. Saat semua sudah kembali teduh baru kembali diselongakari".Itulah Siti Aminah, ayu, santun, punya kewarasan fikiran yang sangat tajam.

(6) Bakri menumpang dagu. Mulutnya ditutupi oleh kedua telapak tangannya. Matanya dipejamkan. Dia menahan-nahan hembusan nafas panasnya. "Encik Bakri hendak saya buatkan kopi?" sapa Siti Aminah dengan suara rendah santun. Bakri mendongak menatapnya tepat. Dia berusaha mengukir senyum. Tidak manis. Tidak masam. Senyuman nan hambar. Siti Aminah membalas dengan senyuman paling manis dan lembut. Lesung pipit di kedua pipinya jelas melekok. Kudrat Ilahi, saat menatap seribu kelembutan segeitu, hati Bakri kembali reda. "Astafirullah Halazim. Tak apa. Terima kasih. Saya keluar sebentar." jawapnya. Dia bergegas keluar. Dia baru tersadar dia sudah diundang oleh Munsyi untuk minum bersama. Tanpa menanti lift dia meluru menuruni tangga bangunan lapan tingkat. Dari medan letak kereta, dia terus memecut kereta mobilnya, sekitar sepuluh minit dia sudah terpacak di depan Restro Nusantara. Saat melangkah ke dalam restoran tersebut, dia mendapati Munsyi sedang asyik membaca. Bakri tahu, pasti Munsyi telah lama menanti. Begitulah sifatnya Munsyi, jika terpaksa menanti, bukulah jadi pembunuh waktu."Maaf. Aku terlambat. Pening sedikit. Baca buku apa? Apa ceritanya?" sapa Bakri kepada Munsyi, lalu mereka berjabat tangan. "Engkau, dari dulu lagi tidak pernah tepat masa. Tidak elok. Rezeki lambat datang. Ini, buku tentang Iman Al Ghazali, di kirim oleh kawan aku dari Kuala Lumpur. Aku kagum dengan kegigihan Iman Al Ghazali. Hidupnya dia tidak mudah. Lahir pada zaman kerajaan-kerajaan Islam besar sedang menuju keruntuhan, dan dia membina jati diri lewat segala kekacauan yang timbul. Dia cuba melihat Islam sebagaimana ianya harus dimengertikan, 'A Reformer', Islah. Perjalanan seorang 'Reformer' tidak pernah mudah. Penuh liku. Penuh ranjau. Penuh duka dan keterasingan. Sebegitulah Al Ghazali. Engkau pening, engkau hendak panadol ke?" balasnya sambil tersenyum sinis. "Menyindir ya. Baik kawan. Ada udang ada beras. Sampai peluang, aku balas. Yalah, kerja berfikir, kerja berfalsafah ini kerja engkaulah. Aku dapat dengar sudah mencukupi." balas Bakri sambil menunjuk penumbuk ke muka Munsyi. "Engkau inikan, cubalah buangkan sikap berdendam. Tidak elok. Lama-lama boleh menjadi hasad dengki. Membakar diri. Sakit sendiri. Tidak ada kesudahannya. Hasad dengki boleh menjadikan hati engkau pejal. Payah hendak melembutnya nanti. Merosak diri akhirnya." tegur Munsyi kepada sahabatnya. "Aku pesan kopi "O" tubruk dan Pisang Goreng Keju. Engkau hendak apa?" tanya Munsyi bagi mengalih tajuk debat pendek mereka. "Hentam sajalah. Apapun boleh. Aku lapar" jawap Bakri ringkas.

(7) "Syi, aku ada masalah besarlah. Aku rasa tidak dapat memberikan perhatian penuh tentang tugasku lagi. Banyak sangat halangan. Aku risau. Dah rasa naik malas pula. Banyak usul dan keputusan yang kubuat dicantas sebelum sempat aku perjelaskan atau laksanakan." tiba-tiba Bakri memecah suasana. Syi adalah panggilan Bakri ke atas Munsyi. "Siapa cantas? Engkau ada bertanya Pengerusi Syarikat, samada dia tahu, dan kenapa?" tanya Munsyi ringkas."Dia hanya menjawab, diapun dalam keadaan payah." balas Bakri. "Kalau begitu, engkau cuba tanya beberapa Ahli Lembaga Pengarah lainnya, mungkin mereka tahu dan boleh membantu." saran Musnyi. "Sudah, semua tetap membisu." balas Bakri. "Ada engkau siasat hubungan Pengerusi dengan Ahli-ahli Lembaga Pengarah lain." Munsyi cuba mengumpul rumusan. "Akrab. Minggu lepas mereka ke Bandung bermain golf. Beberapa pemegang saham besar Syarikat ikut sama. Aku tidak ikut kerana golf bukan permainanku" jawap Bakri pasti. "Begini sajalah, tadi aku semak dengan PA engkau tentang jadual kerja engkau bulan depan. Dia kata engkau pangkah semua. Maksudnya engkau ada kelapangan, lowongan. Apa betul?" selidik Munsyi. "Ya, aku dah cakap dengan Pengerusi yang aku hendak cuti panjang. Sudah tiga tahun aku tak pernah bercuti. Dia diam saja. Entahlah." keluh Bakri. "Kita pancing boleh?" tanya Munsyi sambil menatap mata Bakri tepat. "Memancing, itu bukan minat aku. Engkaupun tahu. Buang masa." jawapnya dalam keliru. "Kita pancing Ahli Lembaga Pengarah Syarikat engkaulah. Engkau balik nanti, engkau ajukan permohonan cuti panjang. Katakan tiga bulan. Tanpa gajipun tidak mengapa. Kita pergi jauh ke luar Negara. Akupun hendak cuti juga." usul Munsyi. "Kita hendak ke mana? Kalau tidak lulus, bagaimana?" soal Bakri sangsi. "Soal ke mana, aku akan pastikan kita 'rejuvenate' kalau tidak 'discover'. Kalau mereka tidak lulus, engkau buat usul sebulan atau seberapa yang mereka boleh luluskan. Selepas kita jauh dari Tanahair, tahulah bagaimana kita hendak buat." asak Munsyi terus."Tapi kalau Pengerusi tidak setuju bagaimana?" tanya Bakri dalam khuatir. "Pertamanya, jangan prejudis. Biar mereka buat keputusan. Kita tidak perlu berprasangka tentang mereka. Engkau buat apa yang engkau perlu buat. Biar mereka buat keputusan mereka. Selepas itu baru kita mengorak langkah selanjutnya. Soalnya, sanggup ke engkau menangung risikonya?" Munsyi mencabar Bakri. "Baik. Kita bersama, apapun akhirnya" pinta Bakri."Alhamdullilah, kita mesti bangkitkan kembali jati diri bangsa Melayu kita, kita mesti jadi pemberani, dan kita bertanggungjawap. Itulah sifat nenek moyang kita dulu-dulu. Bagi aku passport dan tiga keping gambar ukuran passport engkau. Aku uruskan segalanya sekejap nanti. InsaAllah aku akan usahakan kita akan ke luar Negara dalam sepuloh hari lagi." balas Munsyi tegas.

(8) Sebelum kembali ke kantor, Munsyi singgah ke TH Travel. "Assalamualaikum wbt. Apa khabar Tuan? Sila duduk." sapa salah seorang dari pelayan yang ada. "Walaikumsalam wmwb. Saya hendak buat Umrah untuk dua orang lelaki dewasa. Kalau boleh dalam tarikh terdekat." Munsyi mengaju tujuan datangnya. "Paling awal, kebetulan dua minggu lagi. Itupun pakej agak mahal. RM14,000.00 seorang, 'sharing'. Hotel baik, di Komplek Safwa, paling dekat dengan Al Haram dan Nabawi. Lebih awal dari itu payah sedikit kerana urusan pengeluaran Visa Umrah sekurang-kurangnya memakan masa sepuluh hari. Boleh?" usulnya ringkas. "Ini passport kami. Cuba uruskan yang paling awal. Pakej apapun, tak kisah sangat. Cuba usahakan kamar dua katil." balas Munsyi sambil menghulur kedua-dua passportnya dan Bakri serta tiga keping gambar masing-masing. "Ini bayarannya." Munsyi menghulur sekeping cek bayaran untuk keduanya. Kemudian baru dia teringat, dia tidak boleh membuat kejutan mengenai pemergian Umrah ini. Suntikan kesihatan perlu dibuat untuk semua bakal jemaah. Munsyi berfikir bagaimana untuk merahsiakannya dari Bakri.

(9) "Bob, engkau di mana? Engkau datang ke kelinik Abdul Razak, Jalan Haji Taha sebentar. Perlu. Segera. Aku tengah menunggu." Munsyi menghantar pesanan ringkas buat Bakri. Sekitar tiga puloh minit kemudian, dari tempat letak kereta kelihatan Bakri terkejar-kejar menerpa pintu klinik. "Kenapa? Engkau kenapa?" soalnya termengah-mengah. "Engkau pergi jumpa Doktor di dalam. Kena buat suntikan kesihatan. Matlamat pertama kita, memerlukan kita mendapat suntikan untuk urusan pengeluaran Visa. Engkau tidak usah tahu ke mana kita pergi. Paling lewat dalam minggu depan, InsyaAllah kita berangkat." jelas Munsyi. Sebelumnya, Munsyi sudah sepakat dengan Doktor yang memberikan suntikan agar merahsiakan Negara mana yang mereka akan tujui sehingga memerlukan suntikan. Paling sukar, jika Bakri mendesak, Munsyi memintanya mengatakan ke Afrika. "Maaf Doktor, jika kerana ini Doktor terpaksa 'kepeleset' dari norma kedoktoran pohon Munsyi bersungguh-sungguh ikhlas.

Meniti Perihnya Bangsa

Segalanya berjalan lancar. Bakri mendapat kelulusan cuti panjang. Apa mungkin itu pertunjuk awal? Namun Munsyi belum boleh mengagak dengan tepat rumusan akhirnya. Dia enggan berprasangka. Lebih banyak jerangkap harus dipasang. Seawalnya, Munsyi menasihatkan Bakri untuk menamakan siapa bakal memangku tugasnya semasa ketiadaannya. Murshid El Joned, Bakri calunkan sebagai pemangku jawatannya. Jelas, Ahli Lembaga Pengarah tiada masalah dengan cadangan tersebut. Juga kerana sudah tiga tahun Bakri tidak pernah cuti, maka Munsyi juga menasihatkannya untuk memperpanjangkan tempoh cutinya untuk meliputi tinjauan peluang pelaburan ke negara-negara lain. Butiran terperinci akan dia kemukakan lewat Pemangku Jawatannya nanti. Semua saranan itu tidak mendapat halangan dari Ahli Lembaga Pengarah. Nampaknya, pemergian Bakri direlakan dengan tangan terbuka. Makanya, Munsyi menduga, soal kerja bukan beban sebenar Bakri.

(2) Dua hari sebelum keberangkatan ke Jeddah, Munsyi mengajak Bakri ke Kuala Lumpur. Munsyi mahu agar mereka dapat berehat sebentar dari semua urusan kantor. Munsyi ingin meneliti lanjut keresahan yang sedang merundung Bakri. Dia mahu Bakri terus dapat berdiri gagah. Dia perlukan Bakri terus kuat, khusus kerana dia punya rencana khusus untuk mempergunakan Bakri. Munsyi, kepalanya ligat berfikir bagaimana untuk cuba mencerakin permasalahan Bakri. Dia mahu mencari akar kepada permasalahannya. Saikologi pencerakinan permasalan sedang dia ujikan ke atas Bakri. Pertamanya, Bakri mesti mengenali diri dan keperluannya secara jelas. Bakri harus kenal antara keperluan dan kehendaknya. Dia harus boleh membedakan antara keduanya. Dia mahu, nanti bila sampai ke Mekah, Bakri secara saikologi akan lebih bersedia, untuk berdepan dengan Penciptannya dan berbicara denganNya secara jelas dan pasti. Ini adalah Umrah pertama buat Bakri, Musnyi mahu biarlah ianya Umrah yang sangat bermakna dalam hidupnya. Untuk itu Munsyi ingin dia terlebih dahulu mendasari pencarian dirinya. Munsyi merencanakan batas-batas perjalanan yang akan Bakri lewati, teteri agar semua itu akan mengilhamkan kepadanya akan fitrah kejadian diri dan keperluannya.

(3) Di Kuala Lumpur, Munsyi memilih menginap di Regency Kuala Lumpur, Jalan Raja Alang, Chow Kit. "Engkau kena tahu, pemilik hotel ini adalah salah seorang penduduk dan pengusaha jati Kampung Baru dan Kuala Lumpur, Kumpulan Safuan Holdings" jelas Munsyi saat mereka melangkah ke ruang legar hotel. "Keluarga ini, bersama penduduk jati di sini, terus ingin mempertahankan Kamp[ung Baru agar terus menjadi warisan Melayu. Aku ingin engkau merasakan kemelut cara bagi menzahirkan hasrat itu dalam keadaan kini. Apakah cara mereka nantinya betul atau apa?" sambung Munsyi. Setelah check in kerana waktu Assar sudah hampir, Munsyi kemudian mengajak Bakri berjalan ke Masjid Pakistan berdekatan. Selepas Sholat Assar, mereka berjalan-jalan santai ke lorong-lorong Kampung Baru. Mereka makan Tom Yam di restoran Anwar Seafood di Jalan Raja Musa, kemudian lalu berjemaah Maghrib di surau berdekatan. "Engkau jangan tanya aku tentang jadual perjalanan kita. Aku hendak engkau nikmati secara mendalam segala apa saja yang kita jumpa, lihat, rasa, dengar, dan sentuh. Engkau kena percaya sepenuhnya dengan aku. Kita tidak harus ada jadual tetap. Kita sedang istirehat, kita buat apa saja yang kita suka ikut waktu kita. Tapi engkau kena ikut waktu aku. Tadi semasa di Masjid, engkau sepatutnya nampak kekuatan ikatan masyarakat Pakistan. Mereka berkumpul. Duduk sama-sama. Berbincang. Berjalanpun tetap dalam kumpulan. Akhirnya, pasti ada saja lowongan dagang yang mereka kerjakan. Biar di mana, begitulah mereka. Sikap sebegitu ada baiknya, ada juga kelemahannya. Cuba engkau fikir kenapa? Dan di Surau tadi lain ceritanya dengan masyarakat Melayu. Mereka berborak, merokok sebelum sholat. Asing-asing dalam kumpulan kecil-kecil. Kemudian lepas sholat, terus ke warung-warung. Sekali lagi berborak-borak. Tetapi ke mana tujuan mereka, belum pasti. Kenapa? Perhatikan dan rasakan semua itu. Itu permulaan. Fikirkanlah di manakah engkau dalam semua ini?" jelas Munsyi agar Bakri mulai mengambil minat terhadap apapun yang akan mereka temui dan tempuhi. Bakri menganguk-nganguk. Matanya tajam menikam Munsyi. Bibirnya diketap. Sesekali dia menarik nafas dalam.

(4) Sifat si Bakri, dia single sighted person, jalannya tunduk. Munsyi kepingin dia membuka mata, fikiran, telinga, tangan, mulut, lidah, kulit, segala derianya kepada alam dan belajar dari sana. Allah telah banyak berpesan kira-kira bermaksud: "....lihatlah keliling, dan perhatikanlah, belajarlah dari sana, pasti ada pertunjuk dariKu...". Bakri tidak suka memerhati keliling. Orang koprat kononnya. Jalannya lurus. Setiap langkah adalah detik. Setiap detik adalah waktu. Setiap waktu adalah wang. Maka setiap saat adalah sangat berharga. Harganya sering dalam Ringgit kalau tidak Dollar. Sangat kapitalis. Bagi Munsyi, itulah sebabnya, maka dunia koprat penuh dengan manusia bukan bermasyarakat, lengai akan soal kemasyarakatan. Lihat saja pada lingkaran Kampung Baru. Keliling penuh dengan warga koprat, namun, Melayu di sini sepertinya kebalikan koprat menjadi keparat, amparat. Buat dunia koprat, jika masyarakat perlukan apa saja, mudah saja caranya, upah saja sesiapa yang pakar untuk mengerjakannya, khusus yang disebut Event Organizer, paling tidak, buat saja acara Coprate Social Responsibility, CSR, acara gah-gahan penuh liputan akhbar, sedang nilainya hanya sekelumit. CEO dan anak-anak buah bangga membuat tumb up lalu potret mereka lebar menghias dada akhbar. Akhbar dibayar harga mahal untuk memaparkan foto gah mereka. Buat Munsyi, CSR adalah acara riak melepas batuk di tangga, membazir dan menipu namanya. Mereka tidak melihat CSR dalam tanggungjawap keseluruhan urusniaga mereka. Keperluan masyarakat dan keperluan kapitalisma, mereka lihat sebagai dua jalan yang berbeda. Sangat berbeda dengan konsep koprat Jepun, Korea dan bahkan Jerman. Buat bangsa-bangsa itu, kenegaraan atau kemasyarakatan adalah lebih penting. Kejayaan pribadi diukur dari kemampuan mereka menyumbang untuk membina masyarakat. Masyarakat lebih utama. Makanya mereka sangat cergas dalam gerakan Kooperatif. Mereka sangat mendokong usaha-usaha bersifat kemasyarakatan. Namun, di Negara ini yang dinamakan kemasyarakatan sudah lain takrifan dan tafsirannya. Sesungguhnya, peringatan Allah, betapa di dalam setiap rezeki yang Dia anugerahkan kepada sesiapapun, biar perseorangan, biar kelompok, biar institusi, di dalamnya tetap ada hak orang lain sepertinya sengaja tidak dipedulikan. Seharusnya semua perlu bermurah untuk berkongsi rasa dan nikmat. Peringatan itu sudah tidak ada dalam dunia koprat kini. Namun, Bakri tidaklah sehingga sebegitu sifatnya. Masih ada sayangkan bangsa pada dirinya. Cuma, dia melihat mereka lebih dari sudut pembangunan koprat berbanding dari sudut umarah Ummah, keterlibatan langsung Ummah. Dia biasanya hanya suka menyendiri. Masyarakat buatnya, cukup sekadar dia berbakti sekerasnya lewat kejayaan besar PLC yang didokongnya. Buatnya, jika PLC berjaya, maka berjayalah Ummah. Sepertinya, bertanam durian. Biarlah durian bertanam dulu, dan nikmat buahnya di bahagi kemudian. Namun, tidak pernah terfikir dalam dirinya, apakah masyarakat yang sedang lapar dapat bertahan menanti durian berbuah?

(5) Munsyipun kini sebetulnya banyak berfikir, kenapa kerja keras dan segala kejayaan besar tidak membawa berkat atau dalam istilah kini sebagai lestari atau sustainable. Orang kaya, contohnya muflis dalam sekelip mata. Ada di antaranya, harta kekayaan mereka runtuh sebelum sempatpun mayat mereka dikafankan. Juga, rumah yang gah tersergam idah, terpaksa berpagar rapi, namun tetap dimasuki perompak dan penghuninya disiksa. Syurga rumah idaman bertukar jadi neraka sepertinya. Lagi, banyak syarikat yang besar, kuncup lalu macet. Pun begitu, tubuh yang segar bungar, tiba-tiba layu dan terlantar. Mungkin manusia tidak pernah atau alpa untuk memikirkan secara mendalam bagaimana caranya agar setiap sesuatu yang diperbuat itu seharusnya menepati saranan Allah agar : '...dalam setiap sesuatu rezeki yang Aku limpahi ke atas kamu, maka pergunakanlah sebaiknya untuk yang berhak...". Manusia, apa yang diperolehinya, tanggapnya menjadi milik mutlaknya. Balasan laba kerja kerasnya. Apakah sebegitu pengertian sebenarnya? Juga ada ketikanya, jalanan pencarian menjadi tersekat-sekat, tersendat-sendat sepertinya apa yang sedang dilalui oleh Bakri dan dirinya, buntu. Munsyi cuba menduga apakah itu tidak terkait dengan apa yang Allah maksudkan lebih kurang bererti"...setiap sesuatu itu ada waktunya dan aturannya....". Banyak perkara diperbuat tidak pada aturannya. Banyak penyelewengan. Munsyi berkira, dia kian menyadari betapa kesesuaian waktu dan cara adalah penting dalam setiap langkah dan segala perhitungan. Mentari tidak benderang di tengah malam. Rembulan tidak mengambang di siang cerah. Belunjur dulu, sebelum bersila. Maka sesiapapun harus peka dan mengerti tentang semua itu.

(6) Itulah segala persoalan yang timbul dari setiap langkah kakinya meniti pinggir jalan lorong-lorong Kampung Baru. Munsyi sengaja tidak melayan Bakri. Bakri dengan taat hanya membuntutinya. Terkadang tertoleh ke sana ke mari, celingak celinguk saat menlintasi warung-warung penuh sesak dengan remaja-remaja Melayu tertawa riuh rendah, cekikikan. Kelihatan mereka santai kerana baru saja usai memerah otak semasa di kantor sepanjang hari tadi. Memerah otak. Memerah otak untuk apa dan siapa? Munsyi ingin Bakri melihat keliling, berfikir dan merasa sendiri. Munsyi mahu Bakri melihat, merasa, dan mendasari kehidupan masyarakatnya. Sedang dia hanya ingin melayani fikirannya kesendiri juga. Munsyi ingin menyelesaikan persoalan yang timbul dari sikap memeras yang diusulkan dalam Kertas yang masih dia tangguhkan di kantornya. Dia sedang mencari pendekatan yang diberkahi dan dimengertikan oleh manusia umum. Begitulah caranya Munsyi, dia berjalan, dia memerhati, dia merasa, dia berfikir. Dia merumus. Lalu dia merobah. Jejak Ibu Khldum, Al Ghazali, Shafiee, Bukhari, Omar Khayyam, Hamzah Fansuri, dsb sering menjadikan dirinya berasa kerdil. Kepingin benar dia menjiwai langkah-langkah jejak mereka.

(7)"Kita sudah kesasar ke Jalan Haji Taib ini. Kita berseronok sedikit malam ini, mahu tak?" tanya Munsyi kepada Bakri saat mereka melewati sebuah Kedai Makanan Kelantan Asli di Jalan Haji Taib. Di sinilah kadang-kadang Munsyi dahulu sering berpeleseran dengan teman-teman semasa masih bujangan. Jalan Haji Taib, menghamparkan corak merempatnya Melayu yang hanyut ke Kota Kuala Lumpur. Dulu, kerana dhaifnya hidup di desa-desa, banyak anak-anak Melayu bertarung untung sabut timbul, untung batu tengelam membawa diri ke Kuala Lumpur. Namun mereka banyak yang hanyut, tergadai. Kini suasana itu sudah berbeda, namun sisa-sisanya tetap masih utuh. Masih banyak manusia-manusia terhuyung hayang, sengoyoran dengan beban hidup payah di sini. Di sini juga adalah lombong rezeki buat mereka yang mengejar sekadar untuk hidup. Berdagang seadanya. Biar pengemis jalanan sudah sangat berkurangan, namun masih banyak yang mendagangkan diri dan maruah. Para kucing dan anjingpun menumpang hidup separuh nikmat di sini. Menyelongkar timbunan sampah adalah kehidupan mereka. Namun adalah syurga maha tinggi bagi para tikus, lipas dan lalat. Longkang-longkang yang kotor adalah nirwana maha indah buat pembiakan mereka. "Pas" jawap Bakri ringkas sambil kepalanya teranguk-anguk tergeleng-geleng seperti Mat Black mabuk dalam musik bluesnya, atau Melayu hamprak kegianan pil kuda. Munsyi cuma tersenyum sinis. Mata Bakri terbeliak melihat tindakbalas tidak bersahabatnya Munsyi. "Kita makan nasi cicah budu dulu. Aku dah lama tak perkena budu." usul Munsyi lalu masuk mendapatkan sebuah meja di pelataran, kaki lima kedai tersebut, di suatu sudut, pojok yang agak samar-samar. "Mek bawok mari nasi putih so. Piring kosong so. Ike kembung singe dua. Kembung bakar dua. Gulai kambing so. Tumis toge so. Aye percik, peha so. Budu bu'i bawe hiris denge limau banyok sikit. Teh 'O' beng so. Air limau panas so" pesan Munsyi kepada Cik Mek Molek yang segera menghampiri. Setelah dengan sopan mengambil segala pesanan, dia berlalu berlenggang meliuk lintuk bagai perdu sawit saat dilanda angin kencang. Munsyi dan Bakri terpana melihat goyangan punggung sawit dihayun angin hutan. "Wah. Tak tanya-tanya, kau terus pesan. Autokratif sungguh. Mentang-mentang Cik Mek Molek datang. Kau tunjuk hebat. Mat budu sungguh!" gerutu Bakri seperti memberontak. "Jangan menghina. Alah, kalau aku suruh kau pesanpun, kau bukan reti. Bab makanan, kau percayalah kat aku. Aku kenal selera engkau. Tak usah banyak cerita. Lepas ni, aku bagi kau pula peluang besar." balas Munsyi menyakinkan Bakri. "Apa tu?' tanya Bakri ringkas penuh teruja. "Kita makan dulu. Tapi jangan terlalu kenyang. Nanti tak ada ruang pula." peringat Munsyi. "Tapi kau pesan makanan macam untuk sepuluh orang. Siapa nak habiskan?" Bakri menjawab bagai membantah. Mek dalam lemah gemalainya, senyum tersungging menyusun makanan satu persatu di atas meja. Bakri cuba-cuba mengilat si Cik Mek Molek. "Banyak tidak bermaksud kita mesti habiskan. Kalau aku pesan sedikit, kita macam kedekut sangat hendak berbelanja. Bukan mahalpun. Kita berbagi rezekilah. Tak habis, biarlah dia orang yang uruskan selebihnya. Kita makan secara cermat saja agar sisanya tidak kotor. Boleh jual balik. Kita sedekahlah sedikit rezeki kita. Mek comel macam itupun kau nak berkira?" balas Munsyi sambil menepuk bahu Bakri. Bakri membalas dengan menyigung Munsyi, sambil mengenyit mata ke arah Cik Mek Molek. "Kau jangan buat hal. Entah bini orang, atau cewek sesiapa. Ini Chow Kit. Kita kena hati-hati. Tidak pasal-pasal nanti singgah kapak bungkus di dahi engkau!" tegur Munsyi tegas. Bakri tercenggang kurang mengerti.

(8) Usai makan dan menjelaskan bayaran kepada Cik Mek Molek, Munsyi menuding ke seberang jalan: "Kau tengok Dandut Pelangi di seberang sana itu. Sekarang kita beralih ke sana pula. Mahu?. Bakri menganguk setuju. Namun ada tanda tanya di wajahnya. Sememangnya ini perbuatan asing bagi mereka. Pertamanya, kedua mereka tidak suka asap rokok. Kedua, bunyi bingit pasti sesuatu yang sering mereka elakkan. Apa lagi, jika minuman keras terhidang, pasti memualkan. "Kita tengok dulu, kalau agak-agak baik dan selamat, kita dengar dan tengoklah sekejap. Kalau tidak kita belah dan balik tidur." usul Munsyi cuba meyakinkan Bakri. Mereka melangkah masuk. Cahaya samar. Kelam. Putaran lampu bebola warna warni sekali-sekala memberi pandu arah. Manusia sesak. Meja-meja penuh dengan botol-botol minuman keras. Asap rokok bagai kabut kebakaran hutan di Kalimantan Barat. Bakri mendahulu. Dia terus menuju sebuah meja tinggi yang kosong di pojok agak jauh dan kurang sesak. Kepalanya sudah mulai bergoyang mengikut kocakan irama dangdut yang berkumandang. Seorang gadis segera datang merapat diri. "Mas, mahu minum apa? Bir ada? Mahu ditemani?" dia mempelawa. Suaranya tengelam timbul dalam bingit dangdut. "Dua coke dingin" kata Bakri. Di pentas dan di ruang tari di depan, cewek dan cowok sedang asyik bergoyangan. Ibarat menyaksi kuda laut menari-nari dalam akuarium. Saling berkinja-kinja. Saling bertaupan. "Mas ini cokenya. Apa bisa saya temani? Sendiri atau berdua?" mereka sekali lagi ditawarin. Bakri melihat ke arah Munsyi. Munsyi mengangkat bahu dan kedua belah tangan tanda serah tugas. Munsyi melemparkan senyum pendek buat Bakri. Bakri seperti ragu-ragu. Akhirnya dia mengeleng kepala. Si cewek mengundur dan mereka dibiarin. Jika di Barat, suasana sebegini, adalah suasana di bar murahan. Para pengunjung mungkin adalah para petualang kota yang gagal atau sedang payah hidup mereka. Di Chow Kit ini, sama juga natijahnya. Inilah syurga bagi yang sedang dalam kepayahan. Gadis-gadis yang perlukan wang tambahan, lelaki-lelaki hidup penuh kecewa, di sinilah pusat pelampiasan beban hidup mereka."Yah, sepertinya, kegalauan hidup terhapus dalam tari riang di kesamaran. Mudah, terlalu mudah!" bentak hati Munsyi. Selang beberapa lagu, khusus dari album Hetty Koes Endang dan Roma Irama, Munsyi menepuk bahu Bakri dan mengajak berundur. Jam sudah pukul 12.30 malam. Jalan Haji Taib baru memulai bernafas panas sebetulnya. Di samping kebingitan para penjaja segala macam makanan, minuman, pakaian, perhiasan, segala macamnya, di hujung jalan hiruk pikuk pula peraih durian. Mereka singgah dan membeli sebiji Durian Kunyit. Nasib mereka baik. Tidak mudah mendapat durian kunyit. Durian kunyit dari Gua Musang, Kelantan. Harganya lumayan. Kecil saja dalam sekilo setengah, harganya RM35.00. Tapi, rasanya memang puas. Puas dan citarasanya melekat di langit-langit mulut dan bibir."Macamana? Lebih gebu durian dari hilang RM35.00 sejam sekadar disengol-sengol cewek gelandangan" senda Musyi kepada Bakri saat dia menyuap enak ulas durian kunyit. Keduanya tertawa berderai disambut sama oleh peraih durian.

(9) Keesokannya mereka tidak ke mana-mana. "Kita rehat penuh" ujar Munsyi kepada Bakri. "Besok, tiga dua puloh petang kita akan terbang. Enam jam. Lepas itu, kita akan menaiki bas dan mungkin dapat 'check-in' sekitar dua tiga jam kemudian. Selepas itu, kerana di sana nanti masih agak awal, aku akan bawa engkau berjalan bersama-sama ramai orang di sana. Kita 'berfiesta'. Mudah-mudahan nanti kita mendapat ilham tentang diri dan segala kemelut yang sedang kita hadapi." khabar Munsyi kepada Bakri. Bakri mengeleng-geleng kepala. Bibirnya digigit, gerget tanda geram. Munsyi terus berahsia. Tiba harinya, sengaja Munsyi ke KLIA agak lewat dari Jadual ditetapkan oleh pihak TH Travel. Munsyi hanya berpakaian Jean dan T-shirt lengan pendek. Memakai cap. Bakri ikut sama. Beg Kamera dan Komputer tidak lepas digalas di belakang Munsyi. Ke mana saja itulah teman setianya. Mereka ibarat pelancung murahan. Di Kaunter G 31, semuanya sudah sepi. Cuma ada seorang Pegawai TH Travel di sana. Munsyi menghampirinya, terus memperkenalkan dirinya dan Bakri. Pegawai tersebut lalu menghulur tiket, passport, dan beg pakaian Ihram. Munsyi unjukkan bahagian Bakri kepadanya. Mata Bakri melotot. Dia kelihatan tergamam. "Kita Umrah" tegas Munsyi ringkas. "Engkau gila. Kenapa tidak bagi tahu? Gila. Memang gila!" dia membentak-bentak geram. "Jangan banyak fikir. Saat kita perlu mendekati Allah, kapanpun kita harus sedia. Inilah kita. Ini permulaannya, dan cara kita" Munsyi membujuk dan menjelaskan. Munsyi mendahulu ke Gerbang Keberangkatan Antarabangsa. Bakri ikut laju di belakang. Dia masih geleng-geleng kepala. Munsyi tersenyum puas, sekurang-kurangnya, dia berjaya mengejutkan Bakri. Biar ini jadi sejarah dalam hidupnya. Mereka Umrahan tanpa siapa yang tahu. Tiada siapa yang menghantar. Tidak perlu ribut-ribut berkenduri. Inilah apa yang dikatakan, bila berbuat kebajikan, biar tangan kiri sekalipun tidak mengetahuinya. Mereka sholat berpergian di surau, mushola berdekatan, lalu kemudian menjamu selera di Cafe berhampiran sementara menanti masa keberangkatan. "Kita harus berani menjejak kebenaran. Di Tanah Suci adalah tempat terbaik. Berbanding kalau kita ke Venice umpamanya. Fikiran kita mungkin tenang, namun hati kita tetap berat." tegas Munsyi buat meyakinkan Bakri. Bakri hanya diam. Dia tertunduk. Di kepalanya masih kosong, polos, terkejut, kekagetan. Munsyi tekad, inilah cara rehat, libur terbaik buat mereka berdua. Kedua mereka harus tekad menyerah kepada Allah swt.

Menghambat Dia

Semua penumpang sudah pada tenang. Pesawat mengelunsur pantas. Seketika sudah di awan biru. Munsyi dan Bakri duduk bersebelahan. Bakri masih seperti kebingungan. "Pertama, kau ikuti penjelasan dari Internal Video Guide. Sambil itu engkau baca nota yang diberikan. Di dalamnya ada doa-doa yang perlu dibaca semasa kita mengerjakan rukun-rukun Umrah nanti. Jangan khuatir. Kita buat yang ringkas dan mudah-mudah dulu. Jangan menyusahkan apa yang mudah. Itu saranan Islam. Yang penting, kita kena bersungguh-sungguh, ikhlas, jujur dan khusyuk. Nanti ada uztaz, Mutawwif membimbing. Kita ikut saja. Akupun sudah ada pengalaman. Nanti aku bimbing engkau." jelas Munsyi cuba menenangkannya. "Cuba tengok kita ini. Semua orang berpakaian Ihram, kita masih pakai Jean dan T-shirt. Macamana? Macam nak ke Las Vegas je?" soalnya seperti belum puas hati. "Itu cara TH Travel. Mereka tidak mahu nanti jemaah tergesa-gesa. Tapi aku perhatikan itu tidak semestinya. Nanti bila hendak mendarat atau di Lapang Terbang Jeddahpun kita boleh tukar. Aku cuma takut kotor sebab kita pasti sering ke tandas. Juga rimas, duduk dalam pesawat berpakaian sebegitu. Susah hendak keluar masuk, apa lagi kita sekarang di tempat duduk terapit. Jangan khuatir, aku sudah semak semua itu. Tidak ada masalah." sekali lagi Munsyi menjelas untuk menenangkan Bakri. Munsyi tahu dia masih tidak senang hati. Mungkin risau. Mungkin masih was-was. Namun, Munsyi kenal Bakri, saat dia sudah yakin, dia tekad. "Kita akan menghadap Allah. MahaPencipta. MahaBerkuasa. MahaPemurah dan Pengasih. MahaPencinta. Sudah. Kita 'focus'. Kita berserah." tegas Munsyi lanjut. Kusut di mukan Bakri kian kendur. Dia memberi tumpuan kepada penjelasan perjalanan Umrah dalam Internal Video Guide. Mulutnya juga sudah kumat kumit cuba membaca dan menghafal doa-doa Tawaf, Saei dan segala. Munsyi pura-pura tidak ambil perhatian. Dia memejamkan mata. Bersandar. Di dalam hatinya berdoa, agar kenakalan ini ada hidayahnya nanti. Dia berTasbih di dalam hati. BerTakbir. BerSelawatan. Sayup-sayup. Akhirnya Munsyi hanyut dalam kembara fikiran sendiri.

(2) Pesawat mendarat di Jeddah sekitar jam 7.30 malam tempatan. Pulohan ribu jemaah dari pelbagai negara lain juga turut berada di sana. Jemaah dari Malaysia buru-buru menunaikan sholat Jemaah Maghrib, kemudian terus bertolak ke Mekah menaiki bas. Perjalanan mengambil masa sekitar lima jam."Lebih baik cuba tidur. Nanti sebaik saja sampai, sebaik lepas 'check in' kita akan terus Tawaf dan Saie, kita terus buat Umrah. Sekitar jam 2.00-3.00 pagi baru selesai." nasihat Munsyi kepada Bakri. Bakri hanya duduk terdiam. Mulutnya sudah mulai kumat kumit bertasbih sebagai dinasihatkan oleh Mutawwif. Munsyi ikut sama. Kemudian keduanya lenyap dalam pekat malam Lembah Bekka.

(3) SubhanaAllah. Bergetar hatinya Munsyi saat menjejak ke Al Haram menghadap Baitullah. Dia bersyukur kerana kembali berpeluang menatap Baitullah. Kali ini, dia membawa seorang teman, Bakri yang kedua ibubapanya sangat berjasa kepada Munsyi. Dia berharap, kunjungannya kali ini akan dapat membalas jasa kedua ibubapa Bakri kepadanya. Dia akan mengajak Bakri untuk membuat Umrah buat keduanya. Munsyi menengadah sebentar ke langit. Bintang-bintang bertaburan cerah, bergemerlapan. Mata-mata Allah sedang memerhati umatNya berduyun-duyun mengadapNya. Angin padang pasir Lembah Bekka menderu, mendinginkan, merindingkan. Dia menepuk-nepuk bahu Bakri. "Kita berada di tempat paling suci di dunia ini. Ayuh kita bersihkan diri. Kita menghadap Allah sebagai hambanya. Hambanya. Ikhlas dan khusyuk menyerah." bisik Munsyi kepada Bakri lalu memimpinnya mendekat. Bakri terteleh-teleh melihat-lihat keliling. Apa mungkin dia masih tidak percaya atau apa di dalam dadanya, Munsyi tidak mahu tahu. Biarkan. Biarkan dia dengan rasahatinya. Inilah langkah keduanya, agar Bakri mempersembahkan dirinya kepada Penciptanya. "Ustaz, kita sholat sunat Tahhiyatul Masjid dulu sebelum Tawaf" pinta Munsyi kepada Ustaz AliGusti yang menjadi Mutawwif mereka. "Silakan Pak. Saya tunggu nanti di luar aja di depan setentang Hajaratul Aswad" ujarnya. Setentang Pintu Baitullah, Munsyi dan Bakri memulai perjalanan mendekatkan diri kepada Ilahi, mereka menunaikan Sunat Tahiyattul Masjid.

(4) " Nanti semasa Tawaf, ikut saja bacaan Ustaz AliGusti. Kita berjalan paling dekat, mempet kepadanya. Tapi kalau engkau tidak dapat mengikutinya, engkau banyakkan saja berTasbih, Takbir, Selawatan, dan bacalah ayat-ayat Al Quran yang mudah-mudah dan kau pohonlah apa kehendak hati engkau. Awas, ikut dekat dengan aku. Kalau terpisah susah nanti" Munsyi cuba membimbing Bakri yang kelihatan masih tercanang-canang bagai rusa masuk kampung. Jam sudah menunjukkan 2.30 pagi. Jemaah sudah mulai berpusu-pusu datang. Banyak yang sholatan di Dataran Baitullah. Waktu paling afdal untuk sholat Tahhajud. Ustaz AliGusti terpacak menanti di tengah-tengah dataran setentang Pintu Baitullah. Bersama beberapa Jemaah baru yang lain mereka memulakan Tawaf. Arus gerombolan jemaah dari Turki, Iran, Pakistan dan Indonesia menerpa di belakang mereka. Munsyi menarik Bakri lebih dekat agar dia tidak terasak ke dalam kelompok seladang itu. Munsyi mendesak Ustaz AliGusti agar sedikit mengambil lingkaran luar, supaya mereka dapat berjalan agak lebih santai. Cukup pusingan kedua Tawaf, Munsyi meminta untuk minum air Zam-Zam yang kebetulan setentangan dengan Pintu Baitullah. "Baik sering minum. Tapi jangan banyak banget" usul Ustaz AliGusti. Semua Jemaah pimpinan beliau ikut nasihatnya dengan baik. "Bagus kalau sebelum minum kita baca Al Fathihah, Al Ikhlas , Al Falaq dan An Nas dan berdoa agar hati, fikiran, dan seluruh tubuh kita terlepas dari segala penyakit khususnya dendam, dengki dan khianat. Sebaiknya pintalah kepada Allah agar hati dan fikiran kita sentiasa lapang untuk menerima hidayah dan segala ilmuNya yang baik-baik. Hadaplah muka ke Baitullah semasa minum." bisik Munsyi kepada Bakri. Jam 3.20 mereka usai Tawaf lalu sholat sunat Tawaf. Kemudian terus melakukan Saie. "Ini dulu padang pasir. Batu kelikir. Kita bermula di Safa, berjalan langkah cepat atau berlari-lari anak ke Marwan, di hujung sana. Bayangkan, dulu 3,000-4,000 tahun dulu, di panas terik, Siti Hajar berlari-lari berkaki ayam mungkinnya kebinggungan demi anaknya Ismail yang sedang kedahagaan. Betapa siksa. Betapa pedih hatinya ibu, demi kasih kepada si anak. Bayangkan itu. Rasakan itu, ertinya pengorbanan seorang ibu" tegas Munsyi kepada Bakri cuba menjelaskan pengertian Saie. Segalanya selesai jam 4.00 pagi. Munsyi menarik lengan Bakri lalu menatap wajahnya. Cerah. Memerah. Bakri tersenyum sambil geleng-geleng kepala. "Aku tidak akan pernah melupakan ini. Engkau benar-benar mengejutkan aku. Mati-mati aku belum pernah tercita-cita untuk ke sini. SubhanaAllah, kegilaan engkau tidak akan pernah aku lupakan" tersembur dari mulutnya kata-kata puas penuh kegembiraan saat Munsyi membantu memotong rambutnya. Munsyi menepuk-nepuk pangkal lengan Bakri. "Tahniah. Alhamdullilah. Kita mampu membuat apa yang mesti kita perbuat. Mudah-mudahan bersama kita akan berbuat yang lainnya dengan penuh yakin dan tabah." balas Munsyi dengan penuh keriangan.

(5) "Engkau masih kuat untuk berjalan? Sekitar tiga puloh minit lagi? Kita buat Tawaf Sunat? Boleh?" tanya Munsyi kepada Bakri. "Ayuh" katanya bersemangat. "Kita kena mulai sekitar setentang dengan Haratul Aswad, itu di Pintu Nombor 95 di sebelahnya Pintu Baitullah. Engkau kena ingat itu. Kita pasang niat di sana. Niat Tawaf, bukan niat Umrah. Tawaf demi Allah. Berbanyak berTasbih, Takbir dan Selawat ke atas Rasullullah. Doa boleh baca dalam bahasa Melayu kalau tidak hafal dalam Arab. Mintalah dengan jelas apa saja dari Allah. Mintalah yang baik-baik sahaja. Jangan ada niat khianat atau membalas dendam. Ini Tanah Haram. Jelas atau sekadar dalam fikiran, perkara yang kotor harus kita bersihkan, kita jangan amalkan itu semua di sini. Semuanya kena bersih, tulus dan ikhlas. Ingat itu. Di setiap, pusingan, kita akan berhenti minum air Zam-Zam. Sebelum minum, berdoalah agar hati, fikiran, tubuh kita dibersihkan dari segala debu dan penyakit yang merosakkan. Ikut rapat aku. Lepas ini aku hendak sholat Subuh di baris belakang Imam Baitullah. InsyaAllah, itu sasaran kita hari ini" Munsyi menjelaskan apa yang wajar dilakukan oleh Bakri. Bakri mengangguk-ngangguk yakin. Munsyi yakin tidak banyak jemaah ada kesempatan sholat di belakang Imam Baitullah. Mungkin banyak juga tidak tahu di mana Imam mengimami sholat. Munsyi, sifatnya, memerhati dan meneroka. Ke manapun begitulah sifatnya. Mungkin dia anak hutan, anak kampung yang hidupnya penuh pertualangan menjadikannya sebegitu. Dia ingin Bakri tahu akan itu, dan mudah-mudahan dia nantinya akan bisa menlaksanakannya sendiri.

(6) Sekitar jam 5.00 pagi, jemaah kian ramai. Dataran Baitullah sudah lebih separuh dipenuhi jemaah. Munsyi menarik Bakri hampir ke sebelah kiri dan ke depan dari Makam Ibrahim, setentang dengan Pintu Baitullah, dan memacakkan diri di sana. Lengannya dia rangkul kemas. Secara spontan, para Jemaah lain terus ikut dan mereka akhirnya membina rantai manusia membentuk saf-saf di baris kedua di belakang Saf Imam Baitullah. "Kita boleh buat sholat sunnat seberapa banyak yang kita mahu sebelum Subuh" bisik Munsyi ke telingga Bakri. Bakri manut. Munsyi perhatikan ada ketika khusyuk berdoa, kepala Bakri ditekan-tekan jemaah yang terus berpusu-pusu lalu. Munsyi hanya tersenyum. Biar dia merasa betapa di depan Allahpun manusia tetap berlumba-lumba. Sekitar jam 5.45 pagi, mereka kembali ke hotel. Memang terasa penatnya. Bakri menghempas diri, lalu terus berdengkor lengkap dengan pakaian Ihramnya. Munsyi berdiri sebentar memerhati riak-riak sang mentari dari ufuk Timur. Perlahan-lahan Lembah Bekka menghadirkan diri. Kemudian Munsyipun rebah belayar ke China bersama halilitar dan petir sambung menyambung dari serombongan hidung dan kerongkong si Bakri.

(7) Jam sudah pukul 9.00 pagi. Bakri masih hanyut jauh. Pakaian Ihramnya masih melekat utuh di tubuhnya. Munsyi bergegas mandi. "Bob, bangun. Cepat. Kita sarapan. Masa dah tak ada" Munsyi meninggikan suaranya membangunkan Bakri. Bakri mengeliat malas. Mulutnya muncung. Menguap. Namun cepat-cepat dia ke kamar mandi dan adus secepatnya. "Aik, pakai Jean dan T-shirt? Boleh ke?", sapanya melihat Munsyi sudah kemas dengan beg Kamera di bahu. "Engkau nak berpakaian Ihram berterusan, itu ikut engklaulah. Aku lepas ini nak berjalan-jalan di sekitar Kota Mekah ini. Engkau nak ikut atau terus nak sambung membuta?" balas Munsyi dalam nada berseloroh."Ah, aku lapar sangat. Jom cepat-cepat." Bakri memburu Munsyi keluar. Mereka turun ke tingkat lapan. Beberapa buah Cafe terletak di situ. Ada lima semuanya. Munsyi memilih yang paling hampir dengan lift. Munsyi pusing keliling mencari meja yang sesuai. Bakri membuntut bagai anak kecil.

(8) Bertimbun pasta dalam pinggan Bakri. Dia begitu lahap meratah. "Engkau tahu tak kenapa gadis-gadis Arab kulitnya lembut dan halus? Sedang lelaki Arab, kelihatan kasar?" soal Munsyi, sambil meletakkan sepiring salad dari pelbagai jenis sayuran berbagai warna dan jenis. Juga Munsyi mengambil sepiring segala bijirin, kekacang, buah-buah zaitun, dan raisin. "Entah' jawap Bakri endah tak endah. "Tok Arab, dia lahap macam engkaulah. Daging, terutama kambing. Roti. Kari. Susu entah berapa gelas baru dia puas. Kau lihat meja di depan kita. Penuh sesak dengan makanan. Makan ikut adap gajah. Sebab itu kulitnya pun mirip kulit gajah, badannya sekali" kata Munsyi. "Hoi, kau menghina namanya tu. Tadi baru bagi khutbah ini Tanah Haram. Tak boleh cakap benda-benda tak baik. Apalah kau ni." sanggah Bakri. "Cuba engkau tengok yang di sebelahnya, mungkin bini, aku yakin bini mudanya. Tok Arab, biasalah pasang dua, tiga entah mungkin yang keempat" tambah Musyi. "Amboi, menyempat. Jadi? soalnya tegas. "Kau lihat kulit wajahnya. Pipinya memerah. Halus lembut macam kapas. Jari-jarinya, sempurna akan warna kulit dan serinya. Anak matanya hitam pekat. Bibir cantik bagai ulas limau manderin" jelas Munsyi. Bakri mencuri-curi pandang. Dia geleng-geleng kepala. Dia mendesah. Dia menghembus nafas kencang. Tikaman matanya seperti pancaran Pak Belang lapar. "Ada apa yang tidak kena ke?" tanya Munsyi muskil. Bakri tidak menjawap. Dia malah kelihatan sangat geram. Bibir dikancing. Mendesah lagi. Nafasnya dilepas kencang. Bakri banyak kali mencuri pandang pada perempuan Arab tersebut. Dia sepertinya ingin menatap puas wajahnya, namun terbayang keresahan saat mereka bertatapan. Dia kelihatan gugup sepertinya. Munsyi memerhati dalam diam. Perempuan Arab, kira dalam lingkungan umur dua pulohan mulai perasan yang mereka sedang berbicara tentang dia. Sesekali dia melempar pandang kepada Munsyi dan Bakri, kemudian dengan tangkas tunduk dan mencuil roti lalu disapu madu, dan menyuapnya perlahan-lahan di balik jiblabnya. Munsyi berkira sayur-sayuran mentah, segala kekacang dan bijiran serta madu memberikan seri kulit yang sempurna buat wanita Arab itu. Selepas itu Munsyi dan Bakri, dalam setiap sarapan mereka, mengikuti pemakanan sebegitu di sepanjang berada di Mekah. Burung Serindit, keluarga Kakatoa, dan Burung Madu adalah iktibar Munsyi.

(9) Usai sarapan, mereka keliling merayau-rayau di seluruh Komplex Safwan-Abraj Al Baiit. Seperti lawatannya terdahulu, toko-toko buku menjadi tempat paling menarik perhatian Munsyi. Semasa Munsyi sedang asyik di Toko Buku Madina, Bakri menyelinap keluar dan katanya ingin melihat pakaian-pakaian jiblab Arab. Munsyi kemudian menyusurnya. Bakri begitu teliti berbincang dengan penjual jiblab-jiblab tersebut yang kebetulan adalah seorang dari Indonesia. Munsyi memerhati dia berpusing keliling meminta penjual berkenaan mempamirkan mana-mana yang dia suka. Satu persatu dikeluar dan dipamirkan. Ada saja yang dia tidak berapa berkenan, namun pelayan berkenaan terus saja melayaninya dengan penuh santun. Selenting di telinga Munsyi bila pelayan bertanya: "Isteri bapak gi mana? Apa tinggi, besar, serta bersih kulitnya. Atau, mungkin kecil, genit? Atau gi mana?". Munsyi agak kehairan juga. Bila Bakri ada isteri? Setahunya, sampai berbuih kedua orang tuanya mahukan dia beristeri, ada saja alasannya, sehinggalah keduanya berpergian kempunan menimang cucu penghasilan si Bakri. Munsyi mengagak pasti dia sedang cuba memilih untuk seseorang. Supaya Bakri selesa, Munsyi mencuitnya dan menuding di seberang dan lolos ke Toko Minyak Wangi di sebelah. Tidak berapa lama kemudian Bakri menyusur dengan wajah seperti hampa. "Ada yang berkenan?" tanya Munsyi ringkas. Dia tidak menjawap, malah menundukkan mukanya. "Sah, bentak hati Munsyi, pasti dia sedang...". Munsyi menepuk-menpuk bahu Bakri: "Nanti di Madinah, lagi banyak yang lebih cantik. Tapi kalau ada masa kita boleh lihat di kawasan butik-butik khusus di sepanjang Aiyad dan Hijrah. Kita ke sana esok kalau sempat" ujar Munsyi cuba untuk lebih menduga. Bakri hanya tersenyum ringkas.

(10) Walaupun masa masih awal, Munsyi mengajak Bakri terus ke Al Haram. Mereka masuk lewat Pintu 1, Pintu King Abdul Aziz, dan meletakkan sepatu mereka di sana. Kemudian terus membuat sholat Sunat Tahhiyatul Masjid, kemudian Munsyi membawa Bakri keliling Baitullah lewat dari dalam Al Haram. Munsyi kepingin dia mendapat orientasi yang baik tentang Al Haram, laluan Saie Safa-Marwan, Sudut Hajaratul Aswad, Pintu Baitullah, Makam Ibrahim dan Hjr Ismail. Kerana terlalu banyak orang sudah menguasai Lantai Utama Al Haram, perjalanan mereka agak tersekat-sekat dan terpaksa naik turun beberapa paras. Munsyi menjelaskan kepada Bakri, betapa setiap Pintu masuk ke Al Haram adalah serupa saja, dan terdapat sekitar 97 buah semuannya. Cuma Pintu Abdul Aziz adalah agak besar dan merupakan Pintu Utama. Kebetulan Pintu itu setentang dengan Menara Jam Mekah. Munsyi juga menunjukkan tempat-tempat berwudhu, jika perlu di kawasan sebelah dalam Al Haram. "Kalau engkau hendak supaya dapat bertahan tidak perlu wudhu, maksud aku tak buang angin dan hadas, aku cadang engkau ikut cara aku makan dan minum. InsyaAllah, setengah haripun boleh tahan" pesan Munsyi kepada Bakri. "Macamana?" tanya Bakri penuh kesungguhan. "Makan macam Minah Arab. Ikut Sunnah. Jangan kenyang. Sekadar cukup. Kurangkan daging. Gas tidak terbina dalam tubuh kita. Minum, jangan banyak. Setengah cawan air Zam-Zam untuk setiap dua puloh ke tiga puloh minit. Biar air sejat sebagai peluh, bukan lewat 'melepas'" jawap Munsyi. Mata Bakri terkebil-kebil. Dia tersenyum. Mungkin dalam hatinya, dia mempersoal kebenaran kata-kata nasihat Munsyi. Sebetulnya tiada siapa yang pernah memberikan Munsyi petua itu. Dia cuma memerhati dan berfikir. Jarang sekali dia melihat wanita-wanita muda Arab berwudhu di sepanjang lawatannya terdahulu. Pasti mereka punya rahsia atau amalan yang sedar tak sedar. Buang angin, hadas kecil dan besar, semuanya terkait dengan pemakanan. Kalau banyak makan daging, pasti banyak buang angin serta nafas mudah berbau. Juga, pasti badan berbau. Maka sebab itu Tok Arab suka bersugi dan nyemperot minyak wangi ke tubuhnya. Begitulah fikir Munsyi.

(11) Sekitar jam 12.00 Munsyi mengajak Bakri mengerjakan Tawaf Sunat. Munsyi mengajarnya bagaimana untuk membuat pusingan dengan pantas jika kesuntukan masa. Paling enak, di lajur paling luar. Jalanan lebih santai tidak bersesak-sesak. Namun, akan berpusing selama sekitar enam puloh ke sembilan puloh minit jika memilih lajur itu. Jika menggunakan lajur tengah, iaitu sekitar dua puloh ke tiga puloh meter dari Baitullah, akan memerlukan sekitar empat puloh ke enam puloh minit untuk menyelesaikan tujuh pusingan. Paling cepat adalah lajur sejarak Makam Ibrahim, kerana itu hanya mengambil sekitar tiga puloh ke empat puloh minit. Itulah lajur kegemaran Munsyi kerana banyak kelebihannya. Pertama, tiga puloh minit sebelum Azan sholat Fardhu, dia pasti dengan cepat dapat terpacak di Saf paling hampir dengan Imam Baitullah. Pasti sholat hampir dengan Imam, apa lagi dekat dengan Pintu Kaabah, Makam Ibrahim dan Hjr Ismail punya kelebihan yang tersendiri. Keduanya, inilah Lajur yang paling mudah untuk menyelinap ke Hjr Ismail. Juga jika diizinkan Allah, pasti dari lajur ini, akan lebih mudah untuk mencelah sampai ke Hajaratul Aswad. Dalam lajur yang lebih dekat dari itu, pasti Jemaah sedang berasak-asak kerana banyak yang keluar masuk dari menjamah birai Baitullah, Hajaratul Aswad, Pintu Baitullah, Makam Ibrahim dan sholat di Hjr Ismail. Arus pergerakan manusia di lajur tersebut paling tidak lancar. Bakri hanya membuntut perlakuan Munsyi. Dia kelihatan yakin dengan strategi Tawaf Munsyi atas keperluan-keperluan tertentu.

(12) "Selepas Dzohor kita naik ke Paras Dua dan Tiga Al Haram. Kita boleh rehat di atas sana sehingga dekat Assar. Kita boleh mengaji atau lelap sekejap. Di sanalah tempat paling santai bagi sebahagian jemaah lelaki dari Pakistan, India dan Indonesia. Kemudian antara Assar dan Maghrib, kita Tawaf sebanyaknya. Masa Isya kita sholat saja di hotel", ujar Munsyi. "Tapi bukankah rugi kita tidak sholat Isya di Al Haram. Hilang pahala 100,000 kali?" sanggah Bakri dengan menjuling mata tajam ke arah Munsyi. "Tanah Haram jaraknya sehingga dua puloh kilometer dari Baitullah. Maksudnya, kita boleh sholat di mana saja dalam lingkungan itu, ganjarannya tetap sama 100,000 kali pahala. Kita nanti sholat di lobi hotel saja. Nanti engkau tahu apa sebabnya" jelas Munsyi. Hebat juga Bakri, fikir Munsyi. Tahu dia, betapa setiap kebaikan yang dilakukan di Tanah Haram pasti mendapat ganjaran 100,000 kali. Cuma, dalam hati Munsyi bertanya, "Berapa ramaikah manusia cuba mengerti apakah hikmah Allah menjadikan ianya sebegitu?"

(13) Sekitar jam 7.20 malam, mereka turun dari kamar ke lobby Hotel. Lautan manusia telah membanjiri lobby hotel. Mereka berasak mendapat sedikit ruang untuk sholat Isya. Usai sholat, semua seperti kerusuhan menghilang. Bakri seperti kehairan. Mereka semua tadi adalah pekerja kedai, restaoran, hotel, serta boroh-boroh di sekitar sini di samping para pelangan. Saat sholat, mereka semua mesti tutup perniagaan dan kembali semula kemudiannya. Inilah keadaan di sini. Siapa yang ingkar, silap-silap kena rotan" jelas Munsyi saat di melihat Bakri melopong kehairan melihat keadaan rusuh para jemaah. "Dahsatlah. Tadi masa di atas aku dapat lihat lautan manusia membanjiri Al Haram dan Baitullah. Maghrib-Isya nampaknya keadaan paling sesak. Lobby hotel dan foyer komplex pun penuh dengan Jemaah. Sekarang aku tahu kenapa engkau tidak hendak Isya di Al Haram dan Dataran Baitullah" ujar Bakri semasa mereka sedang menanti lift untuk ke Tingkat Tiga untuk makan malam. "Aku bukan mengelak, aku saja nak tunjukkan kepada engkau keadaan di sini dalam setiap waktu dan bagaimana cara mengurusnya. Sebenarnya, aku lebih suka berada di Dataran Baitullah sehingga habis Isya. Tapi aku lapar. Kalau kita sholat di sana tadi, kita akan mengambil masa panjang untuk dapat keluar sampai ke sini, susah cari makan di sini. Kita kena banyak berjalan. Kita sudah letih." jelas Munsyi agar Bakri tidak punya salah pengertian. "Yalah. Otak engkau otak tikus. Selalu saja nak cari jalan keluar mudah bagi segala hal" lawak Bakri. Kebetulan dalam zodiak cina, Munsyi lahir dalam tahun tikus. Binatang licik cergas pantas. Dibantengpun masih ulet nyawanya. "Bukan masalah tikus atau apa. Dah ada otak, pakailah. Ingat Allah selalu berpesan...ada mata, lihat, ada telinga, dengar, ada mulut, bertanya..." balas Munsyi pantas.

(14) "Engkau hendak makanan apa? Arab, India, Pakistan, Turki, atau Iran? Indonesia dan Malaysiapun ada." usul Munsyi pada Bakri. Mereka jalan keliling memerhati setiap gerai yang ada. Setelah membuat beberapa pusingan, mereka akhirnya makan makanan Lebanon. Kemudian minum teh tarik di warung Indonesia yang diusahakan oleh pengusaha Bangladesh. "Agak-agak engkau sudah faham tak dengan perjalanan ibadah di sini, maksud aku tentang tempat dan sebagainya?" soal Munsyi kepada Bakri. "InsyaAllah, boleh. Kenapa? tanya Bakri ingin kepastian. "Kita sangat dekat dengan Allah. Di sini, tumpuan kita adalah pada ibadah. Kita harus dapat merasa, mengerti dan menangkap segalanya dengan jelas. Aku rasa tentu engkau hendak bersendiri dengan Allah. Jadi engkau seharusnya bebas bila engkau hendak ke mana dan membuat apa sedekat denganNya. Engkau tidak perlu terikat dengan cara dan waktunya aku. Engkau mungkin sudah mulai berfikir atau merasa apa yang hendak engkau bicarakan kepada Allah. Aku ada benda lain yang hendak aku cari dan bicarakan kepadaNya. Jadi, terpulanglah. Aku tidak kisah. Kita boleh pisah atau kita tetap bersama." jelas Munsyi agak berleter. "Aku ikut engkau. Ada benda yang aku masih takut-takut dan kurang jelas" balas Bakri dengan nada sayu dan memandang, tepat mata Munsyi.

(15) Di kamar tidur, sambil baring-baring Munsyi membelek-belek buku New Issues in Islamic Finance & Economic, oleh Askari, Iqbal dan Mirakhor yang dia beli dari Toko buku pagi tadi. Munsyi berfirasat, lewat buku-buku serta pengembaraan gila ini pasti dia akan menemukan buah fikir terhadap persoalan kerjanya. Dia ingin sebelum kembali ke Tanah Air, dia dapat memohon restu Allah dan Muhammad SAW agar jalan yang ditemuinya adalah jalan lurus, benar, jalan tegap, sesuai dengan fitrah Al Fathihah. Di kasur sebelah, seperti gelisah yang teramat berat, Bakri berbalik-balik tubuh, sejak sekian lama. Sekejap-sekejap dia ke kamar kecil. Seperti ada sesuatu tidak kena dengannya. Terlalu berat mungkin. Munsyi pura-pura tidak perasan dan menumpu perhatiannya pada bacaannya. Munsyi mengiring membelakangi Bakri. Dia membiarkan Bakri terus resah. Membiarkan dia berfikir sendiri, mudah-mudahan dia kemudian mendapat ilham jalannya sendiri. "Orang lelaki, kita tidak perlu ikut sangat persoalan hidup mereka. Biar mereka mencari dulu jalan keluarnya. Fitrah lelaki seharusnya berpetualang. Bob tidak terkecuali." bisik Munsyi diam-diam. Dan saat ini, Munsyi pasti, permasalahan Bakri bukan soal kerja. Ini pasti persoalan pribadi. Jika soal kerja, sudah pasti dia sudah membicarakannya. Dia harus hati-hati jika ingin campur tangan. Dia tahu, demi masa, segalanya ada waktu tepatnya, setiap sesuatu ada aturannya. Saat waktunya tepat, saat keadaanya sempurna, maka kun fa yakunlah, terjadilah, terbongkarlah. Malam itu, tidur Munsyi nyenyak sekali. Tidak sadar kapan dia mulai belayar. Dia belayar merembuh Samudera luas, dalam imbauan seribu ketenangan. Agaknya dia terlelap sekitar jam 10.00 malam. Bila bangkit sekitar jam 3.00 pagi, Munsyi melihat Bakri tetap gelisah di perbaringannya. "Bob, sudah pukul 3.00. Engkau hendak ikut aku Tahajjud ke Al Haram tak?" serunya kepada Bakri. Bakri dengan pantas bangun. Cepat-cepat mereka mandi dan bergegas turun. Mereka berlari-lari bagi menghangat tubuh dari siraman kedinginan bayu Bekka.

(16) Dalam mengah menangkap nafas, Munsyi mendongak ke langit. Malam secerah semalam. Bintang-bintang bertaburan tampak seperti lebih lebat memerhati Ummah. Berderdipan terus-terusan. Membalik gelombang sinar merakam setiap gerak, setiap suara, setiap rasa manusia, lalu tersimpan dalam catatan kira-kira hari kemudian, Loh Mahfuz, teka Munsyi. Bintang-bintang adalah mata-mata Allah. Saat malam ianya adalah bintang dan bulan. Saat siang adalah matahari yang terang benderang. Mengawas dan melihat manusia di mana dan kapanpun. Munsyi berfikir, sengaja siangnya lebih terang dari malamnya. Allah, MahaBijakNya, saat malamnya, manusia dan segala harus istirehat. Maka tidak banyak yang perlu Allah rakamkan akan perilaku mahluknya, apa lagi yang dinamakan manusia kerana mereka banyaknya sedang tiduran. Cukup sekadar bulan dan atau bintang yang mempersaksikan mereka. Sedang saat siang, olah manusia adalah sangat berbagai. Maka matahari Allah tugaskan untuk mempersaksi segala. Biar terang, biar jelas, dan tercatat sempurna dalam Loh Mahfuz. Bayu Lembah Bekka tetap dingin menusuk. Sengaja didinginkan. Sengaja sangat memalaskan. Allah, sebegitulah azaliNya, menguji terus menguji. Dia ingin pasti siapa antara jutaan tetamuNya benar-benar ingin bertamu. Dari Gerbang Abdul Aziz Munsyi dan Bakri, dua sahabat terus melangkah turun lewat Pintu 1 ke Dataran Baitullah. Fikiran Munsyi tertumpu kepada Hjr Ismail. Dia berjalan lurus ke sana. Alhamdullilah, suasana masih hening. Dia dapat masuk ke dalam Hjr Ismail tanpa susah payah. Bakri menyusur dekat. Mereka sholat Tahhiyatul Masjid dan Tahhajud. Saat takbir Munsyi lafazkan, tubuhnya tiba-tiba berguncang kuat. Hatinya menjadi terlalu berat. Airmatanya berkucuran tanpa diundang. Munsyi benar-benar menangis. Dia menadah tangan terketar-ketar berdoa. Munsyi benar-benar tengelam. SubhanaAllah, di sinilah Ismail meraung menangis kehausan. Ismail menuntut kasih sepenuh ibunya. Dia kehausan. Dia kelaparan. Di sinilah pastinya airmata Hajar berlinangan bercucuran tanpa ada siapa untuk mengadu tentang untung nasib mereka berdua. Di sinilah kasih sayang terpecar penuh kesucian menuntut sepenuh pengorbanan. Kasih Hajar kepada Ismail. Kasih suci, setulus hati seorang ibu. Allah MahaPengasih, di sini MahaPemurah dan MahaPengasihnya Dia, rahmatNya terjelma sebagai aliran air yang tidak terputus-putus sehinga Hajar terpaksa memerintah Zam Zam, agar aliran air itu berhenti, namun sehingga kini alirannya tidak pernah putus-putus. Bukan sekadar buat Hajar dan Ismail, tetapi buat segala anak cucu cicitnya sampai kemudian hari. Sesungguhnya, pengorbanan yang suci, kasih sejati, pasti ada saja caranya Allah memberkatinya. "Airmataku dan airmata Hajar-Ismail apakah bisa bersatu di sini?" tanya Munsyi diam-diam menahan sebak yang terlalu dalam. Dia mengenang ibunya yang telah lama pergi. Dia teringatkan semua nenek-neneknya. Dia memohon restu Ilahi agar roh ibu dan nenek-neneknya dapat bersatu dengannya buat seketika. Munsyi seperti terlalu rindu belaian mereka. Munsyi ingin bercerita terutama kepada ibunya tentang dirinya, tentang cucu-cucunya, anak-anaknya yang semakin dewasa. Gurindam Nyanyian Rindu Untuk Ibu nukilan Abiet G. Ade terngiang di telinganya. Munsyi bersenandung dalam diam dalam sedu penuh lirih: "Oh Ibu, Apa khabar sawah kita sepetak?; Masih bisakah kita tanami?; Aku terendam ditelan zaman; Setelah cucumu lahir; Aku lebih faham; Betapa beratnya membesar dan melindungi; Kita yang selalu hidup sederhana; Kau sanggup mengasuh...". SubhanaAllah. Dalam perkiraan Munsyi, demi Ismail, demi kasihnya kepada Ismail, Hajar sanggup terkorban sama lantaran curiganya Sarah. Sarah cemburu akan kasih melimpah Ibrahim AS kepada Ismail. Sarah cemburu kalau-kalau Ishak tidak kebagian pedulinya Ibrahim AS. Ismail pohon dipisahkan jauh. Hajar sanggup terpisah sama. MasyaAllah. Perempuan, sifat cemburu mereka, boleh saja ada yang kecelakaan. Namun, lewat pengorbanan Hajar, bukti kasihnya ibu, sifat penuh tulus dan menyerah, maka Allah melindunginya. Mungkin, telah Munsyi, dari sinilah timbulnya usul betapa syurga itu berada di telapak kaki ibu. Tapak-tapak kaki Hajar berlari-lari kebingungan untuk menyelamatkan si anak yang kehausan. Allah merahmati pengorbanan ibu untuk anaknya melimpah-limpah. Dan Munsyi, terpana di sana, ingin berbakti buat ibunya, berdoa untuknya sepuas-puasnya. Sepertinya Munsyi juga sedang kehausan, apa mungkin sama dengan hausnya Ismail?.

(17) Perlahan-lahan hati dan fikiran Munsyi jadi tenang. Lapang. Puas. Saat dia menoleh ke samping Bakri sedang sujud tersedu-sedu. Dia menangis lebih kuat sehingga pegawai polis yang bertugas mengoyang-goyangkan tubuhnya agar bangkit. Bila kepalanya tegak, usai Tahhiyat, mereka berpandangan. Munsyi menghulur salam kepadanya. Munsyi membimbingnya ke luar dari Lingkaran Hjr Ismail. Pundak pegawai polis tadi ditepuk saat Munsyi melewatinya. Dia mengenyit mata. Munsyi membalas dengan senyum dan ucapan "syukran". Bakri tertunduk. Isak dan sedunya belum reda penuh. Munsyi mengenggam kuat jari-jari tangannya. Mereka terus bergiring, seperti abang menuntun adik berjalan meniti batas-batas sawah. Sebegitulah mereka saat anak-anaknya dulu. Terasa terjalin kukuh keakraban abang-adik, Munsyi-Bakri di waktu-waktu kanak-kanak mereka dahulu. Kemudian, Munsyi lalu mengajak Bakri Tawaf. "Kita berTasbih, kita Takbiran, kita berSelawat dan kita berdoalah sebanyaknya untuk siapa saja. Kita sedekahkan doa-doa kita untuk semua" aju Munsyi kepada Bakri. Dia mengangguk kepala dalam keadaan masih sebel berat sekali. Langkahnya longlai. Munsyi terpaksa menariknya cepat. Perlahan-lahan dia kembali tenang. "Sabar, redhakan segalanya, kita harus kembali kepada fitrah asalnya kejadian kita. Itu kekuatan kita. Itu sendi perjalanan hidup kita." ujar Munsyi terus. Seperti dia dapat membaca sebab sebelnya hati Bakri. Dia sudah kian jelas akan punca beratnya hati Bakri. Ada waktunya, kita sepi kegelapan sendiri seperti kita azalinya dalam rahim ibu. Ada waktunya, kita tidak dipedulikan, sepertinya kita sedang tidur nyenyak. Ada waktunya, kita sendiri sepi bagai sang nelayan terkapai-kapai di samudera luas. Ada waktunya, kita menangis seperti anak kecil kehabisan bekalan susu ibunya. Namun selagi ajal belum menjemput, kita tetap sebagainya kita, melainkan kita memilih untuk sebaliknya" bisik Munsyi sambil memaut rapat bahu Bakri. Mereka kemudian kian melangkah pantas. Bakri sudah arif tentang cara mempercepatkan Tawaf. Dia semakin lama, semakin menjarak dari Munsyi. Menjauh. Munsyi membiarkan saja. "Mungkin dia sudah menemui jalannya. SubhanaAllah. Allahuakbar. Semoga rahmatNya bersamanya" fikir Munsyi. Dia membiarkan Bakri menghilang darinya dalam arus ratusan ribu jemaah.

(18) Saat azan Subuh berkumandang, Munsyi sudah terpacak di samping Makam Ibrahim. Dia memilih untuk lebih dekat kepada Hajr Ismail supaya dapat dengan cepat dia menyelinap ke sana sebaik saja usai Subuh. Agak jauh di sebelah kiri, benar-benar dalam saf di belakang Imam, Munsyi melihat Bakri tertoleh-toleh mencari-cari. Munsyi menghantarnya pesanan ringkas. "Nanti dalam jam 10.00 pagi aku hendak ke Miqat Hudaibyyah. Aku hendak niat Ummrah buat ibuku. Kalau kau nak ikut boleh. Cepat balik lepas Subuh.". Tanpa diduga, saat Munsyi sedang sholat sunat di Hjr Ismail, Bakri sudah berada di belakangnya. Usai sholat, Munsyi maju ke birai Baitullah berdiri dan mendepa tangan sambil berdoa buat semua kaum keluarga, teman-teman dan kenalan. Bakri ikut sama. Di bawah depaan Munsyi, terselimpuh seorang perempuan separuh umur. Munsyi memperluas kuakan kakinya. Munsyi ingin memberi perempuan itu ruang seluasnya serta melindung dia dari rempuhan jemaah lainnya yang sudah berasak-asak mahu masuk. Perempuan itu menangis. Dia berdoa terisak-isak. Dia sedang mendoakan anaknya. Dia mahu anaknya kembali ke pangkuannya. Dia memohon Allah mengembali terangkan hati dan fikiran anaknya. Dia memohon agar anaknya yang sudah nyasar kembali lurus. Dia adalah perempuan dari tanah Jawa. Doanya Munsyi ikuti jelas penuh sedu. MasyaAllah. Munsyi bantu memanjangkan doa perempuan itu kepada Allah. "Ya Allah, Rabulalamin, perkenankan doa ibu ini. Dengarkalah mahunya. Kasihannilah dia. Rahmatilah hidupnya" sambung doa Munsyi. Ibu, sehingga nasib anaknya ke akhir zamanpun dipedulikannya. Namun si anak, apakah dia pedulikan akan tumpah darah, susu, air mata, dan keringat ibunya. Semoga Allah menyambut doa si ibu. Munsyi, entah kenapa, tiba-tiba menepuk bahu sang ibu, sambil berseru "Sabar mbak. Redha. Allah MahaMendengar, Kerunggu. Mudah-mudahan." Si ibu mendongak dengan linangan airmata bercucuran. Mengangguk-ngangguk lalu mengucap "Amin. Kesuwon Pak. Kesuwon bener-bener". Dia menguntum senyum dalam tangis. Dia cuba bangkit. Payah. Munsyi membantunya. Memapah lengannya. Merangkulnya kuat. Kemudian dia menperkenal diri "Saya Munsyi, dari Malaysia. Mbak dari mana?". Dalam sedu, perempuan itu membalas: "Aku seko Mojokerto. Aku Tuminah. Anak perawanku loh Sutiarni, ngak ngerti neng di. Kabur. Mingat. Aku wedi nyasar ngak karuan neng Jakarta opo neng di wae. Orak eneng khabar, wes limang tahunan" jelas perempuan itu separuh membebel. Dia benar-benar risau akan nasib menimpa anak gadisnya. Anak gadisnya keluar rumah tanpa khabar. Mbak Tuminah, kekhuatirannya sepertinya memuncak, takut-takut anaknya hanyut dalam kalut kota seperti Jakarta. Atas simpati, Munsyi mengambil nombor handphonenya, mana tahu kuasa Allah, dia mungkin ketemu Sutiarni di mana-mana, boleh nanti dia membantu menghubung kembali kedua mereka. "Saya jalan duluan mbak. Berdoa dululah. InsyaAllah Dia mendengar doa mbak. Assalamualaikum." pamit Munsyi sambil melepaskan perlahan-lahan rangkulan lengannya pada mbak Tuminah. Munsyi mengundur, berlalu pergi. Setidak-tidaknya, dalam benaknya, Munsyi yakin dia telah mengembirakan hati seorang ibu. Alangkah indahnya jika Mbak Tuminah adalah ibunya. Munsyi berharap, si ibu itu akan kembali dengan sebuah harapan yang cerah. Setiap langkahnya kemudian Munsyi teteskan dengan airmata. Bakri diam seribu bahasa berjalan di sebelahnya. Dia tunduk. Dia tengelam sama. Ucapan SubhanaAllah Walailahailallah WallahuAkbar bagai arus hujan mengalir deras dari dadanya Munsyi.

(19) Sekitar jam 10.00 pagi, Munsyi dan Bakri ke Hudaibyyah menggunakan sebuah teksi. Mereka tidak banyak bicara. Munsyi ketiduran sebetulnya di sepanjang perjalanan itu. Sebaik sampai, mereka sholat sunat. "Ini Miqat Nabi, tempat di luar dari Tanah Haram, di mana jika hendak Umrah, di samping kelmarin dulu di Jeddah, di sinipun kita boleh berniat Umrah. Niat Umrah mesti dilakukan di luar dari Tanah Haram." jelas Munsyi kepada Bakri. "Kita berdua mesti membuat perjanjian. Di sinilah, Muhammad SAW telah membuat Perjanjian dengan Quraish Jahilliah sebelum baginda dapat memasuki Makah lalu membersihkannya dari segala berhala dan najis Jahilliah" tegas Munsyi kepada Bakri. Bakri tampak seperti kebinggungan. Munsyi membawanya ke belakang Masjid. Munsyi menunjukkan sisa-sisa runtuhan Masjid Hudaibyyah yang asli. Munsyi menjelaskan betapa, 1,400 tahun dahulu, di sinilah hikmah akalnya Muhammad SAW akhirnya dapat menundukkan Aby Suffyan, sepupu baginda, panglima perang Quraish yang agung, seteru awalnya Islam, kedua berbanding Khalid Al Waleed, yang akhirnya mereka berdua bergabung di bawah panji-panji Islam lalu menghalau Rom dari Palestine, Jordan, dan Syria. Hudaibbyyah tidak hanya membersihkan Baitullah dari segala kekufuran, tetapi ianya juga adalah asas bagi perkembangan Islam seterusnya. "Aku mengajak engkau ke sini, supaya kita mengambil hikmah di atas ketegaran Muhammad SAW dalam perjuangan baginda. Kita kena sama-sama kukuh dalam perjuangan kita kini dan seterusnya. Kita boleh mengalah, tetapi kita tidak mengaku kalah. Kita mengundur untuk mengempur. Itulah perjanjian engkau dan aku. Di sini, kita bertekad sebegitu, di tapak maha besarnya bakti Muhammad SAW kepada semua UmmahNya. Apapun terjadi kepada kita, kita mesti kukuh berjuang untuk kebaikan Ummah. Boleh?" pinta Musyi penuh tegas kepada Bakri. Munsyi memegang bahu Bakri. Menguncang-guncang. "Ya. InsyaAllah" balas Bakri dalam nada keras. Munsyi, dalam jalan fikirannya, dia ingin dirinya dan Bakri tetap pada jalan fitrah hidup mereka. Mereka terlahir dan mendewasa dalam masyarakat yang perlu sejuta pembelaan. Maka, mereka harus tetap pada jalan itu. Munsyi ingin menanamkan rasa cinta Bakri kepada Ummah, kepada tugasan Allah untuk manusia menjadi pemimpin tertanam kukuh dalam diri Bakri. Mudah-mudahan dengan itu, segala masalah pribadinya, akan dia hadapi dengan cekal lantaran dia punya matlamat hidup yang jauh lebih besar. Dia benar-benar mahukan Bakri sadar akan tujuan hidupnya, bukan sekadar untuk dirinya, tetapi memimpin buat kesejahteraan kelilingnya. Itulah cara Munsyi, halus dan panjang jalanannya. Biar payah, biar terpaks merempuh apa dugaan, dia sangat jelas dan yakin akan pegangannya. Selepas menukar kepada pakaian Ihram, mereka kembali ke Mekah. Kali ini, kedua-duanya kalah oleh keletihan lalu tidur dan hanya bangun bila pemandu teksi dengan keras menguncang bahu Munsyi saat mereka sudah berhampiran hotel. Munsyi menghulurkan RM100.00 buat tambang dan sedekah kepadanya.

(20) "Aku hendak balik ke Kamar dulu. Nanti selepas Assar baru aku turun untuk Umrah buat kedua Ibubapaku. Aku akan berada di Baitullah sehingga selepas Isya. Kalau engkau hendak sholat Assar di Al Haram, kau pergilah. Kalau tidak kita Jemaah di Kamar saja. Nanti kalau engkau hendak mengikut aku Umrah, tunggu aku dekat Makam Ibrahim sekitar jam 5.00 petang. Kalau tidak, engkau boleh buat sendiri, sama saja macam kita buat di hari pertama dulu. Jangan lupa segala rukun-rukunnya; niat, Tawaf, Sholat sunat, dan Saie. Masa nak potong rambut, engkau boleh cabut saja tujuh helai atau lebih. Tak perlu gunting". Munsyi mengusul kepada Bakri. Munsyi benar-benar ingin supaya Bakri mencari dan menemui dirinya sendiri. "Baik. Aku cuba. Nanti kalau aku tidak yakin, aku ulang bersama engkau sekali lagi" balas Bakri. Munsyi menepuk bahu Bakri dan dengan cepat berlalu pergi.

(21) Tepat jam 5.00 Munsyi turun ke Dataran Baitullah. Jemaah agak kurang hari ini. Dia menunaikan sholat sunat dan Assar tidak jauh di belakang Makam Ibrahim. Hari ini, dia bertekad akan menghabis banyak masa di sekitar Makam Ibrahim. Dia menjengah-jengah. Bakri tidak kelihatan. Mungkin dia sedang Umrah sendiri. Munsyi mengambil lajur tengah dan secara kebetulan gerombolan dari Turki berada di depannya. Pergerakkan mereka yang seperti sebuah pasukan perang yang teguh bersatu menyediakan lapangan di belakang mereka dan ini memudahkan sesiapa yang sanggup bergerak bersama mereka. Munsyi mengikut mereka berlari-lari anak. Penat juga. Apa lagi lantai Dataran Baitullah yang keras agak tidak sesuai untuk berlari-lari. Segalanya usai dalam tiga puloh minit. Munsyi terus Saie dan menghabiskannya dalam dua puloh minit. Munsyi sengaja memaksakan dirinya. Dia ingin merasa keadaan Muhammad SAW dan para bala tentera Islam, saat mereka Tawaf dan Saie setelah menempuh tujuh hari perjalanan dari Madinah-Mekah, mereka terus berlari-lari bagi menyangkal lecehan Quraish betapa para askar Islam adalah tentera lembik. Tawaf cara Muhammad SAW dan semua bala tenteranya membuktikan mereka tentera yang penuh cekal dan perlu digeruni. Kemudian Munsyi terus berada antara Makam Ibrahim dan Hjr Ismail menunaikan sholat sunat sepuas-puasnya sementara menanti Maghrib.

(22) Ibrahim AS, adalah bapa bagi umat Islam, selepas Adam AS. Bagindalah yang memulakan membenci segala patung sembahan kaumnya yang kebetulan adalah ukiran bapanya. KeImanannya kental. KeTaqwaannya tegar. Sangat zuhud. Tiada Tuhan baginya, melainkan Allah. Baginda sama sekali engan tunduk kepada kebodohan menyembah dan mendewakan patung-patung ukiran manusia sendiri. Kerana itu baginda dicampak ke dalam api membara, baginda sanggup menghadapinya tanpa gentar. Bagindalah yang membangun semula Baitullah setelah Adam AS. Bagindalah yang telah meletakkan banyak asas adap Tawaf sehingga menjadi sebahagian dari rukun dan sunat Hajj dan Umrah. Kerana pengorbanannya terhadap isteri tersayang, Sarah, baginda sanggup mengorbankan anaknya Ismail dan isteri mudanya Hajar kesendiri dalam peliharaan sepenuhnya Allah. Ibrahim AS menunjukkan teladan keTaqwaan mutlak. Penyerahan penuh. Sehingga anaknya juga sanggup baginda korbankan, kerana baginda yakin, pasti Ismail selepas itu akan terus bersama Allah ke Syurga. Atas keyakinan mutlak Ibrahim AS, Allah melimpahkan kasih sayang kepada Hajar-Ismail. Sarah-Ishak juga terus mendapat rahmat Allah bersama Ibrahim AS. Keduanya terpelihara, malah kerana doa Ibrahim, Tanah Haram sehingga kini terus makmur dan sejahtera. Sesungguhnya, MahaBijaksananya Allah, di Tanah Haram berpulangnya Ibrahim, semuanya sebagai peringatan kepada Ummah, khusus anak-anak dan para isteri, betapa pengorbanan mutlak dengan penuh ketulusan lelaki, suami, dan bapa akhirnya membahagiakan semua.

(23) Apakah tidak mungkin, kerana ini maka tercetus saran di bawah telapak kaki suami, adalah syurga bagi para isteri. Pengorbanan Ibrahim AS tidak lain, hanyalah buat kebahagian Sarah, keselamatan Hajar. Munsyi mentafsir, pengertian syurga adalah sebagai kebahagian. Bukan syurga pada pengertian sempitnya. Jika isteri adalah berbahagia di bawah naungan sang suami, maka berbahagialah seluruh zuriatnya yang lain, seluruh isi keluarganya. Sesungguhnya sebegitulah pengertian syurga di telapak kaki suami dan ibu. Munsyi punya tanggap sebegitu. Di titik inilah di Al Haram, Munsyi menemui erti cinta suci kebaktian kedua ibubapanya, yang tidak pernah sempat dia balas, walau sekelumitpun. Maka, Munsyi menghabiskan banyak waktu di antara Makam Ibrahim dan Hjr Ismail, untuk memanjat doa buat kedua ibubapanya. Saat mereka masih ada, kebahagian seluruh hidup kekeluargaannya amat terasa dan terkesankan. Semoga mereka mendapat rahmat sebagaimananya Hajar dan Ibrahim AS di sisi Allah. Munsyi membasahi telapak tangannya dengan segala linangan airmata yang dapat dia curahkan, berdoa untuk kedua orang tuannya. Semoga titisan airmatanya menjerap doa-doanya lalu tersejat terangkat ke langit mengumpal bersama awan lalu gugur menjadi hujan menyirami pusara lalu menyegarkan roh kedua orang tuanya. Munsyi juga memohon sepertinya Ibrahim AS kesejahteraan bagi semua kaum keluarga, sahabat handai, kenal taulan serta mereka yang dalam kesusahan. Munsyi kian mengenali dan yakin, ketulusan cinta dan pengorbanan, cinta berlandaskan fitrah Ilahi adalah kebahagian yang tiada bandingan akhir kesudahannya, di dunia juga di akhirat.

(24) Usai Isya, sekali lagi dia melakukan Umrah. Tadinya Umrah sebelum Assarnya dia lakukan untuk bapanya, kini sebelum Isya adalah Umrah untuk ibunya. Usai segalanya sekitar jam 9.00 malam, Munsyi berjalan keluar merentas dari Marwan melawan arus manusia ke Gerbang Abdul Aziz. Saat melintas sekitar Makam Ibrahim, dia dapati Bakri tercegat berdoa di sana. Munsyi perlahan-lahan menghampirinya dari belakang. Munsyi berdiri setapak ke belakang di samping Bakri. Mata Bakri terpejam rapat. Dadanya terkuat luas. Kedua-dua tangannya keras menghadap Pintu Baitullah. "Ya Allah. Aku memohon pertunjuk darimu tentang aku dan Sharen. Jika ada restuMu, maka perkuatkan kasih kami berdua. Jika tidak, setiap teguk Zam-Zam yang kupinum, maka Kau hapuskan segala rasaku kepadanya. Aku memohon pertunjukMu Ya Allah......" sayup tempias doanya di bawa bayu Bekka membelah gegendang telinga Munsyi. Mendengar akan rintih Bakri sebegitu, Munsyi mengambil keputusan mengundur. Niat Munsyi untuk mengajak Bakri pulang dan makan malam bersama dia tinggalkan. Munsyi melangkah pulang sendiri. Kini ternyata dugaannya benar. Bakri punya permasalah sendiri yang sangat berat. Munsyi melangkah pulang dalam langkah-langkah pendek, perlahan dan berat. Dia berfikir. Dia berkira. "Esok, lebih baik aku bawa Bakri ke Jabal Rahmah. Di sana, mudah-mudahan aku dapat mencarikan jalan yang lebih meyakinkan buatnya. InsyaAllah" bisik hatinya diam-diam.

(25) Malam itu Munsyi benar-benar terlena. Lena penuh. Tidur mati. Munsyi tidak sadar, sehingga azan Subuh berkumandang di corong speaker kamarnya. Dia bangkit. Bakri tidak ada. Mungkin Bakri telah pergi Tahajjud awalan dan tidak mahu menganggunya, fikir Munsyi. Dia bergegas tanpa mandi terus ke Al Haram. Tidak sempatpun Munsyi memasuki Al Haram, sholat Subuh sudah dimulai. Munsyi hanya berpuas hati sholat bersama jemaah lain di luar dataran Al Haram antara Jam Besar dan Gerbang Abdul Aziz. Agak berbeza sedikit suasana sholat di sana berbanding rasanya di Dataran Baitullah. Di sana, jemaah terpaksa berasak-asak bersama segala macam perangai lengai manusia. Mereka banyak seperti tidak peduli apakah jemaah lain selesa sholat bersama mereka. Sepatu-sepatu mereka paling tidak teratur dan mengeluarkan bau-bauan tengik yang tidak mengkhusyukkan sholat. "Mungkin kerana itu, Muhammad SAW ada ketikanya menasihatkan jemaah agar sholat bersepatu" fikir Munsyi sendiri. Usai sholat sunat, Munsyi segera kembali pulang ke kamar. Kakinya terasa sakit-sakit. Dia kembali baring. Dia menghantar pesanan ringkas buat Bakri menyatakan dia kepenatan dan ingin menyambung tidur sehingga jam 9.00 pagi nanti. Namun bila Munsyi bangkit, Bakri tetap tidak ada. Munsyi segera menghubungi handphonenya. Berdering. Tetapi, deringan keluar dari bawah bantalnya. Munsyi menyelak bantal Bakri yang tersusun rapi, handphonenya ditinggalkan. "Apa hal si Bob ni? Ke manapula dia pergi?" hati Munsyi mulai gundah. Namun rasa lapar membawanya cepat ke Lantai Lima untuk segera sarapan. "Apapun aku kena pulihkan kembali segala tenagaku" bisik hati Munsyi.

(26) Sekembali semula ke kamar sekitar jam 10.00, Bakri tetap tidak ada. Munsyi semakin gundah. Namun dia yakin, Bakri pasti sedang bermunajat khusyuk di mana-mana. Munsyi berdoa semoga dia mendapat pertunjuk sebagai yang dia pohon. Munsyi mencapai beberapa buku yang telah dia beli. Membelek-belek pantas beberapa darinya. Namun dia kembali terlelap tidak berapa lama kemudian. Bila sadar sekitar jam 12.00 dia terus ke Al Haram, menunaikan sholat sunat sebanyaknya, serta Tawaf sepuasnya sehingga Maghrib. Di antara waktu-waktu sholat, dia keliling Al Haram, meninjau-ninjau Paras Bawah, Dataran serta Paras Dua dan Tiga untuk melihat kemungkinan adanya Bakri. Munsyi tidak menemuinya. Pun begitu, kegundahannya tidak terasa berat, maka Munsyi yakin, Bakri pasti ada di mana sedang beriktitaf. Saat Azan Isya akan berkumandang, Munsyi mengambil keputusan melangkah keluar dari Al haram dan berhajat menunaikan sholat Isya di Dataran Luar sahaja, biarpun sedikit agak kurang selesa. Badannya mulai terasa seram sejuk tanda-tanda dia akan mendapat demam. Tanda-tanda awal selsema sudah mulai terasa. Dia perlu isterirehat lagi serta tidur awal. Dia paling takut, saat dia mulai selsema, pasti dia akan mendapat batuk dan itu pastinya akan berlarutan.

(27) Pintu kamar terbuka perlahan-lahan. Bakri melangkah masuk kusut masai. Munsyi antara sedar dan separuh pejam, menguap dan mengeliat. "Astarfirulah Halazim. Apa sudah jadi dengan engkau ni? Dari mana engkau? Kena culik Minah Badwi mana?" lontar soal Munsyi separuh berseloroh. Dia melihat pada jam di tengannya. Sudah jam 1.30 pagi. Bakri terus membanting diri ke tilamnya. Dia tidak berkata apa-apa. Dia menarik selimut dan terus mahu tidur. Munsyi bangkit, menjamah dahi dan leher Bakri. Terasa biasa suhu badannya. Munsyi melangkah ke kamar mandi, berwudhu lalu sholat Tahajjud di kamar sahaja. Dia merasa agak malas untuk ke Al Haram. Apa lagi, dia sudah mengambil keputusan untuk mengawasi Bakri. Dia tidak mahu Bakri menghilang sekali lagi. Dia bertekad membawa Bakri ke Jabal Rahmah.

(28) Saat bersarapan sama, Munsyi menyoal Bakri ke mana dia menghilangkan diri sehingga handphonenya pun tidak dia bawa. "Aku bersama sekumpulan Jemaah Indonesia berkampung di lantai Dasar Al Haram. Mereka tujuh orang semuanya dengan seorang Ustaz Pembimbing peranakan Pakistan-Yaman-Indonesia. Mereka dari Jawa Barat. Dua darinya adalah petani, seorang peniaga kecil-kecilan, seorang pelajar, dua orang yang kerja mereka suka mengembara. Mereka sudah lama di sini, sengaja menginap secara 'haram' ingin mencari kedamaian. Sudah hampir-hampir dua tahun. Cuma kehidupan mereka agak kurang selesa kerana sering kekhuatiran tertangkap Polis Mekah. Mereka sengaja lari dari kehidupan di Tanahair yang sangat membebankan. Aku ingat hendak ikut mereka." jelas Bakri dalam kelesuan yang belum pulih. Ungkapan "Aku ingin hendak ikut mereka" sangat mendebarkan Munsyi. Dia jadi gundah. Munsyi sebetulnya sudah pernah bergaul dengan kumpulan yang Bakri maksudkan. Mereka adalah anak-anak muda dan dari pertengahan umur yang masuk ke Mekah atau Madinah lewat pelbagai cara. Kumpulan mereka tidak besar, sekitar lima ke tujuh orang. Sengaja mereka bergerak dalam kumpulan yang kecil-kecil untuk mengelak dari mudah dikesan pihak berkuasa Mekah atau Madinah. Mereka menjadikan Lantai Dasar dan Paras Dua Al Haram sebagai tempat perkumpulan mereka. Di Nabawi, mereka banyak berkampung di Rhaudah sehingga boleh menyulitkan jemaah lain untuk dapat sholat di sana. Biasanya mereka akan membaca Al Quran beramai-ramai dan di antaranya ada pembimbing yang akan membantu dalam memperbetulkan cara bacaan dan selanjutnya menghuraikan erti dan tafsiran ayat-ayat tersebut. Saban hari sebegitulah kehidupan mereka. Saat kehabisan wang, mereka akan bekerja membantu apa saja bidang pekerjaan yang ada sekadar cukup untuk makan. Lambakan pekerja dari Indonesia, Bangladesh, India, Pakistan, Afrika dsb di Mekah dan Madinah memudahkan pergerakan mereka. Kemurahan hati sebilangan bangsa Arab juga memudahkan kehidupan mereka. Sumbangan makanan dari para dermawan Arab sangat-sangat membantu kumpulan-kumpulan seperti ini. Umpamanya sebuah kaunter khas di pelantaran Hilton Mekah tersedia dengan bungkusan makanan sumbangan sesiapa sahaja untuk makan siang dan malam percuma para musafir atau fakir. Sebetulnya, kumpulan-kumpulan sebegini tidak terbatas di kalangan para pendatang dari Indonesia, bahkan berlambak khususnya dari Turki, Pakistan, Bangladesh, India, Mesir, Asia Tengah, dan Pattani-Siam. Munsyi pernah bergerak dari satu kumpulan ke satu kumpulan ini dan cuba merasai hakikat hidup yang telah membawa mereka ke jalan seperti ini. Rata-rata mereka adalah pencari yang ingin bebas dari segala kemelut hidup yang tidak berkesudahan. Sekilas pandang banyak antara mereka adalah golongan payah yang tersepit oleh banyak keresahan hidup.

(29) Jika benar Bakri memutuskan untuk terus berkelana bersama kumpulan ini, Munsyi merasa amat tidak bersetuju. Dia bertekad untuk menghalang Bakri dari mengambil jalan sebegitu. Munsyi pasti, betapa Bakri dan bahkan dirinya tidak terlahir untuk sebegitu. Allah ada muslihat dan hikmahNya tersendiri mengujudkan sesiapa di mana serta dalam keadaan apa saja. Segalanya sudah Dia tetapkan batas tanggungjawap masing-masing. Terlalu sayang rasanya, kehebatan yang ada pada Bakri tidak digunakan untuk kepentingan Ummah. Dia tidak mahu, hanya kerana sedikit kancah, kegalauan hidup, Bakri ingin menyendiri dan melupakan natijah fitrah kejadiannya. Jikapun Bakri ingin mendamaikan hatinya lewat pengisian kerohanian, Munsyi yakin, pasti ada cara yang lebih baik untuk memadamkan rasa kecewa, berputus asanya. Sekali lagi Munsyi terpaksa memerah otak, dan berdoa kepada Allah untuk memberikan dia pertunjuk ilham untuk menguraikan permasalahan Bakri. Buat Munsyi, jika Allah mengizinkan sesiapapun untuk lari dari kekecewaan sebegitu saja, maka apa perlunya cerita Yunus AS ditelan ikan Nun tercatat di dalam Al Quran? Noh AS juga bukan kepalang kecewanya, namun Allah menetapkan baginda melupakan anak dan isterinya, untuk terus bersama Ummah. Begitu juga, Muhammad sebelum kerasulan baginda sering khalwat sendiri. Menyendiri kecewa atas keJahillan masyarakatnya, namun saat baginda memperolehi tugasan, baginda diperintah untuk berani ke depan biar nyawa sekalipun terancam. sesungguhnya semua itu mendidik Ummah, biar sebeasr mana hadangan perjuangan hidup, semua harus tabah menantangnya. Itu firasat Munsyi. Dia mahu Bakri terus sebegitu. Dia mahu Bakri benar-benar berpegang kepada sumpah mereka di Hudaibyyah.

(30) Saat berbaring menantikan Dzuhor, Munsyi terus ligat berfikir. Bakri di kasur sebelah telah kembali nyenyak di balik selimut lembut tebal. Dia cuba-cuba mengimbau kembali segala bahan bacaan dan perjalanan kehidupan dirinya. Baringnya berlapik kedua telapak tangan. Matanya tajam memandang lelangit kamar. Hatinya mulai berkira-kira. Sangat hebat sentuhan seorang perempuan pada seorang lelaki. Adam tersisih dari syurga gara-gara Hawa mudah tergoda oleh Iblis untuk memakan buah Khuldi. Adam mudah luruh Imannya hasil bujukan lembut Hawa. Qabil sanggup membunuh Habil hanya kerana perempuan. Ibrahim AS terpaksa berpisah dari Ismail hanya gara-gara cemburunya Sarah. Noh AS menjadi begitu berdukacita kerana keingkaran isteri (dan anaknya) untuk kembali ke jalan Allah. Yusuf AS menghadapi bahaya kekejaman penjara Firaun lantaran isteri pembesar Firaun yang gilakannya. Mesir kuno hilang kedaulatannya akibat serakahnya Cleopatra. Rom akhirnya hancur akibat kegilaan Mark Anthony dan Julius Caesar terhadap Cleopatra. Kerajaan Islam Khan di India musnah gara-gara Mumtaz Mahal yang menjadikan Jahangir Khan sasau tidak pedulikan pentadbiran negara. Sultan Mahmud mulai dibenci rakyat hanya kerana seulas nangka idaman seorang perempuan rakyat sahaya yang mengandung."Tidak terbayang apa akan terjadi kepada Adam AS, jika Allah menafikan kehendaknya untuk punyai pasangan, biarpun di syurga, dia boleh mendapatkan apa saja. Pasti Adam AS termanggu, nongkrong terus-terusan, tidak pedulikan apapun perintah Ilahi. Mungkin iblis akan mengangkatnya jadi paling derhaka, paling engkar" fikir Munsyi.

(31) Saat fikirannya terus melayang mencari-cari jalan untuk menyelamatkan Bakri, dia singgah di perjalanan hidupnya tersendiri. "SubhannaAllah. AllahuAkbar" serunya sambil bangkit duduk bertinggung. "Bapa pergi dalam usia yang masih terlalu muda, saat seisi keluarga sangat memerlukannya, gara-gara cinta rindunya yang sangat mendalam pada ibu" bisik Munsyi seperti separuh mengeluh. Tidak semena-mena matanya berkaca-kaca. Dadanya menjadi sangat perit. Kehidupan lepasnya kini jelas dipertonton di wajahnya. Dia sangat sebel. Dia menahan kuat sebak di hati. Dia menangis dalam-dalam diam-diam. Juga, kira-kira tiga tahun yang lepas dia sendiri pernah hampir terbakar, lemas terkapar lantaran cinta yang tidak menjadi. Dia pernah jatuh cinta dengan seorang gadis, Sri Kandi yang beda umur agak jauh darinya sekitar dua puloh empat tahun. Umur adalah faktor utama, apa lagi ditokok dengan jarak tempat yang sangat jauh menjadikan perhubungan antara mereka menjadi payah. Sri Kandi di Kuala Lumpur. Munsyi di Kuching. Laut China Selatan jadi pemisah. Ribut taufan mengelora segala. "Kenapa umur jadi penghalang? Kenapa jarak jadi penghadang?" Munsyi mengeloh. "Berapakah usia Adam AS saat Hawa tercipta dari rusuknya? Kenapakah Adam AS dan Hawa tidak didaratkan bersama saat mereka diturunkan dari syurga? Kenapalah manusia sering lupa akan asal kejadian segala mahlukNya? soal Munsyi penuh sesal. Biar cintanya paling tulus buat Sri Kandi harapan, dengan apa juga pengorbanan yang diperlukan pasti dia tunaikan, namun terlalu sukar baginya mengikat hati Sri Kandi idaman. Segala jalan dia usahakan. Hati si Sri Kandi tetap hambar. Bagai merpati, makan di tangan, ditangkap lari. Apa lagi, dalam masa yang sama bebanan kerja masing-masing yang kian meruncing. Si Sri Kandi ingin mengejar mandiri, agar tidak mudah dipermainkan sesiapa khusus yang dinamakan lelaki. Pendidikan kini sepertinya telah memisah luas jurang kebertanggunjawaban antara lelaki dan perempuan. Pendidikan kini telah mengajar rasa prejudis yang kian menebal. SubhannaAllah, makanya, inilah kekhuatiran Muhammad SAW 1,400 tahun dahulu sehingga baginda berwasiat agar para suami harus menjaga isteri-isteri mereka sebaik-baiknya. Sedang di saat yang sama, Munsyi benar-benar tercabar dalam kerjayanya. Terlalu banyak perkara terbeban ke atas pundaknya. Pun juga kerana sumpah kerjayanya untuk mensejahterakan Ummah, dia tidak pernah mahu menduakan kerjayanya dari apapun urusan pribadinya. Dia terlalu taksub ke atas kerjayanya, khusus yang terkait dengan kepentingan masyarakat payah dan susah. Atas sifat prihatinya yang sangat mendalam, dia dilihat sebagai seorang yang mahu dan mampu berbuat apa saja dengan apa cara. Dia sanggup menerobos lewat jalan apa sekalipun asalkan hajatnya untuk membantu masyarakat yang terpinggir kesampaian. Dia benar-benar bersikap pemberani dan keras. Dia berani bersemuka dengan siapa juga demi kepentingan kelompok masyarakat sebegitu. Sering dia dilihat sebagai seorang yang keras serta degil, sedang di dalam hatinya Munsyi dia berkira, betapa sudah terlalu ramai manusia di sekeliling yang baik-baik bagai kucing siam manjaan, apa salah dia mengaum menjadi harimau agar semua berlari kencang menjalankan tugas masing-masing sekerasnya. Sifat sebegitunyalah menjadikan banyak pihak mulai curiga kepadanya. Benci sebetulnya. Pelbagai prasangka dan momokan menebar tentang masa depan kerjayanya. Apa lagi kian berlambak kepercayaan digunungkan ke atas kepalanya, akhirnya telah menimbulkan rasa iri lantas berkembang jadi dengki di atas ketangkasan dan kecerdasannya dalam menghadapi apa juga persoalan. Fitnah lalu berleluasa. Sedang di Kampung, kaum keluarganya bertelingkah hebat berebut harta sejengkal. Ada sampai sudah enggan bertegur sapa. Anak-anak dan ibubapa pada sudah berantakan. Dia terperangkap dalam banyak kancah kekeluargaan ini. Ada juga usahanya untuk menarik keluar sebahagian kaum keluarga dan jiran tertangga yang sekian lama terperangkap dalam kemiskinan sering saja disalah ertikan. Usahanya sering dilihat sebagai ingin memperguna dan menipu golongan miskin. Sepertinya dia adalah kapitalis Yahudi di tengah kampung Palestin. Namun Munsyi tidak pernah mengalah. Dia cuba membantu mencari pelbagai jalan keluar, namun lantaran kerana adanya pertalian darah yang masih terlalu akrab, dia terpaksa berdepan dengan keadaan dimuntah mati emak, di telan mati bapak.

(32) Akhirnya dia kembali terbaring. Kakinya bertompang. Digoyang-goyang. Perlahan-lahan dia mengukir senyum sendiri. "Kalau difikir, aku sudah lama gila. Paling tidak sudah lama kalah menyerah dan jadi tidak peduli. Bagaimana aku dapat melepasi semua ini sendiri? Kembali berdiri dan berjalan baik?" soal hatinya kepada dirinya. Dia mendepani semua persoalan hidupnya sediri-sendiri. Jarang sekali dia berbicara dengan sesiapa tentang hidupnya. Paling-paling dia menghabiskan masa untuk membaca. Juga paling dia gemar adalah berkelana, berpetualang sendiri-sendiri, ke mana saja biar ke tempat paling tidak akrab buatnya. Saat puncak segala permasalahannya, dia akan kabur. Dia mengembara sendiri. Dia hidup berkelana. Dia berjalan jauh menikmati alam. Dia merempuh segala kepayahan. Bahkan suatu ketika dia menjalani kehidupan paling miskin yang pernah dia lalui. Sebulanan dia menumpang hidup bersama sebuah keluarga tani yang makannya saban hari hanyalah nasi, ikan masin, gereh dan air kosong. Tidurpun tanpa bantal yang baik. Tidak layak disebut bantal sebetulnya,; hanyalah gumpalan kain perca, gombalan yang sudah hampak. Alasnya hanya tikar nipis yang sudah lusuh. Selimutnya hanyalah kain pelekat, ditarik tutup muka, kaki terbogel, ditutup kaki, kepala di serang nyamuk. Jika di tahun 1960an dulu hidupnya payah, rasanya kehidupan yang dilaluinya semasa itu jauh lebih susah

(33) Saat sasau bengangnya dia, Munsyi kegilaannya merantau sendiri tanpa rencana, tanpa apa juga persediaan rapi. Dia menerobos bagai sang srigala yang tengah lapar. Dia sering keliling ke seluruh Tanah Melayu, sendiri sendiri. Dia berani membelah Crocker Range, merentas setiap desa di Sabah, juga sendiri-sendiri. Dia merantau ke desa-desa di Pulau Jawa, di Sumatera, merayap ke desa-desa penuh kancah di Pattani, langsung membawa diri bersama masyarakat Champa di Tonle Sap di Laos, Kemboja dan Vietnam. Dia pernah hampir-hampir terjun ke Sungai Mekong yang berarus deras di perbatasan Myanmar, untuk mengelak jegetan soldadu. Dia pernah kabur berminggu-minggu di pergunungan Chiang Rai, Siam bertemu sisa-sisa kaum Yunan Muslim yang hidup penuh penindasan dan pengasingan. Nyawanya pernah hampir melayang di muncung ledakan para soldadu saat kegilaannya untuk merasa rusuhan rakyat susah rakyat payah di Kota Bangkok. Dia pernah kabur merayap di celah-celah kesempitan dan sengsara Bangsa Moro di Mindanoa. Dalam perjalannya yang hanya lengkap berbekal kamera dan komputer sering disalah erti sebagai penyusup Barat bertopengkan Asia, maka dengan itu dia sering juga berdepan dengan bahaya serakah manusia. Banyak jalan kelana, pertualangannya dihadang, jegetin para soldadu yang laparkan wang rasuah. Namun, Munsyi terus mencabar dirinya. Dia rempuh segala kepayahan sendiri tanpa rasa takut, sesal dan khuatir. Buatnya, jika dia gagal dalam merempuh segala dugaan ini, maka hidupnya pasti sudah mencapai titik penghujung. Noktah. "Jika aku tewas dalam kembaraan sebegini, sekurang-kurangnya aku mengerti betapa aku telah tewas dalam pencarian yang suci. Aku tidak tewas dengan hanya duduk menangis dan mengalah" kata hatinya. Itulah pegangannya sehingga dia dapat menerobos segalanya. Lalu akhirnya, dia menemukan, menetapkan hatinya untuk teguh sebagai pejuang."Tuhan MahaKayanya Engkau, saat aku telah mampu mengecapi segala, dipertemukan aku kembali ke zaman susahku. Semuannya mungkin kerana Engkau tidak mahu aku lupa akan yang payah dan susah. MahaBesarnya Engkau Ya Allah; kapanpun tetap Engkau melorong aku ke jalan fitrah tujuan kejadianku" bisik Munsyi penuh syukur di atas peringatan Allah kepadanya.

(34) Buat Sri Kandi idaman, dia bertekad untuk hidup ke umur 125 tahun. Pada firasat Munsyi, mungkin Sri Kandi bertanggap kerana beda usia yang terlalu besar, pasti Munsyi akan menemukan ajalnya jauh melewati dirinya. "Mungkin dia takut jadi janda terlalu awal" sangka Munsyi sinis. Namun cintanya buat Sri Kandi dia simpan tidak di hatinya. Dia menebar luaskan rasa cinta itu menjadi darahnya yang meresap ke seluruh jasadnya. Dia tidak mahu cinta itu hanya mendap jauh di lubuk hatinya, dia membaurkan cintanya dalam adunan darahnya. Dia mahu biar cinta itu menjadi darah, daging dan nafasnya. Dia akan menjaga cintanya. Dan cinta itu adalah tubuh, darah, daging dan nafasnya, bukan sekadar rasa di dalam hatinya. Cinta dan tubuhnya adalah satu. Sihat tubuhnya, maka suburlah cintanya. Dia sentiasa akan menyuburkan cintanya. Munsyi, saat dia melafas cintanya kepada Sri Kandi, tujuannya adalah agar dia dapat lebih berbakti kepada Ummah. Dia mencintai Sri Kandi demi cintanya kepada Ummah. Dia memerlukan Sri Kandi untuk mendokong perjuangannya. Lantaran itu dia bertekad untuk terus sihat, gagah dan tabah. Dia bertekad untuk bersih dan cekal. Dengan cara itu cintanya akan terus subur dan bersih. Tampak anih hasil penemuan hadangan cintanya, namun begitulah Munsyi, manusia terkadang payah untuk sesiapapun mengerti akan fikiran dan jiwanya. Sebetulnya, kegagalan cintanya kepada Sri Kandi kini dia zahirkan lewat cintanya kepada semua, terkhusus bagi yang susah dan payah. Munsyi sedar inilah golongan yang perlukan rasa cinta dan kasih sayang yang jauh lebih hebat dari yang lainnya. Munsyi mengalih padangan dan rasa cintanya dari kepada Sri Kandi kepada Umat yang perlukan pembelaan. Itulah Sunnah. Itulah pesanan Muhammad SAW. Munsyi bertanggap, semoga itulah apa yang di maksudkan oleh tuntutan mencintai Allah melebihi segalanya. Munsyi yakin, Allah pasti akan ada cara pembalasanNya nanti.

(35) Dalam bidang kerjaya, dia memutus untuk undur berencana, retreat to advance, ngundur dulu seperti menuba air di sungai. Dia memutus untuk memperlahan langkah. Mengurang terjah. Untuk menangguk ikan yang sedang mabuk, air harus tidak dikocak, uber keruh terus-terusan. Air harus kembali jernih agar semua ikan yang sedang tercunggap-cunggap mabuk dapat dilihat dan ditangkap dengan mudah. Begitulah pengajaran dari bapanya semasa dia masih anak-anak, bila sering mengikut bapanya menuba ikan di sungai. Dia akan berundur seketika mengumpul seluruh akal warasnya, sebelum dia kembali mengempur. Dia akan terus cekal dan hemah. Jalan lain harus dia cari luas. Anak-anak muda zaman kini, kesenangan hidup masa kini menjadikan mereka tidak mahu berfikir akan masa susah nantinya. Lantaran itu, pemikiran mereka terbatas kepada yang mudah-mudah tanpa adanya strategi jauh ke depan. Namun mereka tidak boleh terus hanyut. Mereka harus dipimpin terus. Munsyi memutuskan untuk kuat bersabar tanpa goyah terus berusaha. Riwayat Yunus AS menjadi pegangannya. Dia tidak mahu menjadi Khalid Al Waleed, menyendiri menangis di padang pasir gersang, menerima kalah di tangan Umar Al Khataab.

(36) Sedang buat kaum keluarganya, dia harus berdiri perkasa. Baginya, kelemahan orang Melayu yang paling nyata adalah mereka hanya percaya dengan cara seeing is believing. Munsyi memutuskan bahawa dia mesti terlebih dahulu berdiri gagah di samping terus berusaha keras mengembelingkan kaum keluarganya yang retak mengunggu belah. Namun dia tidak boleh bermain dengan masa. Biarpun dia bertekad mahu hidup 125 tahun lamanya, namun dia harus ada jalan berlapik. Kapanpun dia akan pergi. Dia sudah bertekad akan menggembalikan sebahagian besar rezeki hidupnya untuk membangun kaum keluarga dan jiran tetangganya yang susah. Dia akan bertindak tangkas namun penuh hemah. "Sesungguhnya, sepuloh tahun lamanya Muhammad SAW 'retreat to advance' biar dalam restu penuh Allah baru dapat mencapai, rampung, tugasnya mencelikkan Quraish Jahilliah, kini, dirinya sekadar manusia biasa, pasti perlukan masa lebih lama untuk tugasnya membangkit kembali Ummah, paling tidak seluruh isi kerabat dan tetangganya. Allah telah berjanji selagi dia benar, dia tulus, dia bersih, dia patuh, akan sampai waktunya dia akan berjaya" begitulah ikrar Munsyi kepada dirinya. Itulah jalan penemuannya dalam semua wajah-wajah susah, wajah-wajah payah yang dilewatinya. Sesungguhnya kesadaran itulah membangkit kembali agar dia terus berdiri berjalan tegap dan lurus. Itulah sandaran kemahuan nya untuk hidup 125 tahun.

(37) Namun Munsyi berfikir, itu caranya dia. Belum tentu boleh diterima Bakri. "Bagaimana!" bentak hatinya bertanya agar Bakri tidak usah menempuh jalannya yang berliku-liku untuk menemukan jalan pulang. Kembali kukuh. Kembali terus berjasa buat Ummah. Tidak kalah di tangan Sharen. Tidak tersungkur tercelapak di depannya Sharen. Tidak hina di mata Sharen. Tidak terluka parah bernanah-nanah kerana Sharen. Namun, tiidak terlupa di hati Sharen kemudiannya. Munsyi menarik nafas panjang. Sangat panjang dan melepaskannya sekuatnya. Dia seperti mengosongkan seluruh isi paru-parunya. Saat sebegitu hatinya menjadi lapang dan sangat puas. Hasilnya, "melepas, lapang, dan puas" adalah tiga rangkai kata yang menusuk kuat ke dalam fikirannya. "SubhanAllah. MahaBesarnya Engkau Ya Allah. Dari cara aku menghidupkan nafasMu, ada jalan hidup yang harus aku mengertikan" ucapnya penuh kekaguman dari rasa lapang saat dia melepaskan nafas panjang dari dadanya."Agar perit di dada terhapus bersih, segalanya harus dilepaskan" begitulah fikir Munsyi. Munsyi lalu kembali mengimbau betapa bapanya, saat ibunya tengah perit menahan derita untuk kembali telah mengusap-ngusap dadanya lalu berpesan, "Lepaskanlah, pergilah, pulanglah", kemudian hanya terdengar hembusan panjang nafas ibu, langsung semuanya kemudian menjadi dingin-sejuk. Ibunya pergi dalam senyum cukup manis, senang sekali mungkinnya. SubhanaAllah. "Bob, lepaskan!" seru Munsyi separuh menjerit menyebabkan Bakri bingkas bangkit terkejut, kegagetan. "Oh, maaf. Aku mengigau rupanya" Munsyi terpaksa melakunkan sandiwara pantas untuk menjelaskan punca teriakannya. Bakri menceber mulut seperti menerima.

(38) "Selepas Assar nanti kita ke Jabal Rahmah hendak tak?" usul Munsyi kepada Bakri. "Kita sholat Maghrib dan Isya di sana. Kita nikmati angin malam dan suasana hening Araffah." usul tambah Munsyi. Bakri tersenyum tanda setuju. Munsyi mengemas pakaian ihram, sehelai kemeja tebal berlengan panjang dan sejadah hotel sekali. Dia menyuruh Bakri membawa sama pakaian ihram dan baju tebalnya. Berseluar jean serta T-shirt berlengan panjang dan topi. Keduanya sekitar jam lima petang meluncur dengan sebuah teksi sewa khas ke Jabal Rahmah. Sekitar sejam kemudian merekapun sampai dan jemaah lain masih banyak ziarah di sana. Munsyi terus membayar harga tambang dan meminta pemandu kembali keesokan harinya sekitar jam enam pagi. Bakri seperti kehairanan bila mendengar Munsyi mengarah pemandu teksi hanya datang mengambil mereka pada keesokan paginya. "Malam ini cuaca cerah. Bulan mengambang penuh. Pasti sangat nikmat jika kita bersholat sepanjang malam di Araffah ini. Kita cuba tidur di sini saja. Lepas subuh besok kita kembali" jelas Munsyi sambil dengan cepat menuju warung menjual minuman dan buah-buahan berhampiran. Mereka membeli sedikit buah-buahan untuk makan malam dan beberapa botol air untuk keperluan wudhu dan apanya. Kemudian mereka terus menaiki ke puncak Jabal Rahmah. Dari atas sana, Munsyi dengan cepat meneliti keliling, mecari-cari sesuatu. Dia terpandang sebuah batu hampar tidak jauh di sebelah kanan Jabal Rahmah. Sudah ada beberapa jemaah lain di sana. "Ayuh cepat, kita ke bawah sana. Kita ke batu hampar itu." jelas Munsyi sambil menuding mengarahkan mata Bakri ke sana.

Hidayyah Araffah

Sinaran mentari kian lemah. Langit perlahan-lahan bertukar jadi unggu lembut. Sepoi-sepoi hangat kian mendingin. Di dinding Araffah dibarisi bukit-bukit yang kian menghitam. Padang Pasir Araffah yang meluas kian lenyap ditelan malam. Butir-butir mutiara sudah mulai bergemerlapan di langit-langit alam. Perlahan-lahan rembulan menyinar kilauan cerah perak dari balik banjaran gunung di sebelah timur. Kian meninggi, kian membalik warna-warna lembut dari segala capaian cahayanya. Kedua-dua Munsyi dan Bakri asyik sekali bertinggung, nongkrong menyaksikan indahnya perubahan malam menutup siang di Araffah. Entah berapa banyak lafas SubhannaAllah terhambur mengiringi segala ketakjuban yang mereka saksikan. Beralaskan pakaian ihram, mereka berdua akhirnya baring menatap langit. Kedua-duanya hanyut melayan fikiran masing-masing. Sepi. Diam. Namun damai. Segar. Syadu. Mengesankan.

(2) "Apa cerita engkau dengan Sharen sebetulnya? Dia yang menjadikan engkau nanar ini bukan?" soal Munsyi memecah kesepian. Bakri berbalik tubuh. Dia mengiring menghadap Munsyi. Bertompang dagu. "Dari mana engkau tahu?" soalnya ringkas kekagetan. "Aku dengar semasa engkau berdoa di depan Baitullah tempoh hari" jawap Munsyi lalu turut mengiring menghadap Bakri. "Entahlah. Aku jumpa dia kira-kira setahun lepas. Diperkenalkan oleh seorang kawan sebenarnya. Kami membuat beberapa pertemuan. Akhirnya, aku jatuh hati kepadanya. Dia juga mengakui ada keserasian antara kami. Jadi aku menjadi terlalu yakin dan sangat mengharapkan rasa cinta dan kasih sayang darinya. Namun akhir-akhir ini, perhubungan kami jadi semakin hambar. Kedua-dua kami menjadi terlalu mudah tersentuh, sensitif. Bila berlaku sedikit keterlanjuran dalam bicara masing-masing, pasti kami saling berkecil hati. Merajuk. Sebulan dua lepas perkenalan pertama, kami sering juga berbual panjang dalam talipon. Kini, perhubungan kami jadi payah. Kami cuma berutusan pesanan ringkas. Sangat payah untuk biar hanya bercakap sekejap dalam talipon kepadanya. Dia sering keletihan. Jadi bila pulang dari kerja, aku menduga dia akan rehat dan tidur sebentar. Aku pula tidak sanggup menanti hingga jauh malam baru boleh berhubungan dengannya. Sudah beberapa kali kami berputus hubungan namun hati aku tidak boleh, tega untuk melupakannya. Banyak kali aku mengalah dan kembali berhubungan dengannya. Dia sepertinya berada dalam seluruh kehidupanku. Dia sentiasa hadir dalam hidup aku di mana-manapun. Saat aku sedang bekerja. Saat aku sedang memandu. Saat aku mahu tiduran. Saat aku mahu takbiran. Dia akan terus berada di mana-mana. Hatiku terlalu yakin akan mencapai kebahagiaan dan hajatku bersamanya." jelas Bakri panjang. Biar dalam kegelapan malam, Munsyi dapat merasa airmata Bakri sedang bercucuran. Nafasnyanya terasa panas, sesak, tersendat-sendat adanya. "Engkaupun tahu, aku sukar untuk bercinta. Apa lagi untuk aku berumah tangga. Sampai kedua ibubapaku merajukpun aku tidak pernah peduli akan hal itu. Jika boleh, inilah rasa cinta pertama dan sebenar yang tumbuh dalam diriku. Inilah rasanya cinta yang ingin kulahirkan dengan penuh kasih sayang serta rasa bertanggungjawap. Aku ingin berkeluarga agar hidupku jadi lebih bermakna." Bakri meneruskan penjelasannya. Munsyi tidak bercadang untuk memotong. Dia telah bertekad agar Bakri melepaskan segalanya. "Aku tidak menginginkan banyak darinya. Cukuplah dia menjadi isteri, ibu dan teman yang baik. Aku tidak mengharapkan kesempurnaan. Biarlah apa juga kekurangnya nanti sama-sama kami perbaiki. Paling aku kepingin punya zuriat yang akan terdidik sempurna, agar mereka jadi Muslim yang lebih sempurna dari aku. Aku sebetulnya menyesal hanya kenal akan tujuan hidupku yang sebetulnya saat umuran sebegini. Agak kelewat. Aku ingin mewariskan kepada Ummah ini, zuriatku yang mampu memikul tanggungjawap sebagai pemimpin yang Allah kehendaki." luah Bakri berterusan. Ternyata dia punya cita-cita besar. Ternyata dia punya cinta murni serasi fitrah hidupnya. Bakri lelaki pintar. Dia tabah dan cermat dalam kerjanya. Dia sangat jujur terhadap tanggungjawapnya. Cuma, dia tidak suka bergaul. Dari anak-anak lagi sememang sifatnya suka menyendiri. Munsyi kenal benar akan teman alias adik angkatnya ini. Diam-diam Munsyi berdoa "SubhannaAllah. Dengarkanlah isi hati hambaMu ini. Perkenankahlah hajatnya. Biarpun dia tidak sedikitpun setimpal Ibrahim AS, namun semurni Ibrahim AS juga niatnya. Ya Allah, dengarkanlah suara hatinya.".

(3) Munsyipun turut menitiskan air mata. Dia juga sedang tengelam bersama kepelesetan cinta lepasnya. Bakri terbatuk-batuk pendek. Agak lama batuknya. Dalam samar-samar Munsyi dapat melihat dia mengurut-ngurut dadanya. Perit sepertinya. Dia benar-benar sebak. Mungkin jika Munsyi tidak di situ, pasti dia sudah menjerit kuat. "Sharen gadis yang baik. Dia gadis solehin. Dia adalah jenis yang suka hanya duduk di rumah saat tidak ada tugasan. Dia sukar untuk berpeleseran. Dia tidak suka campur urusan orang lain. Aku kira dari gaya berpakaiannya serta memerhati bicaranya, dia pasti boleh menjadi ibu dan isteri yang sangat baik. Jiwanya sangat mengemari anak-anak. Dia sangat menghormati orang tuannya, kecuali bapanya. Aku tidak pasti kenapa? Semua itu menjadikan aku terlalu ingin mendekati dan memilikinya" sambung Bakri antara dengar dan tidak. Bayu Araffah kian menderas. Dingin malam kian mencengkam.

(4) Rembulan sudah terjunjung tinggi di kepala. Dingin hawa padang pasir sudah mengigit kuat. Mereka berdua memutus beranjak menduduki celahan antara dua bungkah batu berdekatan. Takut kemungkinan ada binatang padang pasir berbisa khususnya ular dan kala jengking, Munsyi memastikan kasut mereka terus terpakai. Kaki seluar diikat kuat. Lengan baju juga terkancing kemas. Tubuh mereka terbalut rapat dengan kain ihram. Lampu suluh LD mereka pasang menghala ke depan dan menerangi celahan batu untuk membolehkan mereka mengawasi sebarang kemungkinan. Mereka duduk kembar mepet."Ada engkau meminta kepastian rasa hatinya?" soal Munsyi saat mereka sudah kembali damai. "Ada. Tapi jawapnya dulu kata perlukan masa. Maka aku berikan masa. Kemudian dia berkata kemungkinan orang tuanya tidak akan merestuinya. Cuma bila aku bertanya kenapa, dia kata dia punya sejarah silam yang sukar untuk dilupakan. Bilaku usul untuk aku berdepan dengan orang tuanya, dia tidak benarkan pula. Akhir-akhir ini dia sering mengungkit betapa kemungkinan aku punya banyak teman wanita. Keberadaanku pasti menjadikan aku seorang Playboy yang hebat. Juga dia mulai membangkitkan masalah usia yang terlalu berbeda. Pernah juga dia berkata dia sudah ada seseorang dalam hidupnya. Tapi dia tidakpun pernah bercerita tentang manusia itu. Sepertinya, dia dengan sengaja hendak menyakitkan hatiku agar aku membencinya. Tapi biar sakit macamana sekalipun, aku akhirnya akan terus mahu bersamanya. Sukar untuk aku melupa dan menafikan keberadaannya dalam hidupku." jelas Bakri. Sekali lagi Bakri terbatuk-batuk. Tubuhnya terasa mengigil. Munsyi terus merapatkan tubuhnya kepada Bakri. Mungkin dingin malam menjadikannya sebegitu, telah Munsyi. Dan dalam kegelapan Munsyi tersenyum kecil. Hampir-hampir dia mahu tertawa kuat. Namun, kasihankan Bakri, dia menahan gelihatinya. Dia mengusap-ngusap belakang Bakri. "Sabarlah. InsyaAllah ada jalan dan rezekinya" celah Munsyi sambil menepuk-nepuk bahu Bakri. "Aku dah terlalu mengantuk ini. Kita tidur sekejap. Tidur-tidur ayam tahu? Takut nanti ada apa-apa susah pula kita. Jangan pula engkau cuba merayau-rayau dalam gelap ini. Batu-batu di sini tajam-tajam. Ular dan segala binatang bisa padang pasir banyak berkeliaran saat malam sebegini." peringat Munsyi kepada Bakri. Dia menyandarkan tubuhnya di bungkah batu berlindung dari deruan bayu padang pasir yang terus mendingin. Munsyi terus terlelap. Bakri masih terkebil-kebil dalam kesamaran. Sama seperti samar kisah cintanya dengan Sharen. Namun akhirnya dia juga hanyut dalam buntalan dingin Araffah. Dua tubuh, dua sahabat hanyut dalam samar rembulan di Padang Araffah. Perbuatan anih, tetapi itulah mereka, khususnya Munsyi. Sengaja dia bersikap gila-gila saat mahu mencari jalan keluar bagi segala permasalahan yang sedang dia hadapi. Inilah salah satu kegilaan yang pasti tidak pernah akan dia lupakan. Dari sini, pasti tersembur akalnya yang panjang.

(5) Seekor anak kala jengking merayap keluar dari celahan bungkah batu di belakang sandaran Munsyi. Tubuhnya coklat kehitaman. Langkahnya perlahan teratur. Ia merayap mencelah antara ruang lipatan kain ihram yang membaluti tubuh Munsyi. Menjalar dari peha, melewati perut, lalu memanjat ke bahunya. Terus meniti sehingga ke mukanya. Munsyi tersadar dan merasa anih. Dia mematikan diri. Nafasnya dia tahan kuat. "Ini pasti kala jengking kalau tidak labah-labah" bisik hatinya. Jari-jari anak kala jengking menerawang ke pipinya, menyentuh hidungnya. Terasa geli dan gatal bukan kepalang. Hampir-hampir Munsyi mahu bersin. Dia menahan. Saat binatang itu sudah bertenggek di dahinya, secepat kilat Munsyi melibas tapak tangannya menepis. Cermin matanya yang tidak pernah lekang dari matanya turut terpelanting. Bakri terperanjat sama dengan gerak tangkas Munsyi. Cepat-cepat dia mencapai lampu suluh LD lalu menyuluh muka Munsyi. "Kala jengking merayap ke mukaku" jelas Munsyi. "Tolong cari cermin mataku" pintanya. Keduanya terus bangkit dan melibas-libas pakaian ihram mereka. Jam sudah pukul empat pagi. Kemudian mereka naik kembali ke batu hampar. Mereka menunaikan sholat Tahajjud. Bakri terus dengan sholat Hajat. Munsyi meneruskan dengan beberapa rakaat sholat Tahhajud lagi. Kemudian dia memanjat doa agar diberikan ilham untuk menghadapi muskil dirinya dan juga Bakri.

(6) Pekat malam masih membuta. Hawa Araffah masih merindingkan. Munsyi merapat lalu duduk dekat dengan Bakri. Setidak-tidaknya kedua-duanya saling menghangatkan diri. Bersama mereka melemparkan pandangan jauh ke dinding Araffah, pada baris-baris gunung yang kehitaman. Munsyi ingin bercerita. Dia ingin mengimbau sejarah silam Jabal Rahmah dan Padang Araffah dan apa mungkin ertinya. Araffah, begitu besar ertinya dalam ketemaddunan manusia. "Tidak ketahuan kapan, dulu, lama dulu-dulu di sinilah dua insan bernama Hawa dan Adam AS bersatu. Di sinilah mulanya cinta kasih manusia tumpah menjadi zuriat yang terus membiak sehingga kepada kita berdua ini." celah Munsyi memecah kesepian. Bakri sudah siap untuk mendengar. Dia seperti sudah tahu, pasti Munsyi ada muslihat yang tersendiri kenapa dia sampai mahu bermalam di Padang Araffah berhampiran dengan Jabal Rahmah ini. "Sesungguhnya, Jabal Rahmah adalah lambang berpautnya cinta kasih sayang yang suci, bermulanya sebuah korban dalam memenuhi tanggungjawap manusia sebagai khalifah dan mensemarakkan alam ini. Di sinilah mulanya manusia memikul tanggungjawap memakmurkan dan menguruskan alam mengikut kehendak Allah. Cuma sepertinya suatu yang sangat anih, ianya bermula di sini, di sebuah lapangan tandus penuh kepayahan" sambung Munsyi. Tangannya terus merangkul pundak Bakri yang tengah terbatuk-batuk. Mereka kembali seperti zaman anak-anaknya duduk di tebing sungai sambil bergandingan bahu dan bercerita."Dulu, asalnya Adam AS dan Hawa berada di Syurga, tempat yang paling sempurna. Namun kerana khilafnya mereka berdua melanggar larangan Allah, maka mereka akhirnya terhenyak ke sini, di padang pasir tandus ini. Kenapa? Mereka tercipta di syurga, namun mereka terpaksa bercinta kasih di 'neraka' sepertinya. Kenapa?" soal Munsyi cuba membuka fikiran. "Sesungguhnya, Allah tidak menghukum Adam AS dan Hawa. Sejak dari mula pembikinan Adam AS, dia sememangnya telah Allah putuskan akan dihantar ke bumi. Allah telah berencana seawalnya untuk Adam AS dan Hawa menghuni bumi dan menyediakan kepemimpinan di bumi. Prihal buah khuldi hanyalah musabab akan rencana Allah terdahulunya. Adam AS dan Hawa tidak terhukum. Allah hanya ingin memberi pengajaran lanjut buat teladan manusia lainnya kemudiannya, betapa mematuhi sepenuhnya perintahNya adalah kemestian." jelas Munsyi lanjut. Bakri hanya terdiam. Dia cuba memahami ke mana tuju hujah-hujah Munsyi. "Aku membawa engkau ke sini, supaya engkau sedar, betapa sedari mula manusia bercinta, berkasih sayang, cabarannya adalah terlalu hebat. Syurgapun terpaksa mereka tinggalkan. Entah berapa banyak airmata Hawa dan Adam AS tumpah kerinduan terpisah kemudian baru mereka boleh kembali bersatu. Entah betapa siksanya Adam AS berjalan dari India ke Araffah ini untuk menemui sang kekasihnya, Hawa. Darahnya, nanahnya, keringatnya, airmatanya pasti menetes menadai seluruh langkah jalanannya. Dan akhirnya, mereka bercinta dan berkasih sayang tidak di taman Syurgawi, tetapi di padang pasir yang gersang ini. Siang panas membakar. Malam dingin mengigit." jelas Munsyi panjang. Tangannya memicit-micit dan menepuk-nepuk bahu Bakri. Bakri terus diam. Dia batuk-batuk kecil. Tubuhnya mengigil. Ada bunyi isak dari nafasnya. Munsyi memeluknya erat. Dia perlu sedikit haba tubuhnya, fikir Munsyi. "Itu satu, keduanya, sesungguhnya cinta adalah fitrah dari naluri yang terjana dari memakan buah khuldi oleh Adam AS dan Hawa. Punya naluri, bukanlah suatu kesalahan. Bukan suatu dosa. Ianya adalah fitrah anugerah Ilahi. Ianya adalah fitrah keinginan, bibit nafsu yang Allah berikan agar manusia terus membiak dan sujud kepadaNya. Namun naluri harus tidak bertukar menjadi nafsu ganas. Nafsu boleh menjana haloba yang memudharatkan. Kita harus ingat, nafsu terkait dengan syaitan. Pada jalan nafsulah manusia mudah diperkotak katik oleh syaitan. Sesungguhnya syaitan suka kepada yang melampau, berlebihan. Maka nafsu berlebihan juga akhirnya yang akan membunuh cinta, membunuh apa juga. Di dalam firasat Melayu ada disebutkan, habis manis sepah dibuang, itulah kias serakah nafsu dalam percintaan. Allah menyedarkan Adam AS, betapa kerana nafsu, manusia selalunya punah, susah, sengsara; dan ini Allah tunjukkan lewat keterasingan Adam AS-Hawa berdua semasa diturunkan ke bumi ini. Dan sesungguhnya, hanya sabar dan kesucian sahaja yang dapat menantang nafsu dan mencapai tujuan kita akhirnya. Dalam perjalanan panjang Adam, serta dalam penantian panjang Hawa, aku berkira di situlah Allah menanamkan keperluan kesucian dan sabar dalam menghambat apa juga kebaikan di dunia dan di akhirat. Itulah juga kehebatan yang ada pada Khidir AS dalam perjuangannya. Kita harus ingat, Khidir AS adalah contoh kesabaran yang tidak ada tolok bandingnya" Munsyi terus berhujah.

(7) Jam sudah menunjukkan pukul lima setengah pagi. Mereka sholat subuh. Di kejauhan remang rembulan dan bintang-bintang sudah semakin pudar. Munsyi mengajak Bakri berdiri menghadap tepat ke Timur. Perlahan-lahan remang-remang bertali perak bersinar. Matahari sudah bangkit dari tidur nyamannya "Lihatlah itu. Gunung, bukit, dan hamparan Araffah di depan kita, sungguh sangat berbeda. Betapa indahnya. Cahaya benderang alam sudah bangkit. Deru angin nyaman. Ketandusan ini, ada indahnya. Cuma waktu bangkitnya harus kita mengerti kapan. Kita harus sabar mencari dan menanti saatnya. Keindahan di depan kita ini, kita menemukan itu lewat sedikit kepayahan yang telah kita lalui tadi malam. SubhannaAllah. Cinta dan kasih sayang yang engkau dambakan dari Sharen, sama saja kebutuhannya; pengorbanan dan kesabaran. Keputusannya, biar saja kepada Allah engkau sandarkan. Namun engkau mesti ingat, serta berdoalah agar Sharen juga mendapat hidayah, betapa sepertinya cinta Adam kepada Hawa, cinta Yusuf AS kepada Zulaikha, cinta Muhammad SAW kepada Siti Khadijah, bukan sekadar menuntut nikmat melampias nafsu, bukan untuk apa saja lainnya, melainkan atas memenuhi tanggungjawap kepada Allah buat membiak dan melahirkan banyak khalifah di muka bumi ini. Itulah natijah nafsu dan itulah natijah cinta yang Allah berikan kepada manusia. Engkau tetapkanlah niat engkau mencintai Sharen pada jalan itu, aku yakin, Allah MahaMendengar, Dia MahaMengetahui, Dia MahaPengasih, InsyaAllah Dia tidak pernah menghampakan sesuatu yang benar dan suci." terus saja Munsyi mengasak hujahnya kepada Bakri.

(8) Bakri merenung ke kejauhan. Tangannya dikepal-kepal buat menghilang dingin. Dia terbatuk-batuk kecil, tertahan-tahan. Munsyi mendekat rapat. Menepuk-nepuk pundak langsung mengusap-ngusap belakangnya. "Engkau dengarlah ini. Aku mungkin betul, aku juga mungkin salah. Namun, semoga apa yang aku akan katakan ini adalah hidayah Allah buat kita berdua. Kita sama-sama berfikir dan kita sama-sama menyemaknya kapanpun. Bila kita mengucap Sahadah, sebetulnya kita mengakui Tuhan kita hanyalah Alllah dan Dia MahaBerkuasa MahaPencipta. Maka, segalanya adalah milikNya. Tubuh kita. Nyawa kita. Semua yang boleh kita lihat, dengar, sentuh, rasa, hidu, atau sebaliknya semuanya adalah milikNya. Kita hanyalah peminjam dan atau penerima pemegang amanah. Rasa cinta yang engkau ingin curahkan kepada Sharen adalah juga milikNya. Begitu juga cinta yang engkau dambakan dari Sharen adalah juga milikNya. Maka, sepertinya fitrah azalinya apapun, kebersamaan dua perkara hanya boleh terjadi lewat saling keserasiannnya, saling mendokong, saling menepati. Jika salah satunya tidak menepati sifat atau fungsian yang satu lagi, maka keduanya tidak akan dapat bersatu atau kekal keberadaannya. Maka jika cinta engkau adalah cinta atas pertimbangan nafsu, sedang Sharen menghambat cinta untuk Allah, cinta kalian adalah tidak serasi. Maka payah kalian akan bersatu hati. Cinta kalian harus punya jalan tuju yang sama. Itu adalah jalan penyatuan. Namun, jika cinta engkau adalah tulin, bersih, sedang engkau tidak mendapat tindakbalas yang engkau inginkan, maka bersabarlah. Berdoalah kepada Allah. Bermunajatlah sebanyaknya. Sampai waktunya, Dia akan tetap memberikan engkau pertunjuk. Tabahlah ke takat engkau boleh bertahan. Sampai waktu dan keadaan di mana engkau tidak dapat bertahan, maka engkau harus melepaskan rasa cinta engkau itu pergi terbang bebas. Jangan engkau kurung. Mati hatimu nantinya. Pejal. Janglah hati kita pejal, hanya kerana kita gagal dalam satu-satu hal. Kita adalah khalifah, kita banyak tanggungjawap. Kita harus tetap kental berjalan di jalan seterusnya. Kita mesti terus hidup. Apapun galang dalam hidup ini, engkau dan aku harus terus hidup." ujar Munsyi ibarat berfalsafah. Air matanya berlinangan. Dadanya sebak dalam setiap hamburan kata-katanya. Dia sangat-sangat berharap Bakri tidak akan kalah. Dia sangat khuatir. Ada rasa takut-takut merayap ke dalam dirinya. Tanpa sadar, dia merangkul kuat Bakri. Mereka berpelukan.

(9) "Aku membawa engkau bermalam di Araffah ini, bukan sekadar untuk bercerita tentang kisah cinta Adam AS dan Hawa. Aku ingin engkau tahu betapa Araffah ini adalah tersangat mulia di sisi temaddun manusia, khususnya buat Ummah. Di sinilah Allah menyempurnakan Ad DeenNya buat seluruh umat manusia. Islam dan Al Quran Allah sempurnakan sebagai pegangan hidup manusia di sini. Di sini Dia menyempurnakan tugasnya Muhammad SAW. Di sini jugalah Muhammad SAW berpesan buat kali terakhirnya buat Umatnya. Di sinilah, saban tahun Allah akan berada paling hampir kepada UmmahNya. Dia turun ke lapisan langit pertama dan menerima segala ibadah dan doa UmmahNya dari serata pelusuk dunia. Di sinilah pada 10 Dzulhijjah, saban tahun, Allah membuktikan kepada para malaikat betapa manusia itu akan patuh kepadaNya. Araffah adalah cermin Padang Masyar di akhirat, di mana seluruh umat manusia akan berhimpun lalu menerima pengadilan mereka. Araffah adalah peringatan tentang siksa di Padang Mahsyar yang bakal dilalui oleh para durjana Allah, agar semua sedar dan patuh. Araffah, sepertinya adalah jalan payah yang sengaja Allah adakan, namun di hujungnya adalah Syurga bagi yang patuh dan sabar, tetapi adalah Neraka bagi yang ingkar. Sesungguhnya Araffah adalah titik mula cinta-kasih, amanah-tanggungjawap, peraturan hidup dan titik akhir duniawi setiap manusia. Terlalu hebat ertinya Araffah dalam kehdidupan Ummah. Bagi aku, Araffah adalah lambang sebuah kehidupan yang kental, kita harus terus berani menerjal jika ingin melepasinya." sambung Musnyi. Bakri mendengar penuh teliti. Dia kagum dengan pandangan kritis Munsyi tentang Araffah dan persoalan cinta. Hatinya terasa tergetar hebat. Tersentuh dalam. Terkesan.

(10) Pada Munsyi, dalam soal percintaan Bakri dan Sharen, adalah soal tukar ganti. Urusan timbal balas, Action and Reaction. Semuanya, dalam apapun perlakuan adalah keperluan timbal balas. Apapun, secara tabii tidak terjadi atau wujud sendiri-sendiri. Setiap sesuatu harus ada pasangan yang secocok, serasi, saling melengkapi, saling mendokong. It always take two to tango. Bakri, sebetulnya ingin mendapatkan cintanya Sharen sebagai tukaran kepada pemberian cinta hatinya. Cintanya Bakri ada firasat tujuannya tersendiri. Dia ingin mencintai Sharen, untuk mendapat zuriat yang baik, mewariskan zuriat yang baik untuk menjadi khalifah yang baik. Dia yakin, Sharen akan dapat melahirkan zuriat itu, serta membantunya membentuk zuriat itu sebaiknya nanti. Itu keperluan Bakri. Dia tidak melihat Sharen sebagai isteri sekadar untuk bersama di kamar tidur dan atau teman berlipur lara. Munsyi berkira, Bakri inginkan zuriat bagi menebus kekurangan dirinya. Untuk itu dia perlukan seorang wanita yang betul ciri dan sifatnya untuk memabntu melunasi hutangnya kepada Allah. Ringkasnya, dia bercinta demi Allah. Betul dan suci sepertinya. Munsyi sebetulnya yakin dengan niat Bakri. Dia kenal Bakri. Bakri adalah seorang yang sangat focus dan jleas akan kehendak hatinya. Namun, kenapa terlalu payah bagi Bakri untuk mendapatkan balasan cinta Sharen? Itulah persoalan yang masih menghantui Munsyi, dia belum menemukan ilham bagaimana menguraikan persoalan itu, biar di Araffah dan di depan Jabal Rahmah ini. Sepertinya, Munsyi harus terus berfikir dan berkelana lagi. Namun di Araffah di depan Jabal Rahmah Munsyi telah ada dua keyakinan, pertama, Bakri adalah ikhlas dalam mencintai Sharen demi Allah, dan keduanya, dia yakin bahawa Bakri akan dapat menahan sabar. Cuma sapai kapan?

(11) Di kaki jabal Rahmah, teksi kelmarin sudah datang menjemput. Mereka berdua berlari-lari anak mendapatkan teksi tersebut. "Assalamualaikum. Alhamdullillah. You look tired. MasaAllah brother" ucap Ahmad pemandu teksi saat mereka berdua mendekat. "Walaikumsalam wbt. Great you are on time. OK. Send us back to the hotel. We need good sleep" balas Munsyi. Sepanjang perjalanan pulang, Munsyi meminta agar mereka melewati Jabal Nur-Hira. Saat berhenti sebentar di situ, Munsyi menceritakan betapa Muhammad saat sebelum kenabiannya, di situlah dia banyak menghabis masa berfikir dan berfikir tentang musibah yang bakal diterima oleh kaumnya Quraish lantaran segala sifat keji yang ada pada mereka: saling bermusuhan, prasangka dan dengki, degil, pemabuk, penjudi, pemeras, ganas, pembunuh anak-anak perempuan, zalim ke atas perempuan, dan segala sesuatu yang menyimpang dari fitrah azali tujuan kejadian manusia. Muhammad sedar, jika segala sifat-sifat itu berterusan pasti kaum Quraish akan jadi lemah, malah mungkin pupus. Di Jabal Nurlah dia mencari jati diri kemanusiaan yang harus ada pada kaumnya. Allah merestui niat dan usaha sucinya. Namun segalanya terpaksa Muhammad SAW lalui dengan jalan payah jalan susah. Sesungguhnya begitulah caranya Allah untuk memastikan kelansungan hidup manusia agar bertemaddun dan rukun. Biarpun pada masa itu di rantau Sham iaitu Palestin ke Syria bahkan mengelilingi ke Yaman-Habsah-Mesir telah ada pengikut Yahudi dan Nasrani, namun mereka sudah kian menyimpang. MahaBijaksananya Allah, Dia kembali membina Ad DeenNya di Tanah Arab yang penuh kedunguan dan kegelapan sebagai panduan buat umat manusia seterusnya betapa lebih mudah memulakan segala sesuatu itu dari mulanya, begining from ground zero, dari Muhammad yang buta huruf, dari Quraish yang Jahilliah. Seperti pandangan, tidak mungkin kita dapat mengajar Bengali pengembala lembu akan ilmu ternak terbaik atas sudah keterbiasaannya, maka lebih baik kita mendidik petani yang tidak pernah kenal lembu akan segala ilmu penternakan, kerana dia pasti akan lebih patuh. "Iktibar semua ini, seperti pesan orang Melayu dulu-dulu, jika kita sesat di hujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan. Maka engkau dan aku, kita berdua, saat kita dalam kekalutan, harus kita kembali kepada fitrah asal kejadian dan tujuan penciptaan kita. Juga, kita perlu mengambil iktibar Muhammad AS dan Musa AS, saat kekalutan mereka temui, seringnya mereka berfikir dan berfikir. Kita juga seharusnya sebegitu. Jangan sekali-kali kita menghianati akal dan roh yang Allah berikan kepada kita." jelas Munsyi kepada Bakri. Mereka bergengaman tangan tanda saling bersetuju.

(12) Mereka kemudian singgah sebentar di Jabal Thur. "Lihat dari Mekah, Muhammad dan Abu Bakar As Siddeeq, di tengah malam buta, kira-kira 1,434 tahun dahulu lari lalu memanjat bukit itu, Jabal Thur namanya. Dari jalan besar ini, kini kitapun tidak akan sanggup memanjat ke bukit itu, apa lagi 1,434 tahun dahulu. Betapa siksanya, kebenaran itu harus ditegak dan dipertahankan. Mungkin di jalanan inilah dulu Umar Al Khataab dan Abi Suffyan hebat memburu Muhammad dan Abu Bakar As Siddeeq. Sesungguhnya jika engkau dan aku tidak dapat merasa kepayahan dan bahaya mengancam mereka berdua dalam memikul tugasan Allah agar Islam mesti berdiri dan ditebar luas, aku berkira sia-sialah kedatangan kita ke sini. Allah MahaPengasih, keduanya selamat akibat penjejak terhebat Quraishpun boleh tertipu oleh labah-labah dan merpati yang lemah. Di sini, aku dan engkau harus mengerti betapa perjuangan yang suci dengan tekad yang kental, kejayaan pasti mendatang. InsyaAllah." terang Munsyi kepada Bakri tentang Jabal Thur yang telah dia selidiki sedikit masa lalu. Munsyi benar-benar inginkan Bakri memahami akan keperluan betapa dalam apa juga yang seseorang hendak lakukan atau adakan, hendaklah ianya menjurus kepada tuntutan memenuhi kehendak Ilahi. Biarpun dalam soal percintaan sekalipun, ianya juga harus kerana tanggungjawap untuk Ilahi. Bakri hanya terdiam. Munsyi menoleh ke arahnya yang bersandar di sebatang pohon rimbun di pinggir jalan. Muka Bakri agak pucat. Batuknya semakin menjadi. Dahinya ada bintik-bintik peluh pekat. Munsyi mengagak, Bakri mungkin terlalu keletihan. Mereka dengan cepat kemudian meluncur pulang ke hotel.

Rahmat Kepedihan

Sesampai di kamar, Munsyi meminta Bakri agar terus saja istirehat. Mereka akan bersholat sahaja di kamar sehingga Bakri sudah agak kuat baru ke Al Haram. Seharian Bakri ketiduran. Makanannya pun Munsyi terpaksa belikan. Dia sering batuk-batuk. Bintik-bintik peluh di dahinya kian menjadi. Munsyi memegang jari-jarinya. Ternyata telapak tangannya juga berpeluh pekat. Dia sering memejam-mejamkan matanya. Dia keperitan tampaknya. Sesekali dia mengurut-ngurut dadanya. Namun suhu tubuhnya tidak berapa panas. Munsyi jadi sangsi. "Engkau ada masalah jantung tak?" dia menyoal Bakri saat dia mengelapi peluh di dahinya. "Entahlah. Aku tidak pernah periksa. Dadaku terasa sakit menyucuk-nyucuk." jawapnya sambil cuba menarik nafas biar tampak pedih, perit. Munsyi jadi gusar. Dia pasti Bakri punya masaalah jantung. Dengan segera dia menalipon pihak hotel untuk membawa Bakri ke Al Noor Specialist Hospital. Bakri terus dibawa ke Unit Rawatan Jantung. Seperti yang Munsyi duga, Bakri punya masalah kesumbatan pembuluh darah. Tekanan darahnya tidak menentu. Dia perlu pemeriksaan lanjut dan terpaksa ditahan untuk semalaman di Hospital. Munsyi menceritakan sepenuhnya pergerakkan mereka selama tiga hari yang lepas kepada pihak Hospital. "You guys are damn crazy. You are forcing yourselves beyond your limit. You should take the Umrah as easy and enjoyable. You are pushing too hard. He is too tired. That makes thing worst. Luckily his blockage is not critical but can be very dangerous. I'll give him some jabs to put him into deep rest. He need to stay over night for close observation. Our staffs will take care of him. You need to excuse yourself." jelas Pakar Jantung, Dr. Abdul Rahman, yang melayani Bakri. Munsyi terpaksa beredar pergi bagi memberikan Bakri kelapangan untuk berehat penuh. Dia disuntik ubat tidur dan dadah penahan sakit.

(2) Sekembali ke kamar Munsyi terus menghubungi Siti Aminah, PA kepada Bakri. "Assalamualaikum wbt. Siti, apa khabar? Munsyi ini. Saya dan Bob sedang Umrah. Ada sedikit masalah. Bob baru saja dimasukkan ke Hospital Al Noor, Mekah kerana sedikit masalah jantung. Dia masih dalam pemerhatian pakar. InsyaAllah esok pagi baru saya dapat pasti keadaan sebenar dia. Tolong beritahu Murshid mengenai perkara ini." bicara Munsyi. "Walaikumsalam wmwb. Saya baik-baik saja. Cik Munsyi apa khabar? Umrah, wah hebat! MasyaAllah, apa perlu saya hubungi saudara-saudara dekatnya!" balas Siti Aminah dalam nada resah dan kaget. "Saya Alhamdullilah sihat. Jangan dulu. Tidak perlu heboh-heboh dulu. Sama juga di Pejabat, biar hanya Murshid dan Pengerusi sahaja yang tahu. Saya rasa dia hanya perlu rehat sebentar. Dia keletihan sebenarnya. Cuma tolong hantarkan saya rujukan insuran perubatannya kalau ianya meliputi perjalanan pribadinya ke luar negara." pinta Munsyi lanjut. Munsyi kemudian memaklumkan keadaan Bakri kepada pihak TH Travel. Bila diceritakan prihal mereka bermalam di Araffah kepada Ustaz AliGusti, dia cukup kagum "Belum pernah saya punya Jemaah kegilaan seperti bapak berdua. Namun, pasti besar hikmahnya nanti. Mudah-mudahan aja Pak Bakri cepat kembali pulih." ujarnya sambil tidak henti-henti mengungkap SubhannaAllah. Sedang pada handphone Bakri, beberapa kali pesanan ringkas dari Sharen masuk; "Hai, apa khabar? You di mana? Lama tak ada berita? Sihat ke?" Munsyi agak binggung tentang apa harus dia lakukan. Apakah harus dikhabarkan tentang keadaan kini si Bakri? Akhirnya dia memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa. Biarlah Bakri sendiri menjawap Sharen nanti, bisik hatinya. Malam itu, dari Maghrib sampai lewat selepas Isya, Munsyi menghabiskan masanya di dataran Baitullah. Berulang-ulang kali dia membaca Surah Yasin dan memanjat doa agar apa yang telah dilaluinya bersama Bakri akan memberikan keduannya jalan selamat, jalan barakah dalam mendepani perjalan hidup selanjutnya. Dia cuba mendamaikan resahnya dengan berserah kepada Allah.

(3) Sedang di Hospital berlaku sedikit keributan. Bakri sering batuk-batuk dan sedikit lendir keluar dari mulutnya. Suhu badannya meningkat tinggi. Demamnya memuncak. Para pakar dan kebetulan salah seorang Staff Nurse, Siti Nurbaya namanya, adalah dari Malaysia, mereka dengan cepat memeriksa Bakri dengan rapi. Dia didapati turut menghadapi masalah radang paru-paru. Dia segera dirawat untuk itu. Lendir-lendir terpaksa disedut keluar. Pihak Hopsital juga terus berhubung dengan TH Travel dan Munsyi juga diberitahu dengan cepat. Dari Al Haram, Munsyi berlari-lari mendapatkan teksi terus ke Hosiptal. Di kaunter Unit Jantung Munsyi dan Petugas TH Travel di maklumkan keadaan Bakri."His artery clogging is not that bad. He doesn't need immediate surgery. But his lung is infected with pheneumonia. Quiet bad actually. But don't be too worry. He is fighting well. His spirit is high. We had jabed him with anti-biotic and cough suppressing medicine. We will observe his fever closely. If need be, we will give him "a good sleep". How long has he been coughing and shivering?" jelas dan saoal  Dr. Pakar bertugas, Dr Abdul Rahman. "For the last two days, I observed he has been coughing and keep holding his chest while trying to take deep breath. But his body temperature seem to be normal. Just today he seem to have fever and turned very weak." jelas Munsyi. "He need to be hospitalise for at least another day or two. We will do all what we can to take care of him. And based on his Insurance Policy, we will upgrade him to the Special Ward. I'll get two Malaysian nurses to take care of him. Just enjoy and take your Umrah easy. MasyaAllah." terang Dr Abdul Rahman sambil menepuk-nepuk bahu Munsyi. Munsyi kemudian terus mendapatkan Bakri. Dia mengusap-ngusap dahi Bakri. Bakri kelihatan sangat lemah. Sekali-sekala dia terbatuk-batuk. "Doktor kata, InsyaAllah engkau akan baik segera. Tidak ada yang terlalu rumit. Pembuluh darah engkau ada sedikit tersumbat. Engkau tidak perlu pembedahan. Juga paru-paru engkau mendapat radang. Engkau cuma perlu rawatan lanjut sehari dua ini. Engkau jangan risau. Aku sudah menghubungi Siti Aminah untuk memberitahu Murshid dan mungkin Pengerusi Syarikat. Lain-lain, aku akan uruskan kemudian. Engkau perlu banyak berehat." jelas Munsyi cuba menenangkan Bakri. Cuma, saat sebegini, dia berfikir, apakah wajar baginya memberitahu bahawa Sharen ada menghubungi Bakri beberapa kali, bertanya khabar. Mungkin khabar sebegitu akan sedikit memberikannya kekuatan. Namun Munsyi agak was-was. Dia mundar mandir di kamar Bakri berfikir apa harus dia perbuat. "OK. Doktor kata engkau perlu rehat banyak. Baik engkau tidur. Ada apa-apa yang hendak engkau pesan atau aku buat? Menghubungi sesiapa untuk engkau?" soal Munsyi cuba memancing. Jari-jari Bakri diramasnya kuat, sambil terus mengusap-ngusap dahinya. "Cukup hanya pesan dekat Siti agar jangan heboh-heboh. Biarlah aku sendiri, lagipun engkau ada." balas Bakri. Dari nada jawabannya ternyata Sharen pun harus tidak dihubungi. Munsyi agak curiga dengan jawaban Bakri. Apakah benar Bakri tidak mahu diganggu atau dia ingin sekadar menyendiri, soal hati Munsyi. Munsyi tidak pasti.

(4) Semasa ingin berlalu pergi meninggalkan Bakri sendiri di kamarnya, Munsyi mengamit Siti Nubaya yang secara kebetulan adalah Staff Nurse yang akan mengawalselia pengawasan ke atas Bakri. "Maaf Ya. Saya terpaksa memberitahu Cik Nurbaya sedikit prihal pribadi Bakri, teman saya itu. Dia bukan hanya menghadapi masalah jantung dan paru-paru. Hatinya sebetulnya sedang dilanda masalah besar. Tidak usah Cik Nurbaya tahu apanya, cukup sekadar saya katakan bahawa dia sedang tertekan. 'Emotionally disturb.' Jadi saya sangat mengharapkan agar Cik Nurbaya dapat memberi sedikit perhatian kepadanya. Apa saja yang dia perlukan, kalau boleh saya minta Cik Nurbaya usahakan. Yang penting dia kembali tenang agar segalanya tidak menjadi terlalu rumit" bicara Munsyi sambil mereka berjalan bergiringan ke kaunter. "InsyaAllah. Cuma minggu depan saya dapat peluang cuti rehat sekejap. Kalau perlu nanti saya aturkan agar dia terus dijaga oleh jururawat dari Malaysia atau Indonesia" jawab Siti Nurbaya. Siti Nurbaya, gadis tinggi lampai. Putih serta berlesung pipit. Ramah serta santun orangnya. Sepanjang berbicara dengan Munsyi bahkan sejak di kamar Bakri, senyumnya tidak pernah lekang. "Bila mula cuti dan berapa lama?" tanya Munsyi. "Tiga hari sahaja, mulai Selasa depan. Kebetulan bersambung hari Jumaat dan Sabtu, jadi agak panjanglah. Rasanya, saya hendak buat Umrah. Sudah empat bulan saya tidak membuat Umrah. Terlalu sibuk dan penat sebenarnya." jelas Siti Nurbaya. "Untung ya bekerja di sini, boleh buat Umrah saban minggu kalau mahu. Boleh saya dapatkan nombor handphone Cik Nurbaya. Kalau tidak menjadi keberatan saya akan berhubung dengan Cik Nurbaya untuk mengetahui perkembangan Bakri" balas Munsyi penuh harap. Mereka akhirnya bertukar nombor handphone. Munsyi kemudian berlalu pergi penuh pasrah. Dia pasrah kepada Allah agar Bakri terus tetap tabah. Langkah longlainya berlalu pulang ke hotel penuh dengan rencana bagi menghadapi segala kemungkinan di atas penyakitnya Bakri.

(5) Sebelum ke hotel, Munsyi terlebih dahulu ke Al Haram. Dia langsung menuju ke Hjr Ismail. Di sana dia sholat Hajat, memohon kepada Allah agar Bakri sekurang-kurangnya diberikan kekuatan segera. Munsyi bercadang membawa Bakri pulang dengan seberapa segera. Kemudian di kamar, dia melayari internet bagi mendapatkan tempat dari MAS untuk kembali ke Tanahair pada hari Khamis iaitu sekitar lima hari lagi. Mereka tidak akan ikut sama ziarah ke Madinah bersama Jemaah lain. Dengan bantuan pihak TH Travel, Munsyi menyusun kembali jadual penginapan hotel di Mekah. Dia kemudian berhubung dengan temannya di Kuala Lumpur menempah Special Wad di Pantai Medical Center untuk Bakri. Dia mahu Bakri mendapat rawatan lanjut di sana, khusus dalam seliaan temannya Dr. Shaari, seorang pakar jantung.

(6) Di Hospital, Siti Nurbaya terus memberikan perhatian berat kepada Bakri. Setiap setenggah jam sekali dia menjengah Bakri. Suhu badannya kian susut. Batuknya juga sudah berkurangan. Tekanan darahnya mulai stabil."Cik Bakri, cuba makan sedikit. Ini ada sup kambing. Sedap kalau di makan dengan roti. Banyakkan makan buah-buahan. Hendak saya sediakan?" tanya Siti Nurbaya seraya memerhatikan para jururawat pembantu sedang sibuk mengambil suhu badan, tekanan darah serta memeriksa dripnya. Namun, tanpa menunggu jawaban, Siti Nurbaya sudah menyuap beberapa potong roti bercicah sup ke mulut Bakri. Dia kemudian menyediakan beberapa ulas New Zealand Kiwi. Jari-jari lembutnya mengelap cermat bibir Bakri dengan kertas tissu dari lelehan sup yang dia suapkan. Dengan dibantu para pembantunya, dia kemudian membantu Bakri agar dapat duduk bersandar supaya lebih mudah untuk dia makan. Sup dan segala buah-buahan kemudian habis di makannya. Siti Nurbaya berasa puas. "Cik Bakri kena kuat. Tabah. Mudah-mudahan dengan itu, Cik Bakri akan cepat sembuh. Dari lapuran yang ada, InsyaAllah sekitar dua hari lagi, Cik Bakri akan dapat keluar" ujar Siti Nurbaya. Dia melempar senyum cukup manis buat Bakri. Namun Bakri hanya tertunduk, dia seperti tidak sanggup bertantang mata dengan Siti Nurbaya. Di dalam hati dia berbisik "Alangkah baik, jika Sharen ada di sini. Ya Allah, Engkaupun tahu betapa aku sangat mendambakannya. Engkau bukalah pintu hatinya buatku." Matanya mulai berkaca-kaca. Sebaknya dia tahan kuat menjadikan dia terbatuk-batuk kuat. Secara spontan Siti Nurbaya mengusap-ngusap belakang Bakri. Dia cuba menenangkannya."Cik Bakri berehat sajalah. Apapun, bersabarlah." usul Siti Nurbaya. Dia membantu Bakri untuk kembali berbaring. Setelah mengemaskan selimut menutupi tubuh Bakri, Siti Nurbaya kemudian mengusap-ngusap lembut dahi Bakri dengan tuala basah. "Apa agaknya yang terlalu memberatkan hati Cik Bakri" bisik hatinya sambil kemudian berlalu pergi.

(7) Dua hari kemudian Bakri telah dibenarkan keluar wad. Munsyi menjemputnya dengan kereta sewa khas. Batuknya sekali sekala sahaja. Dia kelihatan agak segar. "Macamana? Hendak rehat di sini dulu atau kita pulang ke Malaysia saja?" tanya Munsyi saat dia datang menjemput Bakri petang itu. "Kita tidak ke Madinah? Alang-alang, kita rehat ke sana saja." usul Bakri. "Baik. Begini sajalah. Kita rehat saja di sini sekitar dua hari. Lepas itu kalau batuk atau pneumonia engkau benar-benar telah susut, kita ke Madinah. Itu bergantung samada kita dapat aturkan tempat tinggal atau tidak." balas Munsyi. Munsyi kemudian memberikan handphonenya yang kini agak penuh dengan beberapa sms dari pelbagai pihak di Malaysia. Seketika kemudian, dia kelihatan agak gembira. Melemparkan senyumnya melepasi jendela mobil. Munsyi pura-pura tidak endah. Namun dia pasti, Bakri gembira kerana di dalam handphonenya ada beberapa sms dari Sharen. Setiba di Hotel, Munsyi tidak ikut naik bersama. Dia ingin membiarkan Bakri sendiri. Munsyi pasti Bakri perlu menghubungi sesiapa dalam kesendirian. "Engkau naik saja dulu. Aku ke Al Haram. Engkau sholat saja di Kamar. Tidak usah ke Al Haram dulu. Tengoklah besok, kita sama-sama ke sana. Aku juga perlu berbincang dengan pihak hotel tentang keperluan penginapan kita di Madinah nanti, lambat sikit baru aku balik ke Kamar. Kita makan tengahari bersama nanti. Engkau tunggu aku. Jangan buat hal lari pula." ujar Munsyi berseloroh.

(8) Kebetulan keesokannya, Siti Nurbaya liburan. Selepas dia menunaikan Umrah, Munsyi mengajaknya makan tengahari bersama di Restauran Moroko Hilton Mecca. Dia datang bersama seorang teman sekerja dari Indonesia. Munsyi menceritakan rencana mereka ke Madinah keesokan harinya. Namun, akibat keadaan cuaca yang agak kurang baik di Madinah, Siti Nurbaya menasihatkan agar mereka pulang saja ke Malaysia untuk rawatan lanjut. Dia juga menasihati Bakri agar membuat pemeriksaan kesihatan rapi semasa di Kuala Lumpur nanti. "Aku rasa baik juga kita dengar nasihat Cik Siti Nurbaya ini. Kalau sudah benar-benar sihat, kita boleh segera kembali Umrahan lagi. Lagipun, tentu seronok juga dapat bertemu kembali dengan Cik Siti nanti." seloroh Munsyi. Bakri menjegilkan melototkan matanya. Siti Nurbaya hanya tertunduk tersipu-sipu. "Ngobrol-ngobrol, teman dari Indonesia ini namanya siapa?" tanya Munsyi kepada temannya Siti Nurbaya. "Saya Sutiarni. Asal dari Jawa Timur. Saya ke sini sekitar setahun sudah. Sebelumnya kerja di Singapore. Belajar nyambi kerja sebetulnya." jelasnya. Mendengar nama Sutiarni, Munsyi jadi gugup, berdebar kuat. MasyaAllah. "Maaf. Biar saya panggil neng aja" aju Munsyi. "Boleh saja Pak. Yani juga bisa" balas Sutiarni. Munsyi terdiam sebentar. Dia tiba-tiba jadi resah. Dia melihat-lihat keliling. "Apa Neng bisa ke meja di sana. Saya mau ngomong sendiri sama neng. Sebentar aja" pinta Munsyi secara berbisik. Bakri dan Siti Nurbaya jadi kelu. Sutiarni keheranan. Munsyi bergerak pantas ke meja agak jauh di sudut kanan restauran. Sutiarni membuntut sopan. Kerana banyak pelangan dari berbilang bangsa yang turut hadir, kedudukan Munsyi-Sutiarni dan Bakri-Siti Nurbaya agak tidak menjanggalkan. Juga, hampir seluruh warga kerja di restauran adalah rakyat asing khusus dari Pakistan, Bangladesh dan Indonseia. Fitnah pasti tidak menjadi isu pokok.

(9) "Maaf ya neng. Kelmarin, saat saya berdoa di Hjr Ismail, saya ketemu seorang mbak dari Mojokerto. Doanya berat. Dia nangis hebat. Namanya Mbak Tuminah. Orangnya ngak tinggi baya pundak saya. Umur mungkin sekitar lima pulohan. Agak gemuk juga. Agak hitam kulitnya. Mukanya agak bunder. Dia bilang....." bicara Munsyi terputus kerana mendadak Sutiarni menerpa bertanya "Apa bapak punya kontaknya?". Munsyi memandang tepat wajah Sutiarni. Dia kelihat cemas. "Kenapa neng?" soal Munsyi. "Kelmarin, saya mimpi ketemu sama ibu saya. Namanya ya Tuminah, sama seperti bapak bilang. Saya ketemu dia dalam pakaian Ihram. Makanya hari ini, saya ikut Mbak Siti Nurbaya Umrahan. Mudah-mudahan mana tahu Allah menemukan kami di sini. Kami terpisah sekitar lima tahun dulu. Saat itu saya ngmabil keputusan kabur kerana saya ngak bisa habis kuliah S1. Ongkos kuliah ngak bisa ditanggung oleh keluarga, malahan saya mahu dinikahi sama seorang jejaka yang saya ngak suka. Jadi saya kabur, merantau membawa diri langsung ke Pulau Pinang lalu terus ke Singapore. Saya kerja sambil belajar dan akhirnya saya mendapat kerja di sini bersama Mbak Siti Nurbaya." jelas Sutiarni perlahan, tegas dalam nada memilukan. Dari kejauhan Bakri dan Siti Nurbaya terus memerhati curiga. "Saya belum pasti apa dia adalah ibu kamu. Biar apapun, kita ketemu aja sama dia. Mudah-mudahan dia masih di sini. Biar saya nelpon dia dulu. Ayuh kita gabung kembali bersama Mbak Siti Nurbaya dan teman saya Bakri." ujar Munsyi lalu mereka kembali ke meja asal.

(10) "Assalamualaikum wbt Mbak. Ini Munsyi yang kelmarin ketemu di Hjr Ismail. Mbak apa khabar dan di mana sekarang?" bicara Munsyi pada Tuminah lewat handphonenya. "Alhamdulliha Pak. Saya sihat. Sekarang sedang di Al Haram. Ngaji sama teman-teman. Di lantai Dasar, hampir Gerbang Abdul Aziz." balas Tuminah. "Apa bisa ketemu sebentar?" soal Munsyi. "Bisa Pak. Kapan dan di mana?" soal Tuminah. "Saya akan ke Al Haram sekarang juga. Sekitar 15 menit akan berada di Gerbang Abdul Aziz. Apa Mbak bisa ketemu saya di sana?" saran Munsyi. "InsyaAllah. Bisa. Ada apanya Pak?" balas Tuminah. "Kita ngomong saja nanti saat ketemu di sana" balas Munsyi ringkas. Dia tidak mahu mendahulukan kudrat Ilahi. Mana tahu, Tuminah ini bukan Tuminah yang dia maksudkan. Juga Sutiarni ini, mungkin bukan Sutiarni yang disangka. Biar Allah menentukan kebenarannya. Munsyi hanya ingin berusaha.

(11) Dengan cepat Munsyi mengheret Bakri ke Al Haram. Siti Nurbaya juga ikut mendadak. Paling teruja adalah Sutiarni. Dalam dadanya, dia kepingin benar ketemu ibunya seperti dalam mimpinya. SubhanaAllah, sekitar dua ratus meter dari Gerbang Abdul Aziz, Sutiarni berlari-lari kencang menerpa ke depan. Siti Nurbaya ingin ikut sama. Munsyi melarang. Mereka hanya menyusur santai. Sutiarni meluru memeluk seorang perempaun yang berjiblab putih. "Itu Mbak Tuminah, ibunya Sutiarni" bisik Munsyi kepada Bakri dan Siti Nurbaya. Kedua-duan kehairanan. Saling berpandangan. "Kuasa Allah. Lihatlah. Di depan mata kita. Betapa Dia akan sentiasa membantu yang sabar berusaha dan jujur. Ibu itu sekerasnya inginkan anaknya kembali. Dia sampai membawa hajatnya ke sini. Allah itu MahaPengasih. Di sini mereka diketemukan. Hajat mereka tertunai." jelas Munsyi. Bakri tertunduk diam. Munsyi menepuk-nepuk pundaknya. "Persaksikanlah betapa kebahagian itu sering menuntut pengorbanan. Kebahagian akan lebih nikmat jika jalan memperolehinya penuh ranjau dan duri." ujar Munsyi. Bakri sedar Munsyi menujukan kalimat itu khusus buatnya. Dia tertunduk menitiskan airmata. Siti Nurbaya tetap kehairanan. Dia seperti inginkan penjelasan lanjut dari Munsyi. Munsyi hanya membisu, melempar senyum ringkas. Saat Munsyi mendekat, Mbak Tuminah menerpa ke arahnya. Dia menangis. Dia bersyukur. Dia bertasbih. "Terima kasih Pak. Saya sungguh tidak menduga akan kejadian ini. Mudah-mudahan Bapak mendapat rahmat Allah sebesar-besarnya kerana bapak saya bisa ketemu kembali dengan anak saya. Inilah Sutiarni yang saya maksudkan" bicara Tumainah tidak putus-putus. Airmatanya terus mengucur. Kedua telapak tangannya ditekan ke dadanya tanda syukur yang teramat sangat. "Ayuh kita sholat sunat syukur. Lepas ini kita ke Restauran Al Haram di Al Bait kerana saya masih lapar. Juga Mbak pasti mahu ngomong sama Sutiarni" usul Munsyi lalu semua setuju.

(12) Saat Sutiarni dan ibunya berbicara di meja berasingan, Munsyi sengaja cuba mencungkil prihal Siti Nurbaya. Dia sebetulnya pernah berumah tangga. Kini sudah punya dua anak umuran lima dan tiga tahun yang tinggal bersama ibunya di Kelang, Selangor. Kerana ingin membawa hati, dia memutuskan untuk keluar negara lalu mendapat kerja di Al Noor Specialist Hospital. Dulu dia bekerja di Pantai Specialist Center. Dengan gaji yang jauh lebih lumayan dia dapat membantu kedua orang tuanya serta memberikan sedikit keselesaan buat anak-anak. "Saya tidak tahulah. Sekarang ini susah hendak dapat lelaki yang bertanggungjawap. Saat sudah bercerai, bekas isteri dijadikan seperti sampah. Nafkah tidak pernah dipedulikan. Anak-anak, kasihan melihat mereka. Saya di sini. Mereka di sana. Kalau tidak begini, hidup lagi susah. Maaf jika saya berbunyi prejudis." keluh Siti Nurbaya. Bakri memandang tepat wajah Munsyi. Munsyi terdiam bisu. Dia hanya mengeleng-geleng kepala. "Nasib baik, setiap setahun sekali saya boleh cuti sampai sebulan. Bolehlah bersama mereka. InsyaAllah, dalam bulan March nanti saya cuti dan akan kembali ke Kelang" ujarnya terus. "Nanti, bila sudah di Kelang, hubungi kami. Manalah tahu, boleh kita belanja makan atau apa saja. Kita sangat berterima kasih kerana jasa Cik Siti Nurbaya atas pelayan yang sangat baik semasa teman saya Bob ini di masukkan ke wad" aju Munsyi sambil memandang tepat wajah Siti Nurbaya. Bakri mengangguk-nganguk tanda setuju. Sebentar kemudian, Sutiarni menghampir lalu berbisik sesuatu kepada Siti Nurbaya. Tidak lama kemudian mereka semua berpamitan lalu masing-masing berlalu pergi.

(13) "Jaga ibunya baik-baik ya. Jangan kabur-kabur lagi. Salam mbak. Semoga selamat sampai ketemu lagi" teriak Munsyi kepada mbak Tuminah dan Sutiarni saat mereka saling berlambaian. "Hey, you take care. Give us call sometimes!" teriak Munsyi kepada Siti Nurbaya. "Sure. I will. Take care Cik Bakri" balas Siti Nurbaya.

Menemukan Diri

Malam itu selepas Isya, Munsyi mengusul agar mereka kembali saja ke Malaysia pada hari Khamis iaitu dalam dua hari lagi. Sebabnya, pertama hotel di Mekah terpaksa mereka kosongkan kerana mereka hanya ada tempahan sehingga Rabu. Hotel-hotel lain semua penuh kecuali yang agak berjauhan. Di Madinah, tempahan hotel belum tentu dapat. Lagi pula, jika mereka tidak kembali pada Rabu ini, maka terpaksalah mereka menunggu sehingga seminggu lagi baru dapat penerbangan terus ke Kuala Lumpur. Jika tidak mereka terpaksa samada ke jakarta atau Bangkok. Leceh jadinya. Bakri setuju dengan saranan Munsyi dengan syarat dia tidak mahu kembali dulu ke Kuching. Dia samada ingin terus berehat di Kuala Lumpur atau ke mana saja jauh dari tempat kerjanya.

(2) "Jauh dari tempat kerja atau mendekat kepada Sharen? Mana satu, jujur sajalah" seloroh Munsyi. "Aku mungkin untuk sementara waktu ini, ingin menjauhi keduanya" balas Bakri agak keras jengkel. "Baik. Kita ke Bandung. Kita menjalani pemulihan kesihatan di sana. Kita jalani perawatan fizikal secara baik. Makanannya, kita perhati agar benar-benar sihat. Jamu dan pijetan tradisional akan aku aturkan dengan baik. Suasana keliling juga mesti sihat. Saban hari kita naik ke gunung dan menghirup udara segar yang hijau. Kita juga boleh berbakti kepada yang memerlukan. Di samping kita boleh terus mendalami segala rukun fardhu Ain. Macamana, setuju? saran Munsyi. "Baik. Tidak ada masalah. Akupun tak pernah ke Bandung." sahut Bakri.

(3) Saat mendarat di KLIA, mereka terus meluncur ke KL LCCT. Tidak tanggung-tanggung. Segala rencana ke pantai Specialist Center dibatalkan. Temannya Munsyi, Dr. Shaari dikhabarkan segera tentang pertukaran rencana. Munsyi juga menjemput Dr. Shaari datang untuk berehat sementara di Bandung bersama mereka. Bakri menghubungi Siti Aminah, PAnya dan memberi tahu dia ingin mendapat rawatan lanjut di Bandung. Munsyi pula menghubungi Pemangku Jawatannya untuk mengkhabarkan bahawa dia ingin menghabiskan baki cuti dua bulannya. Dia ingin istirehat panjang. Dia meminta Pemangku Jawatannya untuk memanjangkan permohonannya ke pihak atasan.

(4) Mereka mendarat di Bandara Bandung sekitar jam 13.30. Mereka terus ke Hotel Braga. Cuaca agak dingin. Nyaman sekali. Hujan baru saja berhenti. Jalan agak lenggang hari itu. Biasa saat selepas hujan pasti macet teruk. Sementara Bakri istirehat, Munsyi membuat beberapa panggilan. Akhirnya dia menetapkan temujanji dengan pakar Jantung dan Paru-paru di Bandung Medical Specialist Center (BSMC). Mereka akan ke sana malam nanti.

(5) "Selamat malam Pak. Apa bisa saya bantu?" ucap penyambut tetamu saat Munsyi dan Bakri melangkah masuk ke Unit Jantung BMSC. "Saya Munsyi dari Malaysia. Saya punya 'appointment' sama Dr. Ruddyono." balas Munsyi. "Silakan Pak. Dr. Ruddy siap menunggu di Kamar No. 1" ucap peyambut tetamu serta terus mengiring Munsyi dan Bakri ke sana. "Selamat malam bapak-bapak. Apa bisa saya bantu?" sambut Dr. Ruddy penuh hormat lalu menghulur jabat. Munsyi dan Bakri dijemput duduk. Munsyi kemudian menceritakan prihal masalah kesihatan Bakri. Dia menyerahkan semua lapuran perubatan yang dibawanya dari Hospital Al Noor Mekah. "Jika bisa, kami mahu 'Total Health Screening'. Kalau boleh nanti Dr. Ruddy bisa nasihatkan kimi tentang perawatan sepatutnya yang harus kami jalani. Kami sebetulnya ingin menjalani perawatan kesihatan 'total' disamping mahu istirehat" jelas Munsyi. "Kalau begitu, besok seawal jam 10.00 bapak-bapak harus kembali. Malam ini, kalau boleh usah makan berat-berat. Lagi bagus kalau 'puasa' saja. Nanti pembantu saya di luar sana, akan memberikan bapak-bapak bekas buat ngambil sedikit air kencing dan najis. Bawa ke sini buat pemeriksaan. Air ludah juga harus diperiksa sama." saran Dr. Ruddy.

(5) Esoknya seawal jam 10.00 pagi kedua-dua Munsyi dan Bakri sudah siap untuk menjalani pemeriksaan 'Total'. Mereka menjalani X-ray. Ujian pernafasan. Ujian darah. Pemeriksaan gigi. Ujian pengelihatan. Ujian kecergasan. Munsyi kerana punya masalah gastrik, dia menjalani proses scanning yang agak panjang. Sedang Bakri pula, perlu menjalani pemeriksaan cecair sum-sum tulang belakang. Sekitar empat jam baru segalanya usai. Namun mereka terpaksa menanti sehingga dua hari baru Dr. Ruddy dan pakar-pakar yang lain dapat memberikan Medical Consultation yang menyeluruh. Tempoh waktu yang sangat tepat. Hari Jumaat Dr. Shaari dari Pantai Medical Specialist Center, teman lama Munsyi semasa belajar di sekolah dulu akan datang libur sama ke Bandung. Munsyi mahu second opinion darinya. Kerana tidak punya apa-apa acara lanjut, Munsyi mengajak Bakri untuk pindah hotel. Mereka menuju ke Puncak dan menempah sebuah rumah Betawi untuk selama tiga hari. Di sana, Munsyi juga menempah agar dua kali sehari iaitu pagi selepas senaman dan sebelum sarapan agar mereka di urut secara urutan Tradisional Jawa. Begitu juga di sebelah sorenya sebelum makan malam.

(6) Nuansa di Puncak Bandung amat nyaman sekali di pagi hari. Apa lagi jika malamnya hujan turun, pasti kabut pagi amat mendinginkan. Angin menderu perlahan dari banjaran gunung di keliling. Hangat sinar matahari, terasa hilang diserap kabut-kabut pagi. Bakri seawalnya sudah siap berpakaian track suit Mereka berjalan santai menuruni bukit menuju ke Tapak-tapak Semaian Bunga-bungaan di sepanjang jalan hampir ke Puncak. Biarpun entah sudah berapa kali ke sana, Munsyi sengaja tidak jemu-jemu menyoal para pekerja di sana tentang cara menanam dan menjaga bunga-bungaan tersebut. Bakri hanya diam mengikuti penjelasan para pekerja tersebut. "Nanti, tiga lima tahun lagi, aku ingin membuka Tapak Semaian Bunga-Bungaan dan Buah-Buahan di Kampung. Kerjanya ringan serta sangat menenangkan." jelas Munsyi. Mungkin kerana itulah, setiap kali dia ke Bandung, jarang sekali dia tidak akan menghabiskan masanya bersiar-siar santai di Tapak-tapak Semaian Bunga-bungaan. Paling asyik dia gemar menghabiskan masa meneliti kembang lili, mawar dan tanaman herba. Kesegaran dan warna warni segala kembangan itu memberikannya satu kepuasan dan nikmat yang lain. Sukar untuk dia gambarkan. Tahunya, jiwanya akan rasa tenang dan fikirannya jadi sangat lapang. Apa lagi di kebanyakan Tapak Semaian, kedapatan pancuran-pancuran air yang sangat menarik serta menghasilkan bunyi aliran air yang sangat menyedapkan pendengaran. Di sebuah Tapak Semaian, ada sebuah Toko Kopi. Mereka mampir. "Kita minum kopi sama singkong rebus. Jangan banyak-banyak sekadar buat alas perut saja. Nanti kita ada acara pijet tradisional. Kita harus mulai dengan makan secara sederhana." ujar Munsyi.

(6) Sekitar jam 07.30, dua wanita separuh umur sudah siap menanti di Rumah Betawi. Di lihat dari segi pakaian, serba putih bersih, mereka sepertinya Jururawat Professional. Di dada sebelah kanan terpampang mereka adalah dari Zen Spa, sebuah perusahaan Spa Keluarga yang sangat berjaya di Bandung ini. Mereka sudah siap menyediakan Jamu Asli dan segelas besar air suam. "Bapak minum air anget dulu. Biar suhu tubuhnya agak anget sedikit. Lepas itu bapak minum Jamu Asli yang kita perbuat dari campuran madu, jahe, dan telur ayam kampung. Kemudian baru kita mulai acara pijetnya. Sila salin pake celana kolor ini Pak." usul mereka berdua. Munsyi dan Bakri manut sepenuhnya. "Awas ya Mbak. Teman saya itu Bob, dia ada kesulitan jantung dan paru-paru. Mijetnya harus jangan keras-keras dan hati-hati sedikit." peringat Munsyi kepada tukang pijet yang memijet Bakri. "Baik Pak. InsyaAllah kita juga akan usahakan biar nanti tubuhnya kita lulur sama ramuan herba yang bisa memanaskan badan. Bapak juga boleh lulur sama. Hasilnya sangat bagus. Bisa bantu membakar lemak-lemak tubuh. Apa lagi tadi Jamu Aslinya turut menghancurkan lemak-lemak dalam aliran darah. Paling bagus, suhu badan bapak-bapak juga jadi mantep, maka pertahanan tubuh jadi baik. Aliran darah juga jadi baik setelah urat-urat yang kenceng kita benerin. InsyaAllah jika diikutin baik-baik sehingga tiga sampe lima hari, pasti bapak-bapak akan terasa nyaman sekali. Ya, ngomong-ngomong, saya Gina dan yang memijet Pak Bob adalah Wiwik. Bapak namanya siapa? Udah sering ke Bandung?" bicara Mbak Gina agak berleter."Saya Munsyi. Saya punya sedikit masalah diurat kaki. Agak kenceng. Sering 'asam urat', crame. Urat di pundak juga agak sering kenceng. Sesekali di bahagian dada saya ada rasa perit tajam seperti ditusuk-tusuk jarum. Apa mungkin kerana angin gastrik atau apa, saya kurang pasti. Kedua-dua lengan saya juga sering 'pegel'" jelas Munsyi. "Ngak apa-apa Pak. Nanti sore, saya akan bilang sama 'supervisor' kami, mungkin Bapak harus ambil pakej yang lebih 'complete'." usul Mbak Gina. Bakri di ranjang pijet bersebelahan sudah mulai berdengkur. Sedang Munsyi kemudiannya terus diam menikmati pijetan lembut dan nyaman Mbak Gina.

(7) Munsyi ingin mengikuti sepenuhnya pijetan Mbak Gina. Dia juga punya angan-angan untuk membangun Spa Keluarga di Kampungnya suatu hari nanti. Dia pasti, perusahaan sebegini jika digabung dengan perawatan traditional lainnya, pasti akan memberikan sumbangan yang sangat besar untuk perobatan masyarakat. Jari-jari Gina begitu mahir. Bermula dari jari-jari kaki, dipijet mulainya perlahan-lahan langsung kemudian agak kuat. Kemudian dia beralih ke telapak kaki. Perlahan-lahan mengurut mengikuti urat-urat di bahagian belakang, membawa ke buku lali lalu ke telapak kaki, menjadikan otot-otot telapak kaki Munsyi terasa ringan dan nyaman. Dia bukan membuat reflex. Dia mijet. Benar-benar mijet, mengurut. Memperbetulkan duduk segala urat-urat dan otot-otot. Kemudian dia mencurahkan minyak ke bahagian betis dan peha. Perlahan-lahan mengusap melamoti seluruh betis dan pehanya. Pijetannya menyusuri segala urat dan otot-otot kaki, mulai perlahan-lahan lalu sedikit keras. Urutannya akan berakhir di jari-jari kaki. Terasa sangat nyaman. Munsyi benar-benar keasyikan. Bakri, dengkuran ngoroknya semakin menjadi. Pasti dia juga sedang lena dalam penuh nikmat. Paling enaknya, Gina hanya menggunakan kedua belah ibu jari, jempolnya untuk mengurut. Dia tidak menggunakan tekanan siku atau lengan sebagaimana sering digunakan oleh para pemijet Tionghua. Lama sekali dia mengules-ngules menyusuri setiap otot betis dan peha yang agak tegang kenceng. Kemudian dia beralih ke bahagian pinggang, belakang, bahu dan leher. Urutannya sangat cermat. Bermula dengan mencari-cari urat-urat atau otot tegang, bergumpal, kemudian perlahan-lahan menyusuri otot-otot itu dari pangkal sehingga ke hujungnya. Tambah nikmat, saat Munsyi melembutkan seluruh tubuhnya. Dengan cara itu Mbak Gina dapat meloroti dengan sepenuhnya urat-urat dan otot-otot yang tegang bergumpal. Saat sampai ke bahagian lehar dan bahu pundak, nikmat urutan Mbak Gina sangat tidak terkata. Dengan tekanan perlahan dan berulang-ulang menggunakan jari terlunjuk dan jari hantu, bermula dari belakang telinga terus membawa ke celah-celah tulang belikat, nikmat pijetannya tersangat melegakan. Terasa seluruh tekanan 'stress' yang Munsyi rasakan melayang menjauh. Terasa lapang sekali fikirannya. Mbak Gina kemudian merawat kedua-dua belah tangan Munsyi. Bermula dengan jari-jari, lalu ke telapak dan belakang tangan, terus mengules-ngules pergelangan tangan, lengan, kempol dan terus kembali ke bahu. Pijetannya sangat teratur dan mengikuti urutan setiap sambungan tulang dan sambungan otot dan urat. Sangat sequential. Melihat Munsyi belum terlena, Mbak Gina berbisik: "Sekarang saya akan sapukan jamu khusus ke seluruh bahagian belakang Bapak. Sedikit anget. Kemudian saya akan selimuti Bapak, dan selepas tiga puloh menit, baru boleh balikan tubuh untuk pijetan bahagian depan. Bapak bisa lena dulu, nanti saya bangunkan saat tiga puloh menit sudah nyampe". Munsyi mengikuti saja arahannya. Dia melembutkan seluruh tubuhnya. Nafasnya ditarik dan turunkan perlahan. Dia mengosongkan fikirannya. Dia melapangkan rasanya. Perlahan-lahan terasa keringet menjalar keluar dari tubuhnya. Jari-jari kaki dan tangannya juga terasa hangat dan berkeringat. Apa lagi kepalanya. Rambutnya terasa perlahan-lahan basah di siram keringat. Dia kemudian terlena.

(8) Munsyi tersadar saat dia merasa selimut yang membaluti belakangnya diangkat. "Sila balik Pak. Saya mahu pijet bahagian depan" ujar Mbak Gina. Bakri di ranjang sebelah sudah kembali lena dan berdengkur. Mbak Wiwik sudah melamoti leher, dada, perut dan kakinya dengan jamu khas. Dia sedang di lulur, sebetulnya. Bermula dari jari-jari kaki, terus membawa ke betis, dan peha, Mbak Gina memulakan pijetan depannya Munsyi. Perlakuannya sama saja dengan bahagian belakang kakinya tadi. Kemudian dia beralih ke leher dan dada. Terus menyambung ke bahagian kepala dan muka. Akhirnya di bahagian perut, lambung. Setelah usai semua pijetan, lulurpun dilakukan ke seluruh muka, badan dan tangan Munsyi. Lalu kemudian sekali lagi dia dibiarkan lena. Setelah sekitar tiga puloh menit, Munsyi sekali lagi dibangukan lalu seluruh tubuhnyan dilap dengan tuala panas. Terasa lain sekali tubuhnya. Ringan. Segar. Bersih. Dia kemudian lalu mandi air panas.

(9) "Macamana?" sapa Munsyi pada Bakri yang sudah siap dandan. "Wohh. Hebat. Aku rasa inilah rawatan yang paling baik buat aku. Cukup 'fresh'. Hilang semua. Kosong. Dan aku sangat lapar." balas Bakri dengan wajah berseri-seri. "Ayoh kita 'brunch'" langsung mereka bergegas ke Cafe berhampiran. "Dulukan dengan air madu suam. Kemudian buah-buahan. Lantas salad dan sayuran. Kita harus makan nasi sedikit saja. Kita kena banyakkan makan ikan dari daging. Kita kena berawas pasal makanan." peringat Munsyi kepada Bakri. "Aduh. Ketat sangat!" balas Bakri separuh kesal. "Lebih baik sebegitu dari nanti gantung kaki, gantung tangan, cucuk hidung, tebuk dada di ICU. Umur engkau sudah hampir separuh abad. Kena ingat. Berat badan engkau sudah berlebih. Tidur engkau dengkurnya, macam deraman Merapi. Sesal dulu sihat, sesal kemudian penyakit!" ujar Munsyi bersungguh-sungguh. "Baiklah. Baiklah. Terima kasih" balas Bakri sambil cepat berlalu pergi untuk mengambil minuman kegemarannya, "Kopi Tubruk O".

(10) Pada pagi Sabtu, kedua-dua Munsyi dan Bakri sekali lagi ketemu dengan Dr. Ruddyono. Khabarnya agak baik. Paru-paru Bakri sudah pulih. Sumbatan pada pembuluhnya, jika dia mahu kuat berpantang serta menjalani kehidupan agak aktif, maka dia tidak perlukan pembedahan. Lain-lain, semuanya kelihatan normal. Buat Munsyi pula, semuanya 'clean bill', tapi pada tahap 'orange light'. Pokoknya kedua-duanya, harus hati-hati khusus terkait dengan pola pemakanan dan kecergasan. Selepas melangkah pergi dari BMSC, Bakri kelihatan sangat ragu-ragu. "Aku tak berapa yakinlah dengan pandangan Dr. Ruddy tu. Macamana boleh dia rumuskan kehidupan kita ini kurang cergas. Kegiatan kita di Pejabat dan Lapangan, bukan main aktif lagi. Kita cuma tidak bersenam, olahraga. Itu saja yang kurangnya." ujar Bakri menghurai keraguannya. "Tidak mengapa. Yang penting kita tahu di mana kelemahan tubuh kita. Minggu depan, kawan aku dari Pantai Medical Specialist Center akan datang ke sini bercuti dengan kita. Dia boleh bagi 'second opinion'" balas Munsyi sambil menepuk-nepuk bahu Bakri. " Aku rasalah. Kalau kita terus tinggal di Kota Bandung ini, pasti berat badan kita terus bertambah. Macamana kalau kita ke luar Kota, kita duduk di Kampung agak terpencil. Udaranya lebih nyaman. Kita boleh bergaul dengan masyarakat kebanyakan. Juga kita boleh tambah belajar mendalami segala hal berkait dengan fardhu Ain. Mahu?" tanya Munsyi saat dia melihat Bakri masih ragu-ragu. "Bukankah itu rencana awal kita? Aku lebih suka begitu. Di Kota Bandung ini, aku takut tidak dapat mengawal nafsu makan. Aku nampak terlalu banyak yang sedap-sedap. Bila kita hendak ke sana?" balas soal Bakri. "Kita habiskan dulu 'massage therapy' kita. Sehari selepas lusa kita ke sana. Pass?" usul Munsyi. "Pass!" balas Bakri. Seperti lawatan-lawatan biasanya, Munsyi kemudian lalu mengajak Bakri ke Gramedia. Mereka menghabiskan hampir separuh hari meneliti dan memilih buku-buku untuk dibeli dan dibawa ke luar kota. Di samping itu Munsyi menelipon Mas Chang Nana, Kiai Pesantren CiJinjing, Gunung Halu mengkhabarkan bahawa dia akan ke sana sekitar dua hari lagi. Kalau boleh dia ingin menumpang sekitar tiga ke empat minggu tergantung dengan keadaan.

(11) Keesokannya, sesudah mendapat pijetan, Munsyi mengajak Bakri bersiar-siar ke Lembang sebuah kawasan pergunungan ke Timur Bandung. Di sana, nuasanya sangat lain. Kawasannya bergunung ganang. Jalan berliku-liku, agak sempit. Dari sepanjang jalan boleh kelihatan para petani gigih mengusahakan kebunan sayur mayur serta buah-buahan. Rumah-rumah penduduknya berjejer-jejer di pinggiran bukit atau gunung. Sepertinya Munsyi mengimbau kemabli suasana di Musim Bunga saat di Boulder atau Golden, Colorado. Cuma bedanya, di Boulder dan Golden, di sana tanah-tanah lereng bukit atau gunung terus ditanami pokok-pokok pinus dan oak buat menadah bekalan air dari sebahagian Taman Pergunungan Rocky. Sedang di Lembang, semuanya hampir gundul diganti sayur mayur, pohon buah-buahan bahkan lahan ternak lembu tenusu.

(12) Saat singgah minum di sebuah Warung Kopi di sebuah tebing tinggi, sambil menikmati suasana dingin samar di kejauhan, tiba-tiba Bakri menyoal: "Kenapa, saat di Mekah, juga di sini ada kelaianan rasa hening damainya. Semasa di sana, aku boleh khusyuk dalam setiap sholat, serta di sini aku berasa paling tenang. Nanti bila dah balik ke Kuching, pasti berserabut sekali lagi.". Munsyi termenung sejenak. Bukan kerana dia tidak tahu jawabannya. Dia hanya ingin memudahkan pemahanan Bakri. "Begini. Ini bukan jawaban sebenar. Cuma pembayang. Cuba engkau ingat. Seingat engkaulah, saat engkau di kamar madi atau tandas, 'kamar kecil', adakah engkau ingat akan prihal-prihal lain selain untuk membersihkan diri?" soal Munsyi sambil tersenyum memandang tepat Bakri. Bakri agak kehairanan. "Ada memang ada. Tapi tidaklah selalu. Kadang-kadang kamar mandi adalah juga tempat aku mendapat ketenangan." balas Bakri. "Sebabnya saat kita di kamar mandi, tujuan kita sangat jelas. Fikiran kita, samada sedar atau tidak, kita sebetulnya sangat 'focus'. Apa lagi jika kamar mandi itu sangat kemas, bersih. Pasti hajat kita dapat kita lakukan dengan selesa." jelas Munsyi sambil memandang tepat wajah Bakri yang sangat memusat perhatiannya. "Logik. Kita ke Mekah atas tujuan semata-mata untuk beribadah. Lagi pula di sana telah Allah tetapkan segalanya, suasana heningnya sememangnya amat sesuai untuk khusyuk beribadah. Dengan keadaan semua Jemaah adalah sama, maka kita telah samaratakan taraf kedudukan masing-masing. Jadi dunia telah kita pinggirkan sebentar. Kita menghadap demi keperluan akhirat" ujar Bakri mentelah. "Boleh juga begitu pengertiannya. Namun tidaklah benar, kita ke Mekah dan bahkan ke Madinah atau BaitulMuqaddis adalah semata-mata untuk menghambat akhirat. Di sana Allah juga mahukan kita mengerti bagaimana duniawi seharusnya juga dihambat." ujar Munsyi sedikit cuba memperkuatkan hujah Bakri. "Maksud engkau" cungkil Bakri. "Salah satu aspek yang jelas semasa di Mekah; persuadaraan seIslam terpancar jelas, kuat. Kita dari pelbagai bangsa, budaya, dari segenap pelusuk dunia, bersatu penuh toleransi. Semua pihak ingin mencapai tahap ibadat yang paling sempurna. Maka semua orang cuba bertsikap 'bersama'. Aku kira itulah hikmah kehidupan duniawi yang seluruh Ummah harus teruskan saat mereka kembali ke tanah air masing-masing. Terus bersatu. Saling membantu. Saling bekerjasama untuk mencapai keredhaan Ilahi dalam apa juga prilaku kita." ulas Munsyi. Bakri mengangguk-nganguk. Matanya dilemparkan ke kaki-kaki gunung mengecapi hijau indah barisan batas-batas sayuran. Ada desah dari hembusan nafasnya. Bibirnya dia kancing kuat. Munsyi menduga, pasti Sharen kembali bermain dibenaknya Bakri. Dia membiarkan Bakri melayangkan fikirannya.

(13) Pagi Isnin, mereka ke Cijinjing di awal pagi. Sengaja Munsyi ingin sampai sekitar jam 0900 ke rumahnya Kiai Mas Jajang. Saat sudah berada di kaki bukit berhampiran Pesantren CijinJing, dia menalipon Mas Chang Nana: "Asslamualaikum wbt Mas". Di hujung sebelah sana terjawap: Walaikumsalam wbt. Mas di mana? Saya ada di rumah. Kapan ke mari?" Girang sekali bunyi sambutan Mas Chang Nana. "Saya sudah di kaki bukit. Sedang naik ke atas sekarang" balas Munsyi. Kebetulan beberapa tetanga di kaki bukit masih mengenali Munsyi lalu mereka bersalaman malah berpelukan girang sekali. Beberapa pemuda membantu mengangat beg serta kotak buku ke atas bukit, tempat duduknya Pesantren CiJinjing.

(14) Di rumah Chang Nana, isterinya Mbak Aida Rohiba begitu sibuk sekali. Sekejab ke dalam sekejap ke ruang tamu. Tergamam sepertinya. "Saya kira Mas main-main bila bilang mahu ke mari. Toh, tahu-tahu sudah ngelongok. Sarapannya saya belum sediakan." keluhnya sambil mengaru-garu kepala. Munsyi memperkenalkan Chang Nana, isterinya Aida Rohiba dan anaknya Asep. "Mas, ini Bob teman saya. Kami sama-sama dari Kuching. Dan Mbak usah khuatir. Kita sarapan seadanya aja. Ngak apa-apa. Seperti dulu aja" sampuk Munsyi sambil memperkenalkan Bakri. "Asep, panggilkan Nani sama Sandra. Bilang Om mahu ketemu" seru Munsyi kepada Asep anaknya Chang Nana. Seketika kemudian Nani dan Sandra dua anak manis yang dulu sering menemani Munsyi jalan-jalan ke bawah bukit saat dulu Munsyi ke sini muncul di balik pintu sambil tersenyum malu-malu. "Wah. Masih inget sama Om ngak? Ini permen buat Nani dan Sandra. Nanti sore temani Om jalan-jalan lagi ya? unjuk Munsyi kepada mereka berdua. Dengan pantas Nani menghulur tangan mungilnya menyambut gula-gula, parmen. "Makasih Om. Nanti kita beli coklat ya" balas Sandra, sepupunya si Nani. Kemudian mereka sarapan Nasi putih, ikan masin, bala-bala, kerupuk dan air putih. Bakri sedikit kelihatan janggal. Munsyi kerana sudah biasa dengan keadaan kehidupan Mas Chang Nana, terus saja mengambil sedikit nasi lalu makan dengan enak bersama ikan sepat masin. "Maaf Mas Bob. Inilah kehidupan kami. Mas Munsyi tahu bener keadaan kami." ucap Chang Nana sayup merendah diri. "Tak apa-apa Mas. Lama kelamaan sayapun nanti biasa juga" balas Bakri sambil mengambil bala-bala cucur kacang putih dicampur daun-daun bawang dan sedikit kobis. "Enak. Bener-bener enak" kata Bakri saat sekeping bala-bala telah kemas dia telan. Cuma, dalam fikirannya, lagi enak kalau ada air kopi. Tetapi kerana hanya ada air putih, dia melancar tekaknya hanya dengan air suam. Sedang Mbak Aida Rohiba mundar-mandir. Munsyi pasti dia terasa agak malu kerana hanya mampu menghidang makanan sebegitunya.

(15) Usai sarapan, Munsyi meninggalkan Bakri berkemas dulu di kamarnya. Dia mengajak Chang Nana melihat-lihat keadaan Masjid Pesantren CiJinJing yang terletak di sebelah rumahnya. "Semuanya udah siap Mas. Wang yang Mas kasi dulu sudah kami guna sepenuhnya untuk membina semula Masjid ini. Masyarakat di sini sangat bersyukur atas jasa baik Mas. Cuma, kami belum punya upaya untuk membangun semula tempat wudhu serta tempat mandian anak-anak santri. Juga sekarang anak saya Asep sudah rajin baca buku. Buku-buku yang Mas belikan buat dia dulu sudah habis dia baca. Keputusan ujian sekolahnyapun cukup lumayan." jelas Chang Nana panjang lebar. Dia kelihatan cukup senang hati. "Ini Mas, nanti belikan apa aja. Kalau boleh, kita ajak tetanga serta Kepala Desa dan Kepala Pembinaan Masjid untuk makan malam sama. Nanti selepas Dzuhor saya sama Bakri mau jalan-jalan ke Ladang Teh" sampuk Munsyi sambil menghulur segumpal wang kepada Chang Nana.

(16) Di sepanjang petang, Munsyi membawa Bakri berjalan mendaki bukit di belakang rumah Cang Nana. Dari atas bukit itu dia menunjukkan keadaan sekitaran daerah Gunung Halu yang merupakan kawasan perkebunan teh. Di lembah penuh dengan sawah yang diusahakan tanpa putusnya. Di lereng-lereng bukit berdeklatan, berjejer-jejer perkampungan para petani. Rumah-rumah beratap genting. Dinding-dinding rumah pula adalah dari anyaman bambu yang dicat berbagai warna dari jauh kelihatan sangat indah. Hanya lantai dan dinding setinggi tiga kaki terbuat dari konkrit. Di depan berkilau-kilau dalam sinar mentari siang, melingkar sungai mengalir deras dengan air gunung dan perbukitan yang putih jernih. Hidup masyarakaat di sini penuh kesederhanaan. Sederhana atas keterpaksaan, bukan kerana mahunya mereka. "Heh. Aku laparlah. Dah pukul 3.00 ni. Kita taidak makan tengahari ke?" soal Bakri sambil mengurut-ngurut perutnya. "OK. Kita pulang sekarang" jawap Munsyi sambil berlari-lari anak menuruni bukit.

(17) Kebetulan, bila sampai ke rumah Cang Nana baru pulang dari pasar. Anak-anak santri juga sedang sibuk mengambil kayu api untuk membuat unggun. "Ini malam makan besar lagi Pak. BBQ" sapa salah seorang dari mereka saat Munsyi melewati perkumpulan mereka yang sedang sibuk mengolah apa seadanya. "Ya. Kita panggang jagung sama ayam kampung ya. Kambingnya jangan lupa?" balas Munsyi tersenyum. Sedang di rumah, Aida Rohiba sudah siap menyajikan makanan siang. "Ayuh Mas, kita makan dulu. Sudah telat." jemput Cang Nana. Bakri sekali lagi seperti tergamam. Di depannya terhidang nasi putih, ikan sepat asin, sayur kangkung, keropok dan air putih. "Sarapan dan makan siang, tiada bedanya, hanya ditambah kangkung rebus!" bisik hati kecil Bakri. Munsyi pura-pura tidak menghirau terus saja makan seenaknya seadanya. "Biarkan. Rasakan. Mudah-mudahan dia bertambah sedar betapa masih terlalu banyak UmmahNya makan sekadar untuk hidup" bisik hati kecil Munsyi. Cang Nana agak tersipu-sipu malu. Sebentar kemudian, Aida Rohiba mengunjuk telur goreng sebagai lauk tambahan. Bakri seperti singa lapar terus saja menyambar telur tersebut dan melahap seenaknya.

(18) Malamnya, selepas Isya para tetangga Cang Nana serta beberapa pekerja yang dulu bersama membangunkan Masjid Pesantren CiJinJing berkumpul bersama. Beberapa santri yang menginap di Pesantren tersebut juga turut ikut. Cang Nana, isterinya dengan dibantu beberapa para isteri tetangganya sibuk menyaji makanan. Nani dan Sandra kelihatan paling riang. Bersama mereka juga hadir anak-anak kecil tetangga. Belari-lari bekejaran. Penuh riang. Munsyi tidak melekangkan diri dari mereka. "Om ke mana terlalu lama ngak datang?" celah Sandra saat dipangku Munsyi. "Om kerja. Jauh. Sandra sama Nani kangen sama Om ya?" soal Munsyi sambil mencubit pipi kedua-dua anak manis tersebut. "Waduh Mas. Bila Mas pulang dulu, sekitar seminggu Sandra sama Nani asyik datang ke mari awal pagi, bilang mau sarapan sama Omnya. Kasihan kami melihat mereka. Kangennya bukan main lagi." jelas bapa si sandra. "Bingung juga saya sama ibunya, takut-takut mereka bisa sakit kerana kangen sama Mas. Tapi kemudian Alhamdullilah, sepertinya mereka dapat menerima ketiadaan Mas. Cuma mereka saban hari duduk di kerosi di depan rumah yang Mas belikan buat mereka itu" khabar bapa si Sandra terus. Tersangat tersentuh hati Munsyi. Dia juga terasa amat bahagia kerana biar jasanya buat mereka hanya sekelumit, tetap mereka hargai setingginya. Dia mengusap-ngusap kepala Sandra dan Nuni. "Ini, kenalkan Om Bob. Teman Om. Besok bangun awal ya. Kita sarapan sama" pujuk Munsyi kepada Sandra dan Nuni.

(19) Pada malamnya di CiJinJing udaranya adalah amat dingin sekali. Udara gunung. Mengigit sampai ke sum-sum tulang. Apa lagi jika selepas hujan. Di malam pertama, Bakri kelihatan agak payah mahu tidur. Apa lagi tanpa selimut. Hanya berkain pelikat. Biar baju telah dua lapis dia pakai, dinginnya bukan kepalang, tidak terhadang. Bolak balik dia bangun mengosok-gosok telapak tangannya untuk memanaskan badan. Berbantal kapuk keras. Berlapik tikar getah, menambah siksa hidup rasanya. Akhirnya, dia terlelap juga ngerungkel bergolong bagai tengiling. Sekali lagi Munsyi sengaja tidak memperdulikannya. Biarkan dia merasa. Biar dia mengecapi semula erti hidup miskin dalam kedaan tidak berada, tidak kecukupan. Kali ini, dia akan merasa. Bukan sekadar melihat dan mendengar. Biarkan bahunya memikul kepayahan yang nyata. Namun di malam keduanya semuanya berubah bila Munsyi meminta Cang Nana membelikan selimut tebal untuk mereka berdua.

(20) Buat Munsyi, sarapan pagi adalah waktu paling dia nanti-nantikan. Si Sandra dan Nuni pasti siap menanti bersila tertib menghadap makanan. Saban pagi Munsyi meminta Aida Rohiba menyediakan lima biji telur separuh masak. Dua untuk dia, dan setiap satu buat Sandra, Nuni dan Asep. Empat gelas air susu Dutch Lady. Saat sarapan sering Munsyi akan menjelaskan tentang khasiat makanan serta kesannya kepada mereka. "Pagi-pagi harus makan telur sama minum susu. Biar gigi ngak ompong, tulangnya kuat biar cakep jalannya. Paling bagus, nanti di sekolah menjadi anak paling pinter. Mau?" bilang Munsyi dengan nada penuh kasih sayang. Asep hanya tertawa. Diikuti Sandra dan Nuni."Tapi Om, nanti kalau Om udah ngak ada, kami ngak bisa makan telur sama susu lagi" ucap Sandra sambil mendongak tegas menatap Munsyi. Munsyi sangat terkesima dengan ungkapan sebegitu. Hatinya tergetar. Dia menoleh kepada Bakri. Dia mengenyet mata. "Makanya, saat Om masih ada, Sandra, Nuni sama Asep harus sering sarapan sama Om. OK?" ajak Munsyi buat menyenangkan hati mereka.

(21) Saban hari, usai sarapan, Munsyi akan membawa Bakri meneter pinggir-pinggir bukit, berjalan di atas jalan batu kelikir sempit berliku-liku. Sesaklai terpaksa minggir bila sepeda motor lewat. Meniti batas-batas sawah, belingkar bagai ular, licin yang boleh menjengkangkan. Sesekali mereka singgah ngobrol minum air putih bila ada kenalan mengajak singgah. Mereka mengambil masa bertanya khabar tentang kerja, tentang kehidupan mereka yang mahu bersahabat. Munsyi khususnya, akan mengotorkan dirinya, turut bersama membantu sebilangan petani membanting hasil panenan. Sesekali dia dan Bakri bantu mengangkat padi mereka ke tempat perbantingan. Ada waktunya mereka berdua hanya duduk sama ngobrol panjang bersama-sama petani yang menjegeti padi dari serangan burung-burung pipit yang tidak pernah henti-henti merampok jerih penat peluh mereka. Saat sebegitu, anak-anak akan para mendatang sama-sama memeriahkan keadaan. Biasanya, Munsyi akan membahagi permen bekalnya kepada mereka. Bakri, mungkin mulai mendalami. Sering saja mengeleng-geleng kepala melihat segalanya. Sering bertantang melempar pandang sejauhnya, memerhati kehidupan desa. Kulit putinya kian terbakar. Putih pucat wajahnya, kian menjadi sawo mateng. Rambutnya yang sering terdadan rapi kini sudah mulai mengikal terurai mulai kelihatan ngak keurusan. Dia mulai kembali jadi nak kampung. "Kehidupan kampung. Di mana-mana, kenapa begini payah? Terlalu sederhana" kadang-kadang terdengar dia mengeluh. Munsyi tersenyum puas. "Rasakan". Itulah ungkapan yang sering dia balas saat dia mendengar keluhan sebegitu dari Bakri. Sedang para petani akan membalas: "Udah biasa Pak. Tiada pilihan". Ungkapan itu tambah mengejutkan Bakri. "Tiada pilihan? Maksudnya? Kenapa?" soal Bakri penuh rasa ingin tahu. Munsyi tambah lebar senyumnya. Dia mengisyaratkan jangan khabarin kepada petani yang di soal. Dia berencana untuk memaksa Bakri mengerti sendiri nantinya.

(22) Selang beberapa hari, Munsyi mengajak Bakri mendaki bukit-bukit penuh dengan ladang teh. Sungguh mengkagumkan. Hijau melata sejauh mata memandang. Para pemungut teh berduyun-duyun di celah-celah antara baris pohon-pohon teh, dengan pantas jari-jari mereka mencari memetik daun-daun muda bagai lidah zirafah menari-nari mematah segala ranting-ranting muda di perjalanan mereka. "Cuba kau lihat di bawah sana, semuanya sawah. Sedang, cuba lihat dari sini sehingga ke mana-mana, semuanya ladang teh. Tanahnya di sini jauh lebih subur. Tanah gunung berapi. Sangat subur. Sedang di sawah sana itu tanah liat. Telah hilang banyak manisnya kerana terlalu kuat terhenyak dipaksa menghasilakn buat mengisi harapan kecil petani miskin. Dulu, ladang ini adalah milik penjajah Belanda. Saat telah merdeka, jadi milik Negara. Biar asalnya, para petani itu di sini mereka bertanam buah-buahan, jagung, kopi, segala macam tanaman buat panganan serta komoditi jualan. Kini mereka sepertinya di zaman Belanda, tetap hanya boleh menjadi boroh serta bertanam padi dalam petak-petak sekitar 400-600 meter persegi di lereng-lerang bukit dan lembah-lembah sempit. Setiap keluarga mungkin hanya punya tiga ke empat petak. Bayangkan berapakah hasil panenan mereka satu kali pusingan? Sedang, ladang teh ini, biarpun sebulanan kita berdua berjalan merentasnya, pasti belum ketemu hujungnya. Ratusan ribu hektar. Milik berapa? Untung untuk berapa? Dan gaji para pemetik teh itu, cuba nanti kau selidiki, berapa? Jangan kaget, secawan Teh O di KLCC sudah lebih dari cukup untuk membayar upah seharian mereka bekerja. Bayangkan betapa kita hidup di kota selama ini menghirup enak jerih peluh mereka. Maka 'apa pilihan yang mereka ada?'" leter Munsyi panjang."Ya. Indah dalam payah. Senyum dalam tangis. Enak dalam sengsara." keluh Bakri. Dia menganguk-nganguk, mengeleng-geleng kepala. "MasyaAllah. Dunia. Apa ertinya semua ini?" keluh Bakri menyambung. Munsyi hanya dapat mengukir senyum sinis sambil menepuk-nepuk belakang Bakri. Dia cukup seneng kerana Bakri sudah kian merasa apa yang selama ini dia rasakan. Kini dia sudah kembali berteman. Berteman manusia yang boleh merasa. "Ya Allah. Aku bersyukur di atas hidayahMu. Semoga Bakri akan kembali sadar tentang betapa dia harus terus tegar terus berjalan" doanya diam-diam dalam-dalam.

(23) Di sebelah sore, usai makan siang sekitar jam 3.00 petang, sebaik selepas Assar, Munsyi akan menghabis banyak masanya membaca buku-buku yang dia bawa. Sedang Bakri pula akan menghabis masa di Masjid bersama Cang Nana belajar memperbaiki dan melancarkan pembacaan Al Quran. Begitu juga selepas Maghrib sehingga Isya. Namun, kadang-kadang mereka berdua akan bersama-sama Sandra dan Nuni pergi jajan di Indo Mart di Pasar CiJinJing di kaki bukit. Paling tidak, Munsyi akan mengajak beberapa tetangga makan Bakso dan ngopi di warung berdekatan. Begitu juga dia sering singgah ke rumah Kepala Desa, Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) untuk ngobrol-ngobrol. Begitulah liburan mereka. Di rumah Cang Nana, antara Maghrib dan Isya, adalah waktu bagi anak-anak dari perkampungan sekeliling belajar membaca Al Quran. Munsyi seringnya akan membelikan apa saja yang boleh disedekahkan buat mereka. Kadang-kadang dia akan mengambil masa ngobrol sedikit bersama anak-anak itu. "Kalian harus ngaji dan sekolahan rajin-rajin. Nanti Allah akan bantu kalian agar pinter dan bisa seneng hidupnya. Bisa bantu orang tua". Namun sesekali dia terpinga-pinga bila anak-anak itu membalas; "Tapi Om, setelah SD lalu SMP, biayanya cukup mahal. Sering orang tua kami ngak bisa tangung. Akang sama mbak yu kami, sering nyampe SMP aja. SMA terlalu mahal ongkosnya". Sesungguhnya, Munsyi sangat kagum melihat kegigihan anak-anak itu, berdatang berbondong-bondong mengaji kemudian pulang dalam keadaan kegelapan meniti jalan-jalan kelikir sempit berliku-liku. Semua itu mengingatkan dia zaman-zaman anak-anaknya dulu saat Negara baru merangkak keluar dari perasan penjajahan. Indonesia, biar sudah hampir 70 tahun merdeka, namun rakyatnya masih terlalu banyak belum terbela. Kenapa?

(24) Sudah hampir dua minggu Munsyi dan Bakri di CiJinjing. Dr. Shaari tidak dapat ikut bercuti kerana dia punya beberapa pesakit kritikal yang perlu diurus segera. Bakri seperti sudah segar benar. Beberapa kali dia dan Munsyi beradu lomba mendaki bukit-bukit kebun teh, dan nafasnya kelihatan sudah mantap. Pagi itu, cuaca dijangka cerah dan tenang. Munsyi merencana untuk mengajak Bakri mendaki Gunung Nangka. Gunung tertinggi di CiJinjing. Seawal lepas subuh Munsyi telah mengkhabarkan hajatnya kepada Cang Nana dan isterinya. "Mbak bisa bikin kami sedikit makanan. Bikin nasi goreng aja dan rebus beberapa biji telur. Itu lebih utuh. Nanti kami akan mendaki Gunung Nangka. Kalau bisa, kami akan menginep di gubuknya Pak Harun di atas sana buat malam ini. Saya kepingin mendengar secara dekat deru kincir dalam tiupan deras angin gunung. Besok agak siang baru kami turun.". Saat sarapan di pagi itu, Munsyi juga mengkhabarkan ketiadaannya di pagi besok untuk bersarapan bersama Sandra dan Nuni. "Sebentar nanti Om akan naik ke Bukit. Om akan tidur di sana. Jadi besok tika sarapan Om ngak ada. Jangan cari Om ya" bilang Munsyi kepada kedua-dua anak cilik itu. Mereka mangangguk-ngangguk tanda mengerti. Dengan berbekal beberapa helai T-shirt berlengan panjang, serta sedikit makanan basah dan kering, Munsyi dan Bakri kemudian mulai mendaki Gunung Nangka. "Hati-hati Mas. Kalau ada apa-apa nelpon aja" pesan Cang Nana saat mereka mulai melangkah pergi. "InsyaAllah ngak ada apa-apa Mas. Doakan aja keselamatan kami. Pak Harunpun kelmarin udah saya bilangin dan kemungkinan dia akan ikut bersama di atas sana" balas Munsyi cuba menyakinkan Cang Nana.

(25) Melewati padang ilalang, meredah semak-semak, serta sedikit hutan pinus berjalan sengoyoran di sela-sela barisan segala macam tanaman seperti jagung, ubi, nenas, segala macam, akhirnya Munsyi dan Bakri sampai ke gubuk kebunan Pak Harun. Mereka sudah mencapai ketinggian 1,500 meter dari paras CiJinjing atau sekitar 2,500 meter dari paras laut. Kebetulan, Pak Harun sudah ada di sana. Dia telah siap membakar ubi dan menyediakan kopi panas. Makan ubi bakar dan kopi pekat panas di atas gunung berhawa dingin sangat mengasyikan sekali. "Sudah terlalu lama tak pernah makan ubi bakar. Mungkin sudah tiga puloh tahunan" khabar Bakri lalu melahap dengan serakah sekali sepertinya. Pak Harun juga ada membakar beberapa biji jagung manis. "Di gubuk kincir di puncak, telah saya sediakan sedikit ubi dan jagung. Kayu-kayu buat pembakaran juga telah saya sediakan. Juga bisa bikin kopi sendiri. Nanti bawa aja serbuk kopi dan sedikit gula. Teko udah ada di atas sana. Saya ngak bisa ikut nginep. Besok siang ada urusan di kota." jelas Pak Harun. "Wah. Syukur bener Pak. Ngerepotin bapak aja kami. Nanti kami lihat, kalau ngak kerasan di atas, kami nginep aja di gubuk ini malam nanti. Pokoknya kami cuma mahu ngerasain dingin angin gunung" sambut Munsyi. "Bisa. Terserah aja" balas Pak Harun. Kemudian setelah sholat Dzohor, Munsyi menyerahkan sedikit wang buat Pak Harun lalu mereka cepat-cepat memulakan pendakian ke puncak Gunung Nangka. Puncak Gunung Nangka ada sekitar 1,000 meter lagi. Perjalanan ke sana agak sedikit payah kerana tidak ada denai khusus. Mereka terpaksa melewati hutan pinus yang berbatu-batu. Sekitar jam 5.00 mereka baru sampai ke gubuk kincir angin Pak Harun. Suasana masih agak tenang. Kincir tidak menunjukkan sebarang pergerakan. Namun suasana tetap mengasyikan kincir berdiri gagah berlatarkan kehijauan ladang teh yang melata di sekelilingnya. "Kita tidak perlu ke Belanda untuk melihat kincir angin. Di sinipun sudah cukup. Kalau kita bernasib baik, kalau angin kencang, kita akan dapat melihat libasannya serta bunyinya yang menderam seperti buldozer" jelas Munsyi bila melihat Bakri tercegat memerhatikan tiga kincir gergasi bikinan Pak Harun dan anak-anaknya. Namun kerana hari kian sore, mereka berdua dengan cepat menyediakan segala yang patut untuk persediaan malamnya. Mereka segera mencari lebih banyak kayu-kayu yang nanti malam boleh dijadikan ungun api buat memanaskan badan. Jagung dan ubi juga siap dibakar. Air sedia ditanak dan air kopi dibikin. Mereka tidak mahu terperangkap dalam kegelapan atau hujan. Saat hujan pasti semuanya kacau kerana di kawasan gunung hujan sering disertai angin deras.

(26) Usai segala persiapan, Munsyi mengajak Bakri melihat sebuah tebing tinggi di balik belakang sekitar seratus meter dari gubuk kincir Pak Harun. Mereka berdiri memerhati alam dari pinggir sebuah tebing curam itu. Kecuramannya entah berapa ratusan meter menjunam ke bawah ke kaki Gunung Nangka. Dari tebing itu, samar-samar kelihatan segala perkampungan di bawah Gunung Nangka. Bersama baringnya sang mentari, perlahan-lahan timbul berkedipan cahaya-cahaya melata dari segenap pelusuk perkampungan yang bertaburan di sekitar Gunbung Nangka. Seiringan, bergema suara Azan dari pelbagai pelusuk, memenuhi ruang alam. Indah. Bersenandung dalam nada yang sukar dijelaskan. Alam sepertinya membalik dan menjerap laungan itu, membentuk irama yang cukup lain, namun syahdu dan mengetarkan. Tiba-tiba, Munsyi terisak-isak menangis. Tubuhnya bergetar bergegaran. Bakri kehairanan. "Kenapa Syi? Apa yang berlaku?" soal Bakri bertalu-talu. Munsyi tidak menjawap. Dia pantas berlalu pergi kembali ke gubuk. Sesekali dia seperti menyedut sekuatnya nafas alam. Dalam dan melepasnya kuat jauh. Kemudian dia terus menunaikan sholat Maghrib. Usai sholat Sunat Hajat, Munsyi kemudian terus sibuk menghidang makanan yang mereka bawa serta bakar jagung dan ubi. Air kopi yang sudah agak dingin dia panaskan semula. Bakri hanya terdiam penuh seribu satu persoalan. "Apa lagi helah Munsyi ini?" bisik hati kecilnya, sambil dia menumpuk beberapa potong kayu untuk membentuk ungun api yang membara bagi menghangatkan keadaan di dalam gubuk bagi melawan rasa dingin yang kian menghadir.

(27) Sambil mengunyah jagung bakar dan perlahan-lahan melancarkan telanan dengan kopi panas, Munsyi menatap Bakri tepat dalam samar-samar cahaya pelita. "Dua tahun dulu, jeram tebing tadi, hampir-hampir melenyapkan aku. Aku hampir-hampir terjun menghumban diri di sana. Entah, Azan Assar dari Pak Harun, kembali menyedarkan aku. Juga wajah-wajah payah perit yang aku lihat bila aku berjalan keliling di segala perkampungan di bawah sana, mengajak aku beristifar. Pak Harun dan gubuknya ini, dua tahun dahulu sudah menerima kedatangan aku yang tengah lara remuk redam. Allah, lewat Pak Harun telah menyelamatkan aku dari mati kufur. Semuanya gara-gara kekeciwaan yang terlalu berat yang aku tanggung. Aku rasa engkaupun tahu akan hal itu. Sesungguhnya, dari mula kita di Kampung Baru sehingga ke sini, adalah tapak-tapak yang telah aku lalui dalam mengumpul kembali diriku untuk terus berjalan dan berjalan. Berjalan dan berjalan sehingga aku lelah dan rebah." jelas Munsyi dalam nada perlahan lahan, menahan kuat segala pedihnya rasa hatinya. Mendadak, baru Bakri sadar, terkesima. "Maksudnya, dua tahun dulu engkau hilang sekitar tiga bulanan, tidak diketahui oleh sesiapa, biarpun aku, rupanya sampai engkau hendak membunuh diri di sini. Astafirullah Halazim. Kuat sungguh kesan kecewa cintanya engkau, kepada siapa gadis itu, Izan, ya Izan sampai engkau hendak mencabut nyawa engkau. Aku macam tidak percaya." sanggah Bakri mengeleng-geleng kepala. "Di mana dan apa jadi dengan budak itu sekarang?" soal Bakri dalam nada penuh ingin tahu. "Sudahlah, jika aku terus ingat akan dia, itu menjadikan hidup aku terus bergelumang dosa. Dia sudah bahagia dan aku tidak boleh merengut kebahagiannya. Aku sudah melepaskan rasa cinta aku kepada dia dan aku sudah menukar rasa cinta itu kepada mencintai semua. Hatiku, telah aku tetapkan betapa hati dan diriku ini sudah bukan milik sesiapapun. Juga aku bukan milikku." jelas Munsyi tegas penuh yakin. Dia telah dapat mengembalikan dirinya sepenuhnya. "Aku mengajak engkau ke sini, bukan untuk membuka kembali lembaran sejarah silam aku. Aku membawa engkau ke sini sebagai persaksian, betapa aku dapat merasakan akan kekecewaan yang sedang terpendam di dalam diri engkau. Jika aku hampir hendak menghumban membunuh diri, engkau sebetulnya, menghadapi masalah jantung juga sebahagiannya adalah kerana tekanan hasil kekecewaan engkau. Sesungguhnya kekecewaan yang melanda kita, hampir-hampir menjadikan kita mati sia-sia. Mati sebelum mati. Mati bukan pada saatnya. Kita mati atas kehendak sendiri. Bukan mati mengikut ketentuan azali kita. Astghafirullah Halazim. Maka aku sangat-sangat berharap, selepas ini, engkau harus tahu, pedih perit derita yang engkau sedang lalui ini, juga pernah dilalui oleh manusia-manusia lain, termasuk aku. Engkau tidak kesendiri. Maka, apapun keputusan yang akan engkau perbuat selepas ini, ingatlah bahawa aku akan tetap bersama engkau. Pilihlah jalan bertahan, sabar, ikhlas, redha. InsyaAllah, jika kita tidak mendapat apa yang kita kehendaki, Allah pasti akan memberikan yang hak buat kita." hujah Munsyi panjang.

(28) "Sebenarnya Syi, aku sedang berfikir. Telah tekad untuk melepaskan jawatan aku. Aku mahu berhenti dari pekerjaanku. Sejak di Hospital Al Noor lagi aku sudah memutuskan sebegitu." khabar Bakri penuh yakin dan tegas. Munsyi melopong mendengar keputusan Bakri. Dia mengeleng-geleng kepala. Beristifar berberapa kali. "Engkau jangan beristifar. Engkau harus bersyukur" balas Bakri saat dia melihat Munsyi kekagetan kecewa sepertinya. "Aku hendak kembali belajar. Aku ingin jadi penulis. Aku hendak ke Mesir dan belajar Bahasa Arab. Aku hendak mengkaji segala tulisan Islam dan berusaha melahirkan fikiran-fikiran yang boleh membantu bangsa Melayu kita untuk bangkit gagah" jelas bakri. "Habis apa jadi dengan cita-cita engkau untuk melahirkan zuriat bersifat khalifah?" soal Munsyi penuh sangsi di atas keputusan Bakri. "Sebenarnya aku terilham oleh engkau sendiri. Ke mana juga engkau pergi dan berada, engkau terlalu mudah untuk mendekati dan didekati oleh anak-anak. Engkau tidak kira anak siapa. Juga aku perhatikan engkau sering mengusap-ngusap kepala mereka dan mulut engkau sering kumat-kamit saat berbuat seperti itu. Aku yakin, di atas setiap usapan engkau itu, pasti engkau sedang berdoa akan sesuatu. Maka aku sudah berputus, khalifah harus aku bina bukan sekadar dari zuriatku. Sesiapa juga harus aku persiapkan jadi khalifah. Lagi banyak lagi bagus. Muhammad SAW sebelum wafatnya, baginda ada sekitar tiga ratus para sahabah yang faham akan Al Quran serta hukum-hukumnya. Mereka itu yang menjadi khalifah-kalifah pada darjat masing-masing dalam mengembang dan mempertahankan Islam. Muhammad SAW tidak terlalu bergantung kepada zuriatnya untuk menjadi khalifah, pengantinya. Maka bila aku memerhati engkau asyik dengan buku-buku, serta membuat pelbagai catatan tentang apa yang engkau lihat, rasa, dan fikirkan, maka aku yakin, sebegitulah kehendak Allah dengan tertulisnya Al Quran. Pencarian dan menebarkan Ilmu adalah wadah paling agung buat pembinaan khalifah. Itulah kesadaran aku. Dan Allah memasukkan aku ke Al Noor telah memberikan aku ruang untuk mengenali akan kudrat kehidupanku." perjelas Bakri penuh semangat, yakin dan bersungguh-sungguh. "InsyaAllah, sekembali ke Kuala Lumpur, aku akan terus ke Kaherah dan dari sana aku akan kembali menunaikan Umrahku yang kurang sempurna tempoh hari. Aku tidak akan kembali dulu ke Kuching. Tidak ada apapun di sana buatku. Sebenarnya, bersama surat mohon bercuti dulu, telah aku sediakan surat perletakaan jawatan sekali." perjelas Bakri lanjut.

(29) Munsyi hanya terdiam. Dia menunduk terus. Kemudian perlahan-lahan dia bangkit, menguak pintu daun gubuk. Sepoi-sepoi angin gunung dingin meluru menyapa. Munsyi berjalan keluar perlahan-lahan. Sepi alam, sepi lagi hatinya Munsyi. Bakri mengekor dengan anak matanya. Dia tahu Munsyi ingin sendiri. Dia hanya duduk bertikung, tinggul. Munsyi menhilang dalam samar-samar kegelapan. Dia mendongak ke langit. Bulan dan para bintang seperti sedang menyaksi tenang akan langkah-langkah longlainya. "Tuhan Ya Rabbulalamin. Di Sinai, Musa AS Engkau wahyukan sepuloh jalan keTaqwaan dan kehidupan. Di Jabal Nur, Muhammad SAW Engkau limpahi rahmat ilmu. Di sini, dua tahun dulu, Engkau pula temukan aku akan diriku. Di sini, teman akrabku akan terpisah dari jalan fikirku. SubhanaAllah. Akan terus berjalan sendirilah aku. Apakah ketentuan Engkau pada tetap sendirinya aku?" bisik hati Munsyi dalam genangan air mata.

Hati Nan Pejal Membatu

Enam tahun dahulu, Jun, 2007, Sharen, begitu pantas bersama teman-teman melangkah ke luar gerbang kampus UiTM Kota Bharu. Tiga tahun bergelumang dengan pelbagai bahan bacaan, penyelidikan dan tulisan, akhirnya zaman perjuangannya sudah langsai. Segulung Diploma sudah dalam gengaman. Hatinya, ada sedih, bakal meninggalkan kerusi-kerusi yang telah sekian lama menampung punggungnya, pinggulnya yang dulu tepos kini sudah menjadi kembang semangkuk. Apa lagi, dulu tubuhnya kurus, gunjingan kini sudah perawan yang membuka, melototkan mata jejaka mana saja yang dilewati. Kerusi-kerusi di kamar-kamar kuliah tersebut telah mendewasakan bukan hanya fikiran tetapi juga tubuhnya. Dia kini sudah berusia dua puloh dua tahun, benar-benar kembang mekar Gunung Semanggol.

(2) Lonjakkan kegirangannya tersangat meluap sehingga menerjah bahang harum daranya menebusi, menerobos blaus tebal yang membalut tubuhnya. Dengan Diploma di tanggan, dia sudah punya tiket untuk merentas pagar-pagar sosial hidupnya dalam sebuah keluarga yang amat mengongkong. Bibir seulas pinangnya sentiasa mengukir senyum. Tidak putus-putus. Semua teman-teman berfikir, dia paling gembira. Namun di dalam kepalanya, sudah ada perkiraan lain yang lebih jauh. Sharen ingin segera melamar kerja dan kabur dari penjara hidupnya. Dengan Diploma dalam Pengurusan Perniagaan, serta anugerah keayuannya, setidak-tidak menjadi Pembantu Pribadi (PA) pasti boleh. Apa lagi dia seorang gadis lincah dan peramah. Itu perhitungannya. Hari berlalu. Mentari bangun di Timur, baring lalu tidur lena di Barat. Bulan pun nyusul mengambang, bergiringan berputar-putar  dengan matahari. Silih berganti. Siang berganti malam, malam disusul siang. Hujan berganti panas cerah, dan panas berganti mendung menghujan. Saban hari sebegitulah, untuk sekian waktu. Tanpa henti. Dihitung atau tidak dihitung, hari-hari terus berjalan tanpa henti.

(3) Sharen, kembang semangkuk sudah menjadi kembang setaman. Rangginya cukup mencerah mata memandang. Sarinya kian penuh bermadu. Semutpun sudah mendengar namanya. Belalangpun sudah kepinggin hinggap mengunyah pucuk daun-daun mudanya. Rama-rama simpang siur menari-nari merentas angin deras, kepingin tahu siapanya Kembang Setaman. Burung madu, merah kuning, berputar-putar ligat ke hulu ke hilir, tercari-cari ke seluruh taman. Namun, kembang setaman masih utuh tersembunyi di kandang besi taman. Angin membawa jauh harum namanya. Terhidu lalu mendatang seekor kumbang jantan, hinggap, melencok di birai pagar besi taman perlindungan Sharen. Melihat pada bayang tubuhnya Sharen, biar sekadar dari balik tabir-tabir jendela bergerigi, hatinya sudah marak bangkit tanpa paksa. Dia seperti mahu hidup seribu tahun lagi. Langit sudah tidak ada mendungnya. Awan sudah diarak menjauh. Hanya bintik-bintik hujan terus menetes dari hujung-hujung atap pondok-pondok. Segalannya kian mencerah dan jelas. Taman selepas hujan, pasti mewangi dan segar.

(4) Mohd Rafik, begitulah nama sebenarnya kumbang itu. Dulu hidupnya sangat susah. Dia hijrah dari kehidupan petani payah dari Perlis. Sengoyoran beberapa ketika meniti kehidupan penuh lumpur di Kuala Lumpur, akhirnya membawa dia menjadi penjaja jalanan di lorong-lorong Chow Kit, Jalan Tuanku Abdul Rahman dan Petaling Street. Namun berkat kerja keras, segalanya berubah sehingga mampu mendirikan sebuah rumah tangga yang sederhana. Dengan terus daya gigih, rezeki bergunung mendatang melimpah-limpah. Pengalaman di lorong-lorong hitam di Kuala Lumpur menghantar Mohd Rafik sehingga ke perbatasan Siam. Dia mulai terlibat dalam segala ursuan dagang hitam dan putih. Akhirnya, rasa sadar tumbuh hebat di dirinya, lalu terbula lowong baginya untuk berdagang peralatan gantian jentera lalu kemudian membuka Toko Kereta Mewah di Petaling Jaya. Kejayaan Mohd rafik, bukan tanpa dugaan seterusnya. Dia kian banyak dicemburui. Tidak kurang berlautan yang memburu kebagian rahmat Allah kepadanya. Banyak mata mengintip. Banyak usaha sesiapa juga untuk mendekat. Ada berniat baik, banyak juga berhati miring. Ada kata nasihat dan dorongan hinggap di dada, namun tidak kurang fitnah mulai melata. Segala daya segala cara diperguna agar Mohd Rafik terpancing. Akhirnya, sang isteri jelita, nan lemah menjadi lorong pembuka segala. Hati perempuan, fitnah sangat mudah mengoda mereka. Lantas, pada falsafah cemburu tanda sayang, api curiga mengoncang dada. Mengasak bicara hari-hari. Sentuhan cemburu sayang kian menjadi neraka kehancuran. Akhirnya segala meledak. Bagai Merapi memuntah amarah, segalanya terbakar. Ranap. Perceraian mengamit datang. Kebahagian menyembah bumi. Tersungkur. Mohd Rafik menjadi tertekan. Anak-anak tersayang terpaksa dilepaskan. Kehidupannya musnah. Segalanya buatnya punah. Dia merantau membawa diri. Dia melepaskan segala. Melupakan segala. Urusan perniagaannya sudah dia tinggalkan. Segalanya dia serahkan kepada pengurusan atasannya untuk menerus atau mengapa-apa saja. Dia sudah tidak peduli. Dia menjadi Pengarah Urusan maya, MIA MD. Boleh tidak boleh sebegitulah. Dia sudah mengambil sikap tidak peduli. Padanya, segala peluh getirnya, membina segala buat kebahagian seisi keluarga sudah sampai jalan penghujungnya. "Ada harta, tiada keluarga, untuk apa? Sia-sia. Semua sia-sia" bentak hatinya yang marah meluap, kesal mematikan. Namun, Allah MahaPengasih, masih ada titik Iman dalam tubuhnya. Sedetik demi sedetik, dia kembali sadar. Dia harus kembali hidup bermatlamat. Mohd Rafik, bagai seekor kumbang gagah merantau membelah segala rimba, mendaki segala gunung dan lembah mencari sekuntum kembang yang pada firasat seorang dukun, akan ditemuinya di sebuah lembah hijau, yang punya madunya bisa memperkasa kembali dirinya.

(5) Di Taman di Gunung Semanggol, Mohd Rafik mendapat khabar akan keberadaan Sharen. Dengan tekad untuk segera kembali hidup bagai ledakan Karakatoa, semangat jantannya kembali memuncak. Mohd Rafik sepantas halilitar berutus khabar untuk menyunting Sharen. Tali perkenalan diperpanjangkan lewat segala angin yang menderu dan embun yang turun. Kembang menjadi kian mekar. Madu sudah cukup pekat untuk santapan kumbang. Rangginya sudah siap keras menerima mendaratnya sang kumbang. Sesalur sarinya sudah penuh terisi madu paling lazat buat santapan lidah panjang, proboscis sang kumbang. Debunga-debunganya yang sudah siap untuk persenyawaan mengamit-gamit tidak sabar untuk melekat pada kaki-kaki kasar sang kumbang, agar segera terhantar dipucuk stigma sari lalu tumbuh membiak menjadi benih-benih menghambur membiak segala zuriat melata di seluruh pelusuk alam. "Alang kepalang tidak dilamar kerja, baik saja dilamar jejaka. Mana tahu, berkat sebuah rumah tangga yang bahagia, pasti rezeki akhirnya melimpah ruah. Apa yang dicari, rezeki? Maka bagaimana cara ianya hadir, itu urusan kedua, soalnya, harus melimpah mewah." perkiraan Sharen diam-diam. Lalu dengan berani, tali persahabatan perkenalan dimulakan. Dia melangkah gagah merentas pagar besi tamannya. Baur-baur cinta menular mengisi taman. Semakin hari semakin semerbak. Berputik, menjadi benih-benih dalam kantung buah. Kian masak. Kian meranum. Hatinya sudah terpanah api cinta. Dia pasti. Dia yakin. Dia tegar. Secara senyap-senyap, lewat pihak ketiga, Sharen menyetujui Mohd Rafik membuka pintu pagar besi tamannya.

(6) Pak Din gelarannya, dan Fasihuddin Khan, nama bapanya Sharen, yang nama penuhnya adalah Shahreen Fasihuddin Khan, kepingin sekali anak kesayangan dan manjaannya memiliki kerjaya yang mantap dan baik. Itulah rahsia hatinya yang tidak pernah dia sampaikan kepada sesiapapun. Jika boleh, biarlah Sharen, nama timangan anak itu dari lahirnya lagi, harus menjadi seorang Akauntan jika tidak Peguam. Itulah jawatan yang pada tanggap Pak Din bisa membawa seluruh keluarganya keluar dari segala kepayahan yang sekian lama dia pikul. Dia sudah menua hebat. Tidak sanggup lagi dia melihat Cik Aminah, sang isteri saban hari bertinggung di wakaf berjual Nasi danagn atau seadanya buat menyambung kehidupan. Dia sangat-sangat perlukan Sharen menjadi wira membebaskan kehiduopan payah keluargannay. Juga, dia ingin, membuktikan kepada seluruh teman-temannya yang lain yang sering menghabiskan masa di warung-warung kopi dan wakaf betapa dia adalah seorang ayah yang berjaya. Dia kepingin sekali disanjung sebagai bapa mithali oleh teman-temannya. Bermula dengan kehidupannya yang sangat payah lantaran rendah darjat pendidikannya namun dia mampu melahirkan seorang Akauntan atau Peguam. Inilah kerjaya yang amat tinggi darjatnya di mata masyarakatnya. Sharen adalah pertaruhannya. Sharen mesti mencapai kedudukan sebegitu. Biarlah selepas mendapat Diploma dalam bidang Pengurusan Perniagaan, dia mesti meneruskan ke peringkat Ijazah dan menjurus dalam bidang yang dia mahukan, Akauntan. Noktah.

(7) Bagai St. Halena, Sicily meledak memusnahkan Kota Rom, debu-debu berhamburan melitupi seluruh Eropah, hitam pekat memadamkan sinar mentari, larva merah membuak mengalir deras ke Maditeranean, hati dan darah Pak Din mengelegak saat ada khabar, selentingan tentang hajat Mohd Rafik untuk masuk meminang Sharen. Apa lagi, Sharen sendiri tidakpun pernah berbicara langsung kepadanya. Pertunangan dan perkahwinan adalah bagai Sicily, sedang cita-citanya agar Sharen menjadi Akauntan adalah Kota Romnya dia. Tidak boleh. Sicily tidak boleh meledak untuk kali keduanya. Kota Rom mesti dibangunkan biar dengan apa cara dan berapapun nilainya. Darah Khan yang merngalir dalam tubuhnya kini membuak menuntut dia berdiri tegas pada pendirian hak mutlak lelaki si bapa. Perempuan, anak, Sharen, mesti patuh kepada bapa, lelaki, itulah sumpah darah Khan. Biar mati anak, jangan mati adat itulah perhitungannnya. Tidak boleh. Sharen mesti patuh atas kata dan perintahnya. Bukan untuk seiapa, untuk Sharen. Pak Din sudah jelas dengan dunia kekeluargaan kini, biar betapa gah saat membina, runtuhnya mendadak kapanpun juga, biar tanpa angin, tanpa halilitar. Siapapun Mohd Rafik, dia tidak peduli. Biar hartanya mengunung ke langit, itu bukan jaminan buat Sharen. Itulah anak manjanya. Itulah anak kebangaannya. Itulah anak kesayangnya. Dia mahu anaknya menjejaki jalannya dia, berdiri pada kaki sendiri. Berjalan sendiri. Dia tidak mahu, tanpa kekuatan sendiri, Sharen akhirnya terperangkap payah. Dia tidak mahu, bila ini terjadi, Sharen, terkapai tanpa rumah teguh untuk berteduh sendiri. Dia tidak mahu anak manjaannya menerima nasib seperti banyak isteri-isteri teman-temannya yang selalu ngopi dan bermain dam berharian di wakaf-wakaf dan warung-warung. Banyak dari teman-temannya itu punya dua atau tiga isteri. Segelintir punya empat. Isteri buat mereka sepertinya mangkuk-mangkuk tambahan hidangan makan siang sahaja. Semuanya mangkuk-mangkuk tambahan itu adalah mangkuk-mangkuk buangan para lelaki yang entah apa pandangan dan pegangan hidup mereka. Kini, mangkuk-mangkuk itulah yang merngeluarkan duit kopi buat mereka berpelesaran seharian. Pak Din tidak mahu itu terjadi kepada buah hati kesayangannya, Sharen.

(8) Hati sang muda. Hati si tua. Satu mengeras. Satu keras. Bersatu tiada. Terpisah jauh. Yang mengeras menjadi retak. Yang keras mulai pejal membatu. Sharen mencari akal untuk keluar rumah. Lagu dan irama mesti selari. Dia memohon untuk melanjutkan pelajaran. Dia diterima UiTM Melaka. Jalan tersendat-sendat Gunung Semanggol kini membuka ke Lebuhraya Tol Pantai Barat. Hati Sharen girang bukan kepalang. Kini dia bisa kabur dari kawalan rapi ibu-bapanya. Si ayah akur, malah bangga. "Syukur. Akhirnya baru dia tahu keutamaan hidup" katanya diam-diam, biar dalam hatinya belum ada puas. Namun dia berdoa, Sharen akhirnya akan menjadi akauntan. Ijazah Pengurusan Perniagaan masih boleh membawa Sharen ke arah impian Pak Din. Sedang, Mohd Rafik yang tidak berputus asa, terus mengintip Sharen. Dia menghidu jejak selanjutnya Sharen. Kini, keberadaan Sharen menjauh dari kurungan besinya, memberikan dia ruang seluasnya untuk lebih menjinak. Tali yang kian kendur ditegang kembali. Kolek tersadai di tebing dihulur ke air. Didayung bersama santai menikmati indahnya segala senja dan malam. Putik-putik asmara kembang memekar. Bahkan mekar dengan seri yang paling hebat. Luahan cinta, kasih, sayang, semuanya kembali terurai terhidang. Cinta yang melimpah-limpah. Merpati sejoli hanyut dalam belai asmara Laila Majnun bahkan terlebih hebat sehingga ke batas Zulaikha dan Yusuf. Hati mereka benar-benar bersatu. Gejolak nafsu kian membara. Mereka ingin bersatu jasad secepatnya. Bahana membendung nafsu terlalu menghampir. Saban waktu, nafsu kebersamaan memanggil-manggil. Kumbang, lekangnya dari kembang sudah tidak mahu. Biar hujan, biar panas, biar malam, biar siang, kapanpun terusnya mahu bersama. Syaitan gondol kian teguh bersatu memagar segala malaikat dari menghampir. Namun, martabat dan harakat KeImanan tetap masih ada biar kian tergoncang hebat. Maka atas keyakinan yang maha hebat, sekali lagi, dengan penuh tekad Mohd Rafik menghantar utusan meminang. Pak Din, dia tetap Pak Din. Bukan darah Pasthun jika dia mengalah. Sekali dia berkata tidak. Maka terus tidak. Tidak. Sharen tidak boleh menikah sebelum dapat Ijazah. Noktah.

(9) Mendung mengumpul. Gerimis berjatuhan. Menjadi ribut. Hujan berderai. Hati Sharen melerai. Kecewa bukan kepalang. Namun, dia cepat tersadar. Alhamdullilah. Masih ada harapan. Jangan membuang masa. Dia memutus menari ikut paluan gendang. Segera habiskan kuliah. Segera dapatkan kerja. Secepatnya. Biar Pak Din, bapanya yakin dia telah boleh berdiri sendiri. Sharen memaksa diri menari seirama. Dia meminta Mohd Rafik untuk sabar bertahan. Buktikan kejujuran cintamu dengan betah sabarmu" pinta Sharen pada Mohd Rafik. Paling lama, cuma dua tahunan. Dia sudah semakin dewasa untuk membaca fikiran bapanya. Syukur, berkat sabar, berkat kegigihan, akhirnya dia melangkah sebagai siswazah. Kerjapun melamarnya. Hatinya melonjak ke awan biru. Melepas ke langit satu, mengapai syurga. Kemerdekaan dirinya rasanya sudah tercapai sama darjatnya kecapaian kedaulatan bangsa bagai pernah dilaungkan oleh Tunku Abdul Rahman Putra di Padang Kota Melaka. "Ya. Hasrat abah agar aku boleh berdikari sudah kesampaian. Aku sudah punya Ijazah, punya pekerjaan. Pasti dia kini akan akur pula akan kehendakku. Aku ingin cepat menikah. Hidupku mesti serba lengkap." bisik Sharen dengan dada yang penuh berbunga mengimpikan selengkap kebahagian. Mohd Rafik yang penuh sabar, punya segala; rupa, gaya, paling penyayang, harta, semuanya lengkap adalah pilihan tekadnya. Sepertinya, Mohd Rafik adalah jejaka paling sempurna di kaca matanya, lebih sempurna dari Yusuf AS. Mohd Rafik kembali segar mahu berjuang. Langkahnya langkah lebih yakin. Terlalu yakin segalanya akan sebegitu mudah bagai air terjun dari pancuran. Mudah. Dia menghantar rombongan meminang. Kali ini serba lengkap. Serba bergaya. Namun, entah salah burung atau silap bunga untuk mandian. Pak Din tetap menolak. "Duda. Tidak. Sharen tidak boleh menikah dengan duda. Ibarat anjing, kalau sudah biasa makan najis, jika tidak makan, menghidupun cukup. Aku sangsi akan keikhlasan dan kebenarannya dia. Silap-silap Sharen juga akan menjanda akhirnya." telah Pak Din ke atas Mohd Rafik. MasyaAllah. Bagai enggang lalu ranting patah ibaratnya nasib Mohd Rafik di mata hati Pak Din. Kasih sayangnya dia buat Sharen, melampaui kasih sayang sesiapapun. Empat tahun Mohd Rafik sabar berusaha, galang tetap membantainya. Mohd Rafik kecewa bukan kepalang. Hatinya lerai berkecai. Terasa sangat hilang maruah. Separuh nyawanya terbang. Mungkin juga tinggal suku tersisa. Dia mengundur terus. Dia melangkah dengan langkah panjang dan cepat. Tidak menoleh lagi. Hilang. Entah karam entah sedang enak mendayung gondola di Venice. Sharen kecewa habis. Menangis dan menangis. Dia berpatah arang dengan bapanya. Cinta nan digarap, kesenangan nan diidam, karam dan tengelam mendasar di Lubuk Manila, rasanya. Mati berkubur paling dalam. Permusuhan diam terjadi. Ayah dan anak sudah tidak bermanja lagi. Sepertinya, si ayah tidak sadar: Betapa si anak adalah hanya harta pinjaman dari Allah, bukan mutlak miliknya. Dia hanyalah pemudahcara akan ketentuan akhir si anak. Si anak tetap punya daya bebas memilih berdasarkan akal dan nalurinya. Si ayah hanya membimbing ke jalan wajar. Memilih itu ketentuannya dia. Allah menentukan nasib si anak atas pilihannya sendiri..

(10) Kekecewaan menjadi dendam di luar sadar. Galangnya adalah bapanya. Tembok China terbina antara keduanya. Sharen mentiadakan bapanya. Biar seharian Pak Din berada di depan mata, Sharen, lihat tidak melihat. Pak Din sudah tiada buatnya. Kehidupan berkeluargamya Pak Din kian dirundung sepi dan acuh tak acuh. MasyaAllah. Manja anak beralih arah. Siibu jadi gantian. Segalanya tumpah di situ. Pak Din, Sharen seperti singkirkan terus. Cik Aminah, ibunya Sharen, tahu akan isi hati anaknya. Perempuan, hanya perempuan yang tahu isi hati perempuan. Dia berdiri kukuh di depannya Sharen. Dia mengerti derita anaknya. Bagi sang ibu, darah dagingnya Sharen adalah darah dagingnya dia. Nyawa Sharen adalah nyawanya dia. Segalanya Sharen adalah dia. Dia yang mengandungkan Sharen. Dia yang bertarung jasad dan nyawa mengendung Sharen. Sembilan bulan. Bukan sebilan hari. Pak Din, pengorbanannya apa? MasyaAllah. Saat syaitan gondol sudah mengoda dan mendinding segala, manusia sepertinya kian menjauh dari sadar akan fitrah mereka. Kesasar menjauh. Tanpa berfikir panjang, tanpa bermuhasabah dalam, terus saja mendirikan kebenaran diri. Sesungguhnya siapalah dan apakah akan jadinya Adam AS jika Allah menafikan kehendaknya untuk punya dan bertemankan Hawa? Manusia sepertinya tidak mahu berfikir tentang itu. Juga, biar tanpa lelaki, Mariam ibni Imran tetap melahirkan Isa AS dan bukan Sarah atau Hajar. Kenapa dan untuk apa? Sedang Isa AS, tiada tercatat akan keberadaan sesiapapun yang dinamakan perempuan di sisinya dalam jalan payah perjuangannnya. Kenapa? Tuhan, Allah, Ya Rabullalamin, rahsia kebesaranNya sukar dimengertikan. Lewat kesempitan fikir dan rasa, manusia menidakkan yang hak. Sharen jadi tidak mahu peduli hati si tua. Kini, Pak Din iri terhadp isterinya, ibunya Sharen. Dia kian rasa terpinggir. Sang anak membisu, si isteri kelu. Segala jadi dingin dan bisu. Si tua semakin luka hatinya lantaran kasih sayang sejatinya sudah disalah ertikan. Banyak ribut akhirnya terjadi. Semua terluka. Hari-hari menua, kian tua, tidak segar hingar bungar seperti sebermula dan selalunya. Layu. Namun nafsu sendiri-sendiri terus bertahan. Di sinilah bijaksananya Melayu, sudah lama ditelah betapa sebetulnya inilah apa yang disebut sebagai ditelan mati emak, diluah mati bapak. Dua hati masih belum saling mengerti, kini merambat berjangkit menjadi tiga terluka.

(11) Sharen terus menjauh diri. Kini dia menjadi keliru. Sangat keliru. Apa mahu bapanya? Ijazah sudah ada, pekerjaan sudah miliknya, apa lagi mahu bapanya? Usianya sudah memanjat angka dua puloh tujuh tahun, getar naluri untuk berbahagia berumah tangga terlalu berat untuk dia bendung. Di sana sini, teman sebaya semua sudah penuh berjejer anak-anak mereka. Sedang dia, hanya terus dirundung sepi dan kerisauan yang membahana. Dia tidak mengerti. Keyakinannya kian memudar. Goyah terus. Was-was merambat mengisi dirinya. Sense of Insecure membaluti seluruh jiwa dan raganya. Sukar untuk dia bersandar. Dia tidak tahu kepada siapa dia harus bersandar. Jika ibu jadi sandaran, ibu pula jadi mangsa keadaan. Dia benar-benar mati akal. Mohd Rafik entah ke mana? Saat bercinta, bukan kepalang janjinya. Bulanpun hanya sejengkal untuk digapai. Mentaripun bisa didinginkan. Saat terduga, dia jadi kecut sukar bertahan. "Lelaki, mahunya tidak lain hanya mahunya. Tidak mereka mengerti apa mahunya perempuan. Ah persetan. Tanpa lelaki mungkin lebih baik" terkadang bentak jengkel mendadak Sharen bersama rasukan syaitan gondol di hatinya. Kini, Sharen mengigil sendiri. Remuk sendiri. Saban hari, hujan tiada henti. Siang tiada berdatang. Hari-hari mendung dan kelam membalut seluruh jagat rayanya. Dia terus bungkam, diam. Hati Sharen menjadi beku. Mengeras. Pejal membatu. Cintanya padam. Berkubur di lubuk lautan Pasifik paling dalam. Mati. Hatinya dimatikan dari segala rasa cinta. Plong, kosong.

(12) Masa berganti masa. Sharen menjalani hidup seadanya. Hidup sekadar hidup. Hidup penuh kekosongan. Hidup bukan demi kehidupan. Hidup atas kemahuan selera matinya. Hidup dalam kematian panjang. Bagun pagi pergi kerja. Lewat sore pulang kerja. Lantas mengurung diri. Hari-hari penuh sepi, mati. Sang ibu, jadi gundah. Saban waktu, berdoa terus kepada Allah agar Sharen kembali bangkit. Pak Din, dalam diam namun tetap pada kegilaan adatnya, kini lebih banyak ke surau bermunajat sehingga lewat malam memohon pertolongan Allah agar anaknya sadar akan kehendaknya. Tiada lain yang dia mahukan, dia ingin agar Sharen dan zuriat-zuriatnya terus bebas dari segala perit kehidupan sepertinya yang pernah dia lalui. Dia kepingin Sharen menjadi model kejayaan yang semua teman-temannya harus teladani, mudah-mudahan semua itu akan bisa merombak kekalutan yang sedang melanda masyarakatnya. Besar cita-citanya. Murni sepertinya. Namun, Sharen terpaksa jadi korban. "Tidak mengapa. Jika korban diperlukan, maka korban harus dipersembahkan." tegas Pak Din. Dia sangat yakin suatu hari, kebenaran pasti ada di pihaknya. Dia tidak gentar jika isteri dan anaknya terus membencinya. Sikap seperti itu bukan tidak pernah terjadi. Noh AS terpaksa melewati jalanan sebegitu dalam usaha baginda untuk memperbetul akidah Umatnya. Maka, tidak salah bagi dirinya untuk sama berkorban sepertinya Noh AS. Itulah perjuangan. Itulah langkah berani yang mesti dia pertahankan. Bapa, suami mesti ada sikap yang jelas dan kental. Bangsa ini dan Islam, buat Pak Din hanya boleh berdiri kukuh jika semua lelaki sedar akan sikap khaifah yang harus ada pada setiap diri mereka dan mereka tidak harus berganjak dari dasar itu.

(13) Cuma sepertinya, Pak Din sedang keliru antara nafsunya untuk menikmati hidup bahagia dan terangkat darjatnya di atas kejayaan Sharen, atau sebetulnya ingin berbakti demi Allah untuk memperbetulkan penyakit bangsa. Apa mungkin dalam hidup ini ada dua dalam satu? Dari Adam AS sehingga Muhammad SAW, rasanya belum ada. Dunia adalah dunia. Syurga Akhirat adalah Syurga Akhirat. Keduanya tidak berbaur. Sejak siap tercipta Allah menjadikan mereka terpisah. Sejarah kehidupan Muhammad SAW jelas menunjukkan betapa kepayahan di dunia, adalah ganjaran nikmat di Syurga pilihannya. Sedang nikmat di dunia, kemungkinan sengsara di Neraka jadi taruhannya. Paling tidak, nikmat Syurga menjadi tipis. Pokoknya, percaya atau mencemuh? Yakin atau sangsi? Tepuk dada, tanya selera.

Tetes Hujan Di Batu Hampar

Majlis Cocktail berjalan santai. Ramai undangan datang dari segenap pelusuk Negara. Semua seperti sangat kepingin tahu apa mungkin terkandung dalam Malacca 2020 Master Plan yang bakal dilancarkan sebentar lagi. Berkumpulan berlegar-legar di Lobby Ball Room Holiday Inn Melaka. Saling berbicara entah apa-apa. Ada yang tertawa terbahak-bahak. Ada yang senyumnya sampai ke linga. Segala watak ada. Terpamir jelas nafsu menguasa semua. Namun, Bakri Iskandar, CEO Sara Holdings Bhd kesendiri di pojok jauh. Di tangannya secawan kopi. Matanya memandang-mandang. Dia cuba mengenal sesiapa buat teman berborak. Tiada sesiapa. Sedang di pojok setentang, juga kesendiri seorang gadis, tinggi lampai, lansing, ayu, berperawakan lembut kelihatan gelisah juga malu-malu. Ayu pantas sekali berkurung bunga-bunga kecil berwarna kebiru-biruan dengan kerudung juga kebiru-biruan membalut kulit kuning memutih jernih. Beberapa kali dia dan Bakri bertikam pandang. Sinar mata si gadis menusuk lain rasanya. Bakri terkesima. Namun, keduanya berpaling tangkas. Si gadis beberapa kali seperti menyela-nyela rambut di telinga. Bakri tajam mengawas. Jari-jarinya polos. Bakri pasti. Dia memberani diri, menghampiri si gadis. Assalamualaikum. Saya Bakri dari Sara Holdings, dari Kuching hulur kata Bakri saat sudah mendekat. Si gadis seperti kaget. Namun senyumnya melirik. Tikaman matanya, terasa bagai anak panah mencacak jantungnya Bakri. "Hai, Sharen dari Kenanga Holdings" balas si gadis sambil mengunjuk jabat salam.

(2) Sebegitulah sebermula perkenalan Bakri dan Sharen. Tiga hari di sepanjang Seminar Melaka 2020, mereka saling berkenalan, namun segalanya tentang kerja dan urusan pembinaan. Biar dalam hati Bakri ada rasa ingin yang lebih lain dari itu, dia seperti selalunya, sangat reserved. Sedang Sharen, dia belum kembali pulih dari patah semangatnya. Perkenalan jadi biasa-biasa. Hati-hati jadinya. Terlalu hati-hati. Namun di balik rasa hati-hati masing-masing ada naluri rasa ingin lebih. Cuma, antara mahu dan tidak, segan dan berani, sering bergelumang segala menjadi was-was. Namun bila sekembali ke Kuching, hati Bakri terus bergelora ingin berkenalan lebih jauh. Tumbuh rasa berat di hatinya. Saban hari semakin membeban. Ada rasa sayu sering datang menikam-nikam jantungnya. Setiap waktu membantai terus. Wajah Sharen kian sering menari-nari di depan matanya. Seringkali membikin dia tersenyum sumbang sendiri. Dia jadi rindu pada wajah itu. Dia jadi sering rindu pada Sharen. Rasa sepi kian menjamah hidupnya. "Hai, apa khabar?" itulah 'SMS' yang sering dia lontarkan saat ada rindu menerpa mendadak. "Salam. I'm OK" balas Sharen. Seringnya dibalas lambat. Jauh-jauh malam. Ringkas seringkasnya. Itu membikin Bakri jadi kian sasau. "Sibuk ke?" balas Bakri. Namun, semuanya mati di situ. Sharen tidak membalas. Tiada kelanjutan. Hati Bakri jadi meneka-neka. "Ya. Sibuk mungkin" jawabnya sendiri buat melapang dada.

(3) Waktu terus mengelinding. Hari-hari, rasa untuk dapat berhubung dengan Sharen terasa terlalu meresahkan. Terlalu perlahan jadinya. Paling menguncangkan buat Bakri. Perhubungan mereka sering hanya lewat "SMS'. Sukar untuk saling bersuara. Namun, dari beberapa perbualan talipon, jelas Sharen gadis yang baik. Punya harga diri yang tinggi. Sangat bertanggungjawap sepertinya. Apa lagi? Segalanya seperti telah sempurna buat Bakri. "Kali ini aku mesti tekad. Zaman bujangku harus kutamatkan. Kali ini biarlah yang terakhirnya. Sudah banyak kali aku ingin mendirikan rumahtangga, namun semua berakhir dengan rasa hambar. Sharen lain rasanya. Dia adalah yang paling mengetarkan. Aku yakin, dialah calun sempurna buatku." bisik hati kecil Bakri. Lantas, beberapa pertemuan diadakan. Bakri gigih berusaha agar tali perthubungan antara mereka menjadi benar-benar akrab dan berhasil. Dia benar-benar ingin membina Tembok Jawa di atas runtuhan Kota Melaka. Namun, Sharen, sikapnya acuh tak acuh, bagai Laut China Selatan, sesekali tenang, sesekali bergelora, sesekali hangat, sesekali redup. Sangat membinggungkan untuk nelayan ke laut. Pengalaman silamnya, benar-benar menjadikan dia kehilangan rasa dirinya. Ketidak yakinan pada dirinya sudah mengakar jauh ke dalam sanubarinya. Sedang, Bakri membaca semua itu dari sudut lain jadinya. Sikap acuh tak acuh Sharen benar-benar mencabar dirinya.

(4) Setahun berlalu. Dingin panas. Panas dingin. Basah kering. Kering basah. Namun banyak dingin dan keringnya. Bagai tetes hujan, di batu hampar, gugur berderai, basahnya sekejap, mengeringnya pantas. Sebegitulah jalan perhubungan Bakri dan Sharen. Hambar tidak hambar. Layu tidak mengkerinting. Subur tidak menjulang. Namun, Bakri atas niatnya yang suci, mahu berumahtangga yang sempurna, agar akhirnya dia dapat meninggalkan zuriat yang terdidik sempurna, betah bersabar. "Mungkin, segalanya ini adalah dugaan Allah. Sengaja Dia ingin menguji aku tentang kejujuranku" bisik hati kecil Bakri buat mempertahankan sabarnya. Cita-cita Bakri amat mudah, dia ingin melahirkan zuriat yang akan menjadi pembela bangsa dan agama yang sejati. Dia kepingin punya anak-anak yang akan terus mahu bergelumang dalam memperkukuh ketahanan bangsa buat merempuh segala galang kehidupan dan akidah di hari muka. Maka, fikirnya, kehidupannya biarlah bermula dan berkelanjutan dengan sebuah rumahtangga yang amat sederhana, namun berkecukupan. Cukup bukan untuk bermewah-mewahan, melalaikan tentang kepedulian terhadap kepayahan sekeliling. Buat Bakri, berkecukupan adalah untuk menumbuhkan fikiran dan jiwa perjuangan yang tulin dan ikhlas. Bakri sudah berangan-angan jika diperkenankan Allah, sejak mulai dari pernikahan, segalanya harus disodor pada jalan Allah. Perjalanan hidup berumahtangganya dia impikan harus pada jalan sederhana, terpimpin sempurna pada fitrah kehendak Allah. Dia kepingin membina sebuah rumahtangga yang sangat berkemasyarakatan sifatnya. Pemikiran sebegini, Bakri ilhamkan dari sifat-sifat kekeluargaan yang diamalkan oleh nenek moyang dan kedua orang tuannya. Dulu-dulu di zaman anak-anaknya, rumah nenek-orang tuannya jadi milik masyarakat sekampung. Tidak kira apa bangsa keturunan. Melayu, Cina, Iban, bahkan segala keluarga persinggahan turut diberi tempat berteduh. Sesiapa juga bebas bertandang, bahkan berkongsi apa juga dari kehidupan mereka. Lantas, dari rupa bentuk kekeluargaan sebegitu, masyarakat dapat hidup penuh saling menghormati, serta saling mempercayai. Segalanya berjalan utuh dan bersatu padu. Namun segalanya tumbang dan kian hanyut akibat ledakan kapitalisma hidup. Manusia sudah melihat kejayaan individu sebagai kejayaan masyarakat, bukan kejayaan masyarakat yang menyemarakan darjat individu. Kapitalisma sudah menterbalik segala. Bakri kepingin mengembalikan fitrah kehendak Allah, betapa segalanya adalah seharusnya milikan bersama demi mencapai keredhaan tulin Ilahi. Dia benar-benar ingin menghambat keberkatan hidup.

(5) Sebetulnya, sejak beberapa tahun kebelakangan, Bakri sering bertandang ke rumahnya Munsyi, bukan untuk ngobrol tetapi berjinak-jinak dengan timbunan buku miliknya. Himpunan buku yang Munsyi miliki sejak akhir-akhir ini, banyak menyedarkan dia tentang betapa dalam banyak hal dia telah sangat keterlewat. Dulu dia hanya memikirkan tentang kejayaan Syarikat. Dia menghambat sekuatnya keberuntungan Syarikat. Dia mengasak sekerasnya demi pertumbuhan sihat Syarikat. Dia sangat tipis pedulinya tentang masyarakat. Syukur, akhir-akhir ini, sikap kembali sadarnya untuk berbakti kepada bangsanya kian tumbuh menyubur. Dia juga kian peka tentang kemungkinan ancaman payah dan asakan kepeleseatan akidah bangsanya. Sesungguhnya dia kian tampak betapa corak kehidupan kini kian mengasak masyarakat ke jurang kepayahan resah. Nilai-nilai budaya nenek moyangnya kian terhakis. Kepedulian sendiri-sendiri kian memuncak. Paling-paling, manusia kian hanya kepingin menegak kepentingan kelompok sendiri, tidak pada landasan pembinaan Ummah. Kesadaran baru Bakri ini mengasak kuat di dalam sanubari dan fikirannya. Kekadang menimbulkan kemelut kuat pada dirinya. Sering terjadi pertembungan rasa antara mahu menegak kepentingan Syarikat atau kepentingan Ummah berkemelut kuat dalam dirinya. Sepertinya, sedang timbul perang besar tentang kehidupan duniawi dan syurgawi dalam dirinya. Lantas hati dan fikirannya tercari-cari. Takdir Allah, pertemuan dan perkenalannya dengan Sharen memberikan dia ilham kekuatan yang sedang dia cari-cari. Apa yang dia perlukan adalah seorang Khadijah, Ummu Muslimin yang akan sering menyelimut dan meyakinkannya di jalan perjuangannya serta membimbing anak-anaknya ke jalan sebagaimana Muhammad SAW-Khadijah RA membina sebuah keluarga Islam nan tulin. Terlalu besar, terlalu mulia cita-cita kekeluargaan Bakri. Terlalu agung Sharen buruan Bakri, seorang Khadijah Ummu Muslimin; mampukah dia?

(6) Namun sambutan hambar Sharen, juga kian meresahkan dia. Banyak kegalauan yang berbaur-baur menghantuinya. Hambarnya Sharen kerana apa? Apakah dia tidak sudi? Atau Bakri tidak selayaknya? Terlalu banyak teka teki. Jiwanya kian resah serta fikirannya benar-benar kacau. Hidupnya hari-hari penuh kegalauan. Tumpuan kerjanya kepada Syarikat kuat memudar. Maka, akibat tekanan perasaan, perlahan-lahan, pencernaan dalam tubuhnya jadi kian tidak seimbang. Tidur malamnya kian tidak teratur. Saban ketika hormon adrenalin terbebas tinggi. Akibatnya, kolestrol kian menumpuk di setiap saluran darahnya. Kesihatan dirinya menjadi tidak terurus sehingga membawanya terlantar di Al Noor Specialist Hospital di Mekah. Allah kudratNya sangat misteri, sepanjang keterlantarannya Bakri di Hospital Al Noor memberikan dia ruang untuk banyak berfikir dan menilai diri. Syukur, caranya Munsyi mengajak dia berjalan telah dapat memberikan dia banyak kekuatan untuk mengenali diri. Bakri menduga-duga. Pertama kini dia sudah cukup dewasa. Sudah 48 tahun hidup di dunia ini. Cukup dewasa pada hisab usianya. Maka dia harus punya keberanian yang tersendiri. Kental. Cekal. Tegar. Kedua, dia telah melalui hidup ini sendiri-sendiri sekian waktunya. Cukup tenang. Cukup cakep bertenaga. Dia menyemak-nyemak. Iman Bukhari, Iman Al Ghazali, bahkan Ibnu Sina, Ibnu Batutta, Ibnu Khaldum dan banyak lagi, apa lagi yang di sebut Laksamana Ang Cheng Ho, bahkan Hang Tuah, semuanya tidak tercerita akan kebesaran keluarga mereka. Mereka berjuang hidup pada jalan kesendirian. Isa AS pun juga begitu. Bukan niatnya untuk menantang Sunnah Muhammad SAW agar Umatnya berkembang biak, namun kepada Bakri dia telah berusaha, masih belum mendapat, mungkin ketentuan waktu dan keadaan tidak menyebelahinya. Dia tekad untuk biarlah bersendiri-sendiri berjalan terus selanjutnya. Mungkin itu takdir Allah buatnya, agar dia terus bebas pemberani dalam menepuh apapun dugaan selanjutnya. Sendiri-sendiri. Paling mengembirakan, saat dia merenung perjalanan hidup Iman Bukhari, Imam Muslim, Imam Al Ghazali, Ibnu Khaldum, bahkan pejuang Melayu seperti Hamzah Fansuri, mereka tidak meninggalkan apa-apa, cuma ilmu. Sesungguhnya, Bakri seperti tersentak, betapa Allah itu tersangat mistri tentang hukum jalanan hidup yang hendak Dia berikan kepada manusia; betapa Al Quran tidaklah lain melainkan Ilmu yang tidak akan habis untuk diteliti dan difanafaati jika manusia sering berfikir dan terus berhati lapang. Sesungguhnya peninggalan maha besar Muhammad SAW tidak lain adalah Al Quran, gedung ilmu. Tiada yang hebat tentang peninggalan Bukhari, Muslim, Al Ghzali, Ibnu Khaldum, Ibn Rusdhi dan segala, melainkan ilmu. "Yah. Aku, akan meninggalkan segala ilmu yang aku mampu, sebagai penyuluh para khalifah di belakangku." bisik hatinya penuh girang bersemangat yang sering terukir lewat senyumnya kepada Siti Nurbaya saat Staff Nurse tersebut melayaninya. Terkadang senyumannya yang penuh semangat bercahaya itu sedikit mencuit hati Siti Nurbaya. Siti Nurbaya membalas dengan senyum melirik paling manis. Jiwanya kembang mengharum. Siti Nurbaya, diam-diam menyimpan rasa. Maka, berbekal semangat baru dalam dirinya, Bakri dengan cepat bangkit dari sakitnya. "Sharen, maaf jika aku sepertinya berputus asa. Mulai kini, aku lepaskan seluruhnya rasa hatiku terhadapmu. Tiada lagi ingatanku buatmu. Kulepaskan segalanya. Namun, doaku semoga Allah akan terus merahmatimu, kerana engkau aku menemukan diriku dan perjalanan seterusnya sebenarnya aku. Semoga berkat rahmat ilmu yang akan kutemui dan kutebar juga, akan melimpah kepadamu" sepertinya Bakri melafaz sumpah melupakan Sharen dan tetap tekad pada jalan baru yang hendak dia tujui. SubhanaAllah. Manusia, saat hatinya sudah lapang, segala penyakit kabur berterbangan bertempiaran. Benarlah, jika segumpal daging dalam diri manusia itu sakit, maka sakitlah seluruh jasadnya.

(7) Diam-diam Bakri sudah merencana untuk mengundur diri dari pekerjaannya. Cuma dia belum begitu yakin untuk mengkhabarkan kepada Munsyi. Dia tahu pasti Munsyi akan menentang niatnya, melainkan jika dia punya sebab yang jauh lebih besar. Dia harus hati-hati untuk mendepani Munsyi. Allah, selagi manusia mahu mendekatiNya, biar terjerumus di danau paling jijik keji, pasti Dia akan mengangkatnya memberikannya kesempatan. Sepertinya kudrat, perjalanan panjangnya bersama Munsyi memberikan dia ilham perjuangannya. Dia memutus untuk berhenti dan mengembara ke Tanah Arab khusus ke Mesir, Iraq, Yaman, Habsyah, Mali dan Turki. Di sana khazanah ilmu Islam bermula, terkumpul dan berkubur. Dengan rezeki yang telah dia kumpul selama ini, kini tiba masanya untuk dia mengembalikan segalanya kepada yang empunya, Allah buat rahmat seisi Ummah. Bakri sadar, sebermula, seperti dirinya, kealpaannya dalam meniti kebesaran Islam hanya kerana sempitnya pemikiran dan fahaman Islam yang dia mengerti. Segalanya adalah kerana, tidak banyak cendikiawan Islam Melayu bisa menulis dan mengolah ilmu sedemikian rupa agar Umat itu menjadi Umat yang gemar menyelidik dan meneroka. Sesungguhnya Umat Islam dari bangsanya dia lihat sebagai Umat suka ikut-ikutan.

Ketentuan Mengetuk, Hati Membiarkan

Bagai helang kelaparan, Munsyi terbang ke Timur mengawas bangkitnya anak-anak ikan di hutan bakau, sedang Bakri tekad menyusur tidurnya mentari. Keduanya membawa hati yang hanya masing-masing dan Allah yang tahu. Masing-masing pada tekad kesendiri. Di Bendara Suharto-Hatta mereka berpisah. Saat akan berangkat, semasa pamitan, mereka sepertinya dua bersaudara yang akan terpisah terus. Munsyi melepaskan Bakri pergi dengan rasa penuh berat. Dengan jiwa berkecai rasanya. ”Aku berdoa, suatu hari nanti, kita akan tetap punya kesempatan untuk menghabiskan sisa-sisa hidup kita bersama seperti dulu-dulu, penuh bahagia dan tertawa ria. Semoga Allah sentiasa menyuluh perjalanan engkau, dan kembalilah seberapa segeranya. Aku akan tetap menanti, InsyaAllah selagi aku mampu.” bisik Munsyi saat mereka berpelukan bila Bakri akan melangkah ke Balai Keberangkatan. ”Mudah-mudahan Allah akan juga membawa engkau ke Kaherah dan kita sama-sama menimba ilmu di sana. Aku yakin itulah warisan terbesar yang bakal kita hadiahkan untuk semua. Mudah-mudahan engkau akan terus sihat sejahtera. Percayalah sampai kapanpun aku tidak akan pernah melupakan jasa-jasa engkau” balas Bakri dengan penuh cucuran airmata. Bakri berjalan lalu pantas. Tidak menoleh. Bakri berangkat langsung ke Kaherah. Sedang Munsyi sendiri terpaksa menunggu sekitar tiga jaman menanti pesawat seterusnya ke Surabaya.

(2) MahaBerkuasanya Allah. Biar terbanting ganas di batu karang, saat ajal belum mendatang, tetap roh kekal bertahan dalam tubuh yang robek-robek. Juga, saat jodoh belum ketentuan, biar nempel hanya terpisah oleh selaput tipis, bersatunya tidak mungkin. Dua hati, Sharen dan Bakri satu terbang satu melencok. Sukarno-Hatta, suatu ketika bersatu tenaga memerdeka bangsa, kini bersatu nama menjadi gerbang keluar masuknya segala bangsa, bersatu juga berpisah dari bumi Indonesia. Sharen dan Bakri, sebegitu jadinya di Bendara Sukarno-Hatta. Hanya batas waktu yang memisahkan mereka. Garuda mengepak meluncur ke Kaherah tepat jam 12.30, sedang Wau Bulan menjejak bumi sekitar jam 12.45. Sharen, sebegitu lama dia memendam rasa kepingin libur mencari damai di Tanah Jawa. Surabaya adalah tujuan mulanya. Dia mendapat undangan seorang teman yang kebetulan sedang juga liburan di sana. Kerana waktu masih lama, dia mampir menikmati bakso di sebuah toko di ruang legar Bandara. Sendiri. Penuh santun dia menikmati bakso dan kopi es.

(3) Di meja sebelah kebetulan Munsyi sedang menikmati Satay Madura. Sekilas dia terpandang Sharen yang duduk berdepanan dengannya. Dia memerhati Sharen secara curi-curi ayam. Dari corak kerudung yang agak rapat ke dahi serta ‘blouse dan jacket’ yang dia pakai, Munsyi yakin, di depannya adalah gadis dari Malaysia. Dengan hati-hati, namun pasti Munsyi menghampiri. ”Maaf. Saudari dari Malaysia?” Saya Munsyi” sapa Munsyi. Sharen menatap Munsyi separuh kaget. ”Ya. Kenapa? balas Sharen ringkas dengan suara dibuat-buat sedikit galak. ”Tidak ada apa-apa. Cuma ingin tahu. Mahu ke mana? balas Munsyi sopan. ”Ke Surabaya’ jawab Sharen, ringkas, acuh tidak acuh. Munsyi seperti mati akal melihat telatah tidak bersahabatnya Sharen. ”Tidak mengapa, mungkin dia tengah keletihan, atau ragu” pujuk Munsyi kepada dirinya. Namun dia tetap cuba mengagahi diri. ”Sendiri ke? soal Munsyi lembut. Sharen tidak menjawab. Dia tidak mengelihatpun kepada Munsyi. Dia hanya mengangguk. Kepalanya tunduk, sambil menghirup kopi esnya, jari-jari kirinya terus membelek pantas sebuah majalah yang berada di sampingnya. ”Wah. Hidung tak mancung, pipi pula tersorong-sorong, sepertinya aku.” sesal dalam hati Munsyi. Dia mengundur diri lalu kembali duduk diam di meja asalnya. Keinginannya untuk bersahabat, tengelam bagai jong dihempas badai tengelam.

(4) Saat mendarat di Bandara Gjuanda, Surabaya, Munsyi jalan melaju. Dia seperti ingin mengelak dari bertembung dengan Sharen. Hatinya entah tiba-tiba menjadi hambar untuk biar sekadar bersedekahkan sebuah senyuman ringkas tanda ucap selamat buat gadis itu. Namun, Sharen, gadis tinggi lampai, langkah kakinya juga turut panjang. Dia mengiring tidak jauh di belakang Munsyi. Bukan mahunya sebegitu. Cuma kakinya saja seperti buru-buru khuatir Siti Nurbaya sudah capek menunggu. Pun begitu, Munsyi seperti mengamit sesuatu dalam hatinya. Ketakpastian serta rasa kurang yakinnya dia, menjadikan dia kelu untuk berbicara selebihnya. ”Pak Munsyi!” sebuah teriak melintas di kuping Munsyi saat dia melepasi gerbang ketibaan. Dia menoleh mencari-cari teriakan itu. ”Wah. Sutiarni. Kamu kok di sini?” tegur Munsyi saat Sutiarni sudah dekat kepadanya. Tuhan, seperti takdirnya ikan di laut, asam di darat, bertemu juga akhirnya di belanga, biar di mana saja. Siti Nurbaya, Munsyi serta Sutiarni ketemu mereka sekali lagi 5,000 kilometer dari titik mula mereka bertemu sekitar dua bulan yang lepas, di Tanah Haram. ”Itu mbak Siti Nurbaya di depan sana. Kami sedang menjemput seorang teman dari Kuala Lumpur” tunjuk Sutiarni ke arah Siti Nurbaya yang melambai-lambai keriangan saat melihat mereka jalan bergiringan. ”Tak sangka jumpa Cik Munsyi di sini. Sendiri ke? Perkenalkan ini, teman saya Sharen dari Kuala Lumpur. Sharen ini Cik Munsyi, kami bertemu di Hospital Al Nor, Mekah sekitar dua bulan lepas. Sutiarni, adalah rakan sekerja I di sana dan akan jadi pemandu wisata kita” perjelas Siti Nurbaya sambil berpelukan dengan Sharen. ”Pak Munsyi nginep di mana? Apa ada yang bisa saya bantu?” soal Sutiarni. ”Ngak apa-apa. Nanti aja saya cari sendiri sama Pak Supir taksinya” jelas Munsyi. ”Jangan begitu Pak. Ayuh nginep aja di hotel kami. Novotel. Empat bintang. Nanti saya bikin booking atas nama saya agar ngak terlalu mahal. Kita naik satu taksi aja.” ajak Sutiarni terus.

(5) ”Mana Cik Bakri? Dia sihat ke? soal Siti Nurbaya saat mereka meluncur tersendat-sendat ke Kota Surabaya. ”Alhamdullilah. Selepas sekitar sebulan setengah di Bandung, kesihatannya sangat baik sekali. Sekarang dia tengah terbang ke luar Negara. Dia ingin merantau sendiri. Melanjutkan pelajarannya” jelas Munsyi. ”Kenapa? Rindu dekat dia ke?” senda Munsyi lalu disambut gelak Siti Nurbaya dan Sutiarni. "Wah Pak. Sejak Bapak dan Pak Bakri pulang, mbak Siti seperti sering rindu. Saya kurang pasti dia rindu sama siapa." seloroh terus Sutiarni. Namun Sharen seperti terpinga-pinga saat mendengar namanya Bakri. ”Bakri. Bakri yang mana?” bisik hati kecil Sharen. ”Mudah-mudahan bukan Bakri….” tambahnya untuk menyenangkan diri. Sudah hampir tiga bulan dia tidak mendengar khabar apapun dari Bakri. Jika tidak paling ngakpun, dua hari sekali pasti dia menerima pesanan ”Hai, apa khabar? Take care” darinya dia. Namun kini sudah hampir tiga bulan, sepertinya Bakri sudah tidak mengindahkannya lagi. Hilangnya di mana? Apa mungkin terjadi dengannya? Sharen biar acuh tak acuh tetap juga ada rasa peduli dalam dirinya. ”Bapak ke Surabaya ini, sebetulnya rencananya apa?” soal Sutiarni seperti memecah hening sebentar. ”Saya mahu ketemu sama Kadir dan Doyok. Kenal Kadir sama Doyok?” gurau Munsyi. ”Kadir dan Doyok itu adalah pelakun komidi Indonesia. Sama dengan P Ramlee, Aziz dan Sudin dalam filemnya Bujang Lapuk” perjelas Sutiarni kepada Siti Nurbaya dan Sharen. ”Apa Bapak mahu ke Madura dan Mojokerto. Mereka dari sana Pak” jelas Sutiarni lanjut. ”Saya ngak punya rencana apa-apa. Biasanya gitulah saya. Ngak mahu punya apa-apa rencana. Biar segalanya ‘suppries’’’ balas Munsyi. ”Kalau macam itu, Cik Munsyi ikutlah kami. Kamipun tidak ada rencana khusus. Saja nak jalan-jalan sehingga ke Kampungnya Sutiarni. Lagipun bolehlah belanja kita orang. Kita jenis ‘budget tourist je’” ajak Siti Nurbaya. ”Ya Pak. Pasti orang tua saya paling seneng jika Bapak bisa ikut sama. Ibu kepingin banget untuk mengucap syukur atas bantuan Bapak mempertemukan kami kembali.” usul Sutiarni separuh mendesak.

(6) Hati Sharen paling ngak kepenak. Ada debar. Ada resah. Ada seribu satu persoalan muncul mendadak. Siapa Cik Munsyi ini? Apakah dia orang Malaysia? Atau Indonesia? Rupanya, bukan ‘typical’ Malaysia. Pelat Melayunya tidak jelas. Bagaimana dia boleh dengan fasih bercakap dalam bahasa Melayu dan Indonesia? Banyak sekali sepertinya yang dia ingin tahu tentang manusia Munsyi ini, khusus tentang temannya yang bernama Bakri. Pagi itu dia tekad. Dia kepingin membuang jauh-jauh sikap menyepinya dia. Dia sengaja duduk setentang dengan Munsyi saat menikmati sarapannya. ”Maaf ya Cik Munsyi. Cik Munsyi sebenarnya datang dari mana?” soal mula Sharen. ”Saya dari Kuching. Anak jati Tanah Kenyalang” jawabnya singkat sambil memerhati tepat wajah Sharen. Ada gusar pada wajah itu. Ada rasa kaget pada riaknya. Munsyi cuba membaca firasat pada gerak anak mata Sharen. Siti Nurbaya dan Sutiarni hanya diam mengikuti terperinci bicara. ”Kenapa? Ada siapa yang Cik Sharen kenal di sana?” soal Munsyi lembut. Gemuruh darah Sharen melonjak. ”Cik Bakri, teman Cik Munsyi itu bukankah Bakri Iskandar dari Sara Holdings Bhd?” balas Sharen dalam gugup. Bicaranya antara dengar dengan tidak. Ada ketar. ”SubhannaAllah. Apakah aku sedang berdepan dengan Sharen yang telah merobah hatinya Bob? Bagaimana harus aku mendepani semua ini?” bisik Munsyi diam. Dia benar-benar bungkam. Pasti. Inilah Sharen yang telah memisahkan Bakri dari dirinya. Dia mencari akal. Dia tidak mahu merosakkan mood wisatanya teman-teman barunya. Juga dia mahu menyelidik lanjut apa sebetulnya terjadi dalam hubungan mereka berdua sehingga Bakri membuat U-turn dalam hidupnya. ”Bakri Iskandar, CEO, Sara Holdings Bhd, ya saya kenal dia, tapi dia bukanlah ‘Bakri’ yang kami maksudkan. ‘Bakri’ teman saya itu adalah Bakri Abu Bakar”. balas Munsyi dalam peluh dingin menahan lakunan kebohongan yang harus dia sembunyikan. Namun, Siti Nurbaya hampir saja mencelah, kerana Bakri Iskandarlah nama yang dia masih ingat sebagai tercatat dalam daftar pesakit di Hospital Al Nor dulu. Dia menahan diri saat melihat Munsyi mengenyit mata kepadanya dan Sutiarni. ”Yani, nanti, kalian jalan-jalan sendiri aja. Pasti kalian mahu ‘window shopping’. Saya mahu ke Gramedia. Nanti malam, kita nyeberang ke Madura. Pasti seru cantik Jambatan SuraMadu di waktu malam. Juga Selat Madura akan penuh berkunang-kunang dengan para bajak perahu nelayan. Saya sudah aturkan mobil. Supirnya udah siap menanti di ‘lobby’. Kalian gunalah mobil itu untuk ke mana saja”. usul Munsyi kepada Sutiarni. Sutiarni menganguk tanda setuju. Munsyi lantas bagun lalu mengiring Siti Nurbaya untuk mengambil sarapan tambahannya. ”Siti, I perlukan pertolongan you. Memang benar Bakri teman saya itu adalah Bakri Iskandar yang Sharen kenal. Sharen adalah gadis yang telah menimbulkan tekanan kepada Bakri sehingga dia menjadi begitu tenat dan akhirnya ‘kabur’ ke luar negara atas alasan untuk melanjutkan pelajarannya. Sebetulnya dia sedang ‘melarikan diri’. Dia sangat kecewa. You selidiklah dengan Sharen. Saya hendak jalan cerita sebenar. Saya akan jelaskan kedudukan sebenar nantinya selepas saya dapat maklumat jelas dari you”. pinta Munsyi berbisik kepada Siti Nurbaya saat mereka sama-sama memilih potongan buah-buahan. Siti Nurbaya mengeleng-geleng kepala. Dia kaget benar. ”MasyaAllah. Begitu hebat pukulan hati kecewanya manusia” bisiknya lembut. ”Yalah. Macam you juga, ‘lari’ sampai ke Saudi. Tolong ya. Mana tahu kita dapat membantu mereka untuk bersama.” pinta Munsyi ikhlas. ”InsyaAllah. Saya cuba. Tapi tidak terlalu buru-buru. Sharen sangat ‘reserve’ orangnya. Anginnya kena betul. Salah-salah rosak semuannya nanti.” balas Siti Nurbaya melirik senyum sambil melangkah penuh debar menghampiri Sharen. ”Lepas ini kita ‘shopping’ sakan. Ada orang ‘sponsor’” ujar Siti Nurbaya sambil menepuk-nepuk bahu Sharen lantas mengenyit mata kepada Munsyi. ”Wah. Biar bener sih. Amin banget Pak”. sampuk Sutiarni. Perempuan, umpannya adalah ‘shopping’. Bijak Siti Nurbaya. Munsyi memasukkan envelop ke dalam tas bimbit Siti Nurbaya. ”Jangan lupa, bawa Pak Supir makan sekali” pesan Munsyi lalu minta diri dan berlalu pergi.

(7) Malamnya penuh bintang-bintang bertaburan. Cuaca terasa kering. Namun hembusan bayu Selat Madura tetap dingin. "Yok kita makan Satay Kambing Madura di hujung sana" ajak Munsyi saat mereka sudah menyeberang Jambatan SuraMadu. "Assalamualaikum mbak. Kasi Satay untuk makan berempat. Juga bikin saya sup bebek garing ya." laung Munsyi kepada pemilik toko yang sedang santai menonton tv di kamar samping. "Sharen, Siti hendak cuba sup bebek, itek panggang garing. Sedap cicah dengan roti. Cubalah. Tidak hamis." usul Munsyi. "Bener mbak Siti. Enak loh. Pasti rugi kalau ngak ngicipi. Saya juga mahu satu." sokong Sutiarni. Sharen dan Siti Nurbaya saling berpandangan. "Cuba. Kalau tidak suka, nanti saya dan Yani habiskan" ajak Munsyi. "Pass Pak" terus sokong Sutiarni. Sambil makan, Munsyi berkira-kira bagaimana agar mereka semua saling mempercayai antara satu sama lain. Dia ingin membuat Ice Breaking. "Yani, gi mana orang tuamu. Udah ngak maksa menikah lagi? Atau kapan kamu mahu menikah?" soal Munsyi memancing Sutiarni. "Loh, Bapak. Kok ke situ bicaranya. Kedua orang tua saya udah ngak geger lagi pasal itu Pak. Dulu ya ia, kerana saya ngak punya kerjaan. Sekarang ya udah lain. Segalanya terserah kepada saya" balas Sutiarni penuh yakin. "Maaf ya kalau terpaksa membicarakan persoalan pribadi. Cuma kepinginn tahu deh" senda Munsyi terus. "Ya Yani. Mana tahu, Pak Munsyi boleh masuk meminang" balas Siti Nurbaya, dan itu membuatkan Sutiarni tersembur sup dari mulutnya. "Mungkin juga. Siapa tahu." sampuk Sharen. Semua tertawa. Munsyi tersenyum dalam hati. Ice Breaking sudah bermula. Pasti cerita selanjutnya akan lebih mudah untuk diucungkil. "Segalanya terpulang kepada Allah. Kita harus terima apa aja kudratNya" balas Sutiarni tersipu-sipu. "Wah Cik Munsyi, tangan sudah tidak bertepuk sebelah. Sementara kita ada di sini, kita 'up' sajalah. Nanti kita uruskan segalanya" seloroh Sharen terus. "Up apanya?" duga Munsyi. "Alah sudah gaharu cendana pula. Sudah tahu bertanya pula. Bukankah Yani sudah bagi bayangan? Cik Munsyi masuk sajalah. Kita jadi wakil peminangan" usul Siti Nurbaya sambil disambut tawa riang semua. "Loh jangan begitu dong. Itu maksa namanya." balas Sutiarni tersipu-sipu. Mukanya mulai memerah. Lirinya kepada Munsyi sudah lain. "Usah khuatir Yani. Kami cuma bercanda aja. Tapi yo ia. Kalau ada calun cowoknya, yo jangan tangguh-tangguh. Kudrat dari Allah. Kita mesti berusaha. Allah tidak menyerah apanya sebegitu mudah buat kita. Kita juga perlu berani mencuba. Soal kebahagian, itu soal gimana caranya kita mengurusin. Ngak apa-apa sih biar tukang beca sekalipun." perjelas Munsyi sedikit berat namun hati-hati. Sambil menggunakan Sutiarni, sebetulnya dia sedang memancing Sharen. "Tapi bagaimana kalau cinta itu tidak ada? Maksud saya, apa mungkin bahagia perkahwinan tanpa cinta?" soal Sharen tegas. Siti Nurbaya jadi agak tergamam dengan persoalan Sharen. Bernada berat. Pasti ada cerita baru di balik soalan itu. "Ini mungkin babak baru Laila Majnun antara dia dan Bakri." telah Siti Nurbaya. Sutiarni juga melirik tajam. "Cinta, kasih sayang dan bertanggungjawab adalah adunan sempurna. Namun dalam hidup, penuh kepincangan, kekurangan. Di situlah kebijaksaan jika akal dapat mengisi segala kekurangan secara wajar. Maksudnya, di dalam sebuah pernikahan, tidak semuanya harus ada secara 'package'. Yang paling utama dalam sebuah rumahtangga adalah adanya sikap saling cuba mengerti dan melengkapi, memperbaiki. Kita tidak boleh menuntut hak sendiri-sendiri. Tiang, bumbung, lantai, dinding, segalanya harus mulanya bersatu, maka barulah ianya disebut sebagai sebuah rumah. Kebahagian sebuah pernikahan, sebegitu jugalah ibaratnya, perlu dibina, bukan suatu pekerjaan pasang siap." perjelas Munsyi penuh hemah. Semua seperti terdiam. Hanya gembur ombak dan desir angin mengisi ruang. Sharen tertunduk. Siti Nurbaya seperti berkaca-kaca sinar matanya. Hanya Sutiarni melongok seperti ingin tahu terus. "OK. Kita cepat siap makan. Ayuh kita berjalan nyeberang Jambatan SuraMadu. Nanti Pak supir jemput kita dihujung sana. Kita buang peluh sedikit sambil menikmati dingin angin malam Madura-Surabaya" usul Munsyi buat memecah kesunyian. Sambil mendekat Siti Nurbaya, Munsyi berbisik "Kerja you selanjutnya sudah menjadi mudah. Tolong. Saya ingin penjelasan"

(8) Siti Nurbaya dan Sharen adalah satu persahabatan yang terjalin hasil pertemuan di Pesta Perlacungan Melaka sedikit waktu dulu. Semasa itu kebetulan, Siti Nurbaya menghadapi masalah tempat menginap, lalu dibawa Sharen tinggal di rumah sewanya untuk beberapa hari. Waktu itu, Siti Nurbaya juga sedang menghadapi ribut rumahtangga yang amat payah. Melaka dia pilih tempat melepas resahnya. Sepertinya, dua wanita satu hati, sama-sama sedang melalui kehampaan cinta kasih, masa itu Sharen sedang berduka hati kerana hajat suntingan Mohd Shafiq ditolak bapanya, mereka terus menjalin silaturahim paling akrab. Mereka saling membuka rahsia hati. Perlahan-lahan mengisi kepolosan dengan sebuah persabatana sejati. Saban hujung minggu pasti mereka berdua akan mengambil peluang bersama berhibur hati. Mereka berusaha keras ingin melupakan apa yang disebut mimpi indahnya cinta. Mereka bergandingan cuba menidakkan dunia percintaan. Namun sejak Siti Nurbaya kabur ke Saudi, maka Sharen seperti hilang sendiri-sendiri. Jiwanya tertekan hebat kembali. Dia seperti kehilangan tempat berpegang. Dia hanyut. Namun Allah tidaklah kejam kepada UmmahNya, ada waktunya, saat Siti Nurbaya ada kesempatan berlibur panjang, Sharen adalah teman akrab yang akan sentiasa menemaninya ke mana juga. Kali ini, Surabaya adalah pilihan mereka. Kebetulan Sutiarni kenalan sekerja Siti Nurbaya mengundang mereka ke sana. Dan sepertinya, segalanya, terencana oleh Allah, Munsyi yang tengah tersentuh kehilangan teman akrab juga adik angkatnya, turut berada bersama-sama mereka. Sepertinya empat kekosongan sedang bersatu, apa mungkin Surabaya bisa mengisinya? Apa mungkin ketentuan Allah selanjutnya?

(9) Tidur Sharen malam itu diulit seribu satu macam persoalan. Kata-kata yang diucapkan oleh Munsyi tadinya seperti sedang menyelimut tubuhnya. Meresap lalu menyucuk-nyucuk jantungnya. Terasa pedih. Beberapa kali dia bangkit lalu ke kamar kecil. Siti Nurbaya dan Sutiarni sadar akan kegelisahannya. Lantas mereka bangun dan mulai saling bercerita. "Kenapa ini? Gelisah macam kucing hendak beranak saja?" soal Siti Nurbaya saat Sharen kembali semula duduk di kantilnya. Wajahnya jelas pucat kusam. Hidungnya sentiasa berair. Bola matanya kelihatan memerah. "You demam ke?" soal Siti Nurbaya lanjut. "Tidaklah. I tak boleh tidur. Entah. Tak tahu kenapa?" jelas Sharen sambil cuba membelek-belek sebuah novel di sampingnya. "Putus cinta lagi? Apa pula kali ini?" tebak Siti Nurbaya ringkas. Dia menduga inilah waktu paling tepat untuk membongkar kisah barunya Sharen. "Kita 'order' susu anget sama 'French Fries' mahu ngak? Lapar sih" ujar Sutiarni yang terus saja dengan cepat mendial Room Service biar Siti Nurbaya dan Sharen belum memberi jawaban. "Kalau mau ngobrol, perut biar jangan laper. Nanti kemasukan angin, bisa pusing kepala." perjelas Sutiarni lanjut. "Baik kalau 'you just talk out'. Jangan khuathir, Yani dia boleh dipercayai. Dia boleh simpan rahsia. 'Sporting' juga" jelas Siti Nurbaya bagi meyakinkan Sharen. "InsyaAllah mbak Sharen. Saya juga nanti bisa kongsi cerita yang parah juga. Mudah-mudahan kita saling bisa membantu." sambut Suitiarni mendokong. Sharen terdiam sebentar. Dia mendesah. Berat sekali nafasnya. "I rasalah Cik Munsyi tidak bercakap benar tentang temannya dia si Bakri. I percaya itulah Bakri yang I kenal. Segala hujahnya tadi itu seperti berkias kepada I rasanya." bisik Sharen dalam keluh yang dalam. "I risau. Sudah hampir-hampir tiga bulan I tak dengar berita darinya. SMS dan 'call' I pun dia tak jawab. I tak nak kerana I dia jadi tidak tentu pasal. I tidak hendak menanggung dosa. Dia tidak faham kedudukan I." rintih Sharen lanjut dengan air matanya mula berlinangan. "Cuba you cerita apa sebenarnya yang terjadi. Mungkin kita boleh saling membantu, paling tidak mungkin kita boleh berbincang dengan Cik Munsyi, mana tahu dia juga ada caranya untuk membantu. I rasa dia seorang yang bertanggungjawap." pujuk Siti Nurbaya.

(10) "Kira-kira setahun lebih yang lalu, I berkenalan dengan Bakri. Kami saling berhubungan biar banyak hanya melalui SMS. Dia mencurahkan rasa hatinya. I bukan tak suka. I suka. I bersyukur sangat. Itulah niat hidup I. Tapi I takut kami akan dikecewakan oleh 'parent' I. Dia sedikit lebih berumur. Jauh beda umur kami sebetulnya. Dua puloh tahun berbeda. Dia duduk dan kerja pula di Kuching. Jauh tu. Budaya pula mesti berbeda. Emak I rasanya paling tidak setuju I duduk jauh-jauh. Hati memang serasi. Tetapi keadaan menjadi batu penghalang. I tidak sanggup untuk 'derhaka' kepada emak. I dahlah 'berperang' dengan abah pasal kes dulu-dulu. Kerana ini, nanti I terpaksa pula 'bergaduh' dengan emak I. I tak sanggup. Paling I takut, I tidak sanggup untuk kecewa lagi. Sakit. I tak hendak sakit macam dulu-dulu lagi. Sebab itulah I takut untuk memberikan kata pasti. Sepertinya Bakri, dia 'menghilang diri' mungkin kerana kecewa atau apa? I berharap tidak ada yang buruk berlaku kepadanya. I jadi cukup serba salah. Entahlah apa akan jadi dengan hidup I." jelas Sharen panjang lebar tersedu-sedu. Siti Nurbaya memeluknya erat. "Sabarlah. Tabahkan hati. InsyaAllah ada jalan penyelesaian" bisik Siti Nurbaya sambil mengusap-ngusap kepala Sharen. Dia merebahkan Sharen ke perbaringan dan menyelimutnya. Perlahan-lahan Sharen kembali tenang. Matanya kian kuyu. Jam sudah pukul 4.00 pagi. Dia hanyut seperti anak kecil dalam pelukan seorang ibu yang paling mengasih. "Ya Allah. Beratnya korban cinta" bisik Sutiarni di kasur sebelah. Di dalam benaknya dia terbayang seperti sedang menonton sebuah sinatron percintaan dua insan dari balik sebuah samudera luas. Jika hamparan lautan luas ganas direnangi, pasti lemas keduanya. Jika hati terus tertahan, pasti tumpah melimpah air mata menambah dalamnya lautan. Akhirnya, apapun pasti tengelam lemas juga akhirnya mereka. SubhannaAllah, besar sekali ujiannya Dia. Apakah akal akan tetap waras, dan jiwa akan tetap luhur, sebersihnya? Apa mungkin pengakhirannya?

(11) Munsyi yakin, pasti malam tadinya, hawa panas telah melanda kamarnya tiga gadis tersebut. Dia mencari-cari akal untuk mengendur segala. "Saya hendak sarapan dulu. Kalau Cik Siti sudah siap, kita minum sama" Munsyi menghantar SMS kepada Siti Nurbaya. "Baik, bagi saya sekitar 10 minit" balas Siti Nurbaya. Saat melihat Siti Nurbaya melangkah masuk, Munsyi yakin ketiga-tiga gadis tersebut perlukan masa rehat lebih. Mata Siti Nurbaya masih memerah tanda kurang tidur. Mukanya juga agak pucat. Langkahnya agak goyah. "Duduklah. Biar saya ambilkan kopi dan buah-buahan untuk Cik Siti. Hendak roti dan madu? Sebiji telur separuh masak saya rasa sangat baik untuk Cik Siti." usul Munsyi saat Siti Nurbaya sudah menghampir. Siti Nurbaya hanya mengangguk. Dia benar-benar lesu. "Wah. Sedap kopi ni. Segar. Kopi apa ya?" ungkap Siti Nurbaya saat dia menghirup kopi yang Munsyi hidangkan. "Itu kopi munsang. Blue Mountain Coffee. Keistimewaan di sini." balas Munsyi. "Makanlah buah-buahan dan telur separuh masak tu. Cik Siti akan rasa 'fresh' sedikit" ujar Munsyi lanjut. Wooh, mengantuk betul. Malam tadi Sharen memuntahkan semua. Kita tidurpun sekitar jam empat atau lima kot. Kedua-dua mereka masih 'terbongkeng' di atas sana tu. Saya terbangun sebab anak-anak saya 'call' kejap tadi" celah Siti Nurbaya sambil memaksa mengukir senyum. "Apa ceritanya?" desak Munsyi seperti tidak sabar untuk tahu. "Banyak perkara bercampur baur. Kisah dulu-dulu, cinta terhalang hebat oleh orang tua. Itu mengjadikan dia takut untuk menaruh hati kepada sesiapa. Kemudian kekecohan rumahtangga orang tuannya. Mereka seperti sedang perang dingin kerananya. Dia benar-benar dalam keadaan serba salah. Sukar untuk menentukan antara kehidupan diri dan kebahagian keluarga. Pokoknya dia menghadapi dilema anak manja sandaran kedua ibu-bapa. Dia sangat sukar untuk memilih antara kasih ibu-bapa dengan cinta kasih kekasih." jelas Siti Nurbaya penuh hati-hati. Wajahnya membayangkan kesedihan yang amat dalam. Dia benar-benar sedih kerana dia sangat mengerti kesedihan demi kesedihan yang terus melanda temannya Sharen. Dia mengeleng-geleng kepala. Beberapa titis airmatanya jatuh masuk ke cawan kopinya. Munsyi jadi tertegun. Dia mencapai beberapa helai kertas tisu lalu mengelap airmata Siti Nurbaya. Sedang tangan kirinya sudah mengengam meramas-ramas erat tangan Siti Nurbaya. Semuanya berlalu tanpa sadar."Lebih baik Cik Siti sambung berehat dulu. Nanti kalau semua sudah siap, kita keluar cari makanan Jawa paling istimewa. Ayuh, kita naik dulu. Saya buat sedikit 'research' tentang tempat-tempat menarik yang harus kita lawati. Kita cari angin ke luar Kota sedikit" usul Munsyi saat sedu Siti Nurbaya sudah mulai reda. "Terima kasih" bisik Siti Nurbaya lembut. Mereka berjalan diam tertunduk. Hati Siti Nurbaya jadi benar-benar tersentuh. Berbaur sedih antara Sharen dan nasib dirinya. Jadi sebel hebat. Dia menangis. Benar-benar menangis. Tanpa sedar, dia merangkul lengan Munsyi lantas terus mendekap ke dada Munsyi saat mereka sedang menanti 'lift'. Munsyi tergamam sejenak. Segera dia menarik nafas panjang. Dia mengumpul diri. Dia merangkul tubuh Siti Nurbaya yang seperti terhoyong hayang akan rebah. Dia mengusap-ngusap belakang Siti Nurbaya. "Sabarlah. Kuatkan diri. Kita bantu Sharen dulu." bisik Munsyi membujuk. Siti Nurbaya mendongak menatap Munsyi. Matanya antara terbuka dan tidak. Kuyu. Airmatanya sangat lebat. Munsyi menyapu bersih dengan saputangannya. Munsyi menghantar Siti Nurbaya sehingga ke pintu kamarnya. Kemudian dia terus ke Busiuness Center untuk menyelidik tempat-tempat menarik yang dapat melapang dan mungkin mengilhamkan semua.

Photos of Suroboyo Monument, Surabaya(12) Sekitar jam 1.30, Munsyi mendapat pesanan. "Kita lapar. Cik Munsyi di mana? Mari, belanja kita makan.". Munsyi yang kebetulan ada di kamar sedang meneliti beberapa buah buku, terus bingkas dan berkemas. "I ada di 'lobby' dalam lima minit lagi. Kita makan di luar dan kemudian terus jalan-jalan. Bawalah apa yang patut dan mungkin kita kembali agak lewat malam" balas Munsyi. Bila semua sudah berada dalam mobil, Munsyi menyaran mereka makan Rujak Uleq, makanan istimewa masyarakat Jawa Timur. Kemudian mereka lalu ke Masjid Ampel di sekitar daerah Pasar Arab dan Iran. Di Ampel, sedang para cewek sibuk jajanan Munsyi menghabiskan masa dengan cuba menyikap kehadiran masyarakat Arab dan Iran di situ. Asalnya mereka adalah masyarakat pendakwah, kemudian terus bergiring datang masyarakat perniagaan. Di sinilah kebanyakan masyakat Arab dan Iran diam dan berniaga sehingga ke hari ini. "Kita ke Monumen SuroBoya hendak tak?" saat ketiga cewek merapatinya yang sedang duduk di 'lobby' Masjid. "Kita ikut saja" balas Sharen ringkas. Yang kelihatan diam. "You all tahu tidak, Surabaya itu asalnya dari mana?" tanya Munsyi saat mereka semua sedang berada di pelataran Monumen. Yani kelihatan tersenyum-senyum, membiarkan hanya Siti Nurbaya dan Sharen untuk menjawab persoalan Munsyi. "Dulu, sekitar tahun 1,200an, Kublai Khan, cicitnya Ghengis Khan, selepas dia menawan China, dia hendak menyerang dan menawan Jepun pula. Sebilangan dari armada lautnya pula belayar ke Nusantara, dan kebetulan hendak menyerang Tanah Jawa bermula dari daearh sini. Maka berlaku bertembungan hebat antara pahlawan Jawa dan para hulubalang Kublai Khan. Tentera Kubli Khan kalah teruk. Peperangan itu disebut sebagai Perperangan Jerung melawan Buaya. Pasukan Jerung adalah pasukan Kublai Khan sedang pasukan Buaya adalah bala tentera Jawa. Jerung di sebut Suro dalam istilah Jawa sedang Buaya adalah Boyo. Maka nama asli Surabaya adalah Suroboyo, mengambil nama peperangan tentera Mongolia-Jawa." perjelas Munsyi panjang lebar. Kedua-dua Sharen dan Siti Nurbaya berpaling melotot melihat Sutiarni yang tersenyum-senyum sambil bertepuk tangan. "Ya itu metosnya Pak. Bapak hebat bikin penyelidikan. Bener sekali." bicara Sutiarni girang. "Saya haus. Kita ke Kembang Jepun. Kita minum petang di sana mahu?" soal Munsyi saat semua seperti kelihatan agak layu keletihan. "Bagus itu Pak. Saya sudah lama ngak ke sana. Di sana banyak tempat makanan lokal yang enak-enak."

(13) Hari kian sore. Deretan meja sudah memenuhi Kembang Jepun. Ibarat Jalan Tuanku Abdul Rahman di hujung minggu sepertinya. Saat sudah masing-masing melabuh diri, Sutiarni membuka sejarah. "Kota Surabaya, asalnya bermula dari sini, di Muara Sungai Mas atau juga disebut Kalimas. Sungai ini menjadi medan pemisah antara Timur dan Barat di zamannya penjajahan Belanda. Di sebelah Barat dihuni oleh pendatang Belanda dan sebahagian Melayu, sedang di Timur oleh masyarakat Arab dan Melayu. Sedang di Selatan pula oleh masyarakat Tionghoa. Titik pemisah kepada segala penempatan ini adalah apa yang dinamakan sebagai Kembang Jepun, yang dulu di zaman Belanda di sebut sebagai Handelstreat iaitu Pusat Bandar. Di zaman pendudukan Jepang, Handelstreat berubah menjadi Night Street bagi segala Kembang dan Kumbang Jepun berpesta menjamu nafsu, maka akhirnya kekallah sehingga kini menjadi Kya Kya Kembang Jepun.". Sambil mendengar Sutiarni berbicara, Munsyi melambai tangan mengamit pelayan. "Neng, kasi saya kopi tumbruk es, satu porsi sup bebek sama roti. Sharen, you hendak kopi tubruk es sama dan cuba sedikit kueh-kueh tempatan. Jangan makan berat sangat. Nanti kita makan malam lagi...." sebelum sempat Munsyi menghabiskan pesanan, Sutiarni menyampuk: "Aduh Pak. Sama Sharen aja ditawarin. Kok saya sama mbak Siti ngak dipedulikan" disambung gelaknya yang menghiburkan. Siti Nurbaya ketawa sama. Sharen melirik tajam kepada Sutiarni. "Kamu. Saya bukankah belum habis ngomongnya. Saya teka. Kamu mahu teh hijau es sama sup bebek dan roti. Apa bener?" soal Munsyi sambil tajam merenung mata Sutiarni. "Bapak jangan ngelihat saya begitu sih. Bisa gemes saya. Ya. Terserah. Pokoknya Bapak traktir. Mbak Siti gi mana?" balas Sutiarni sambil tertawa nyicil. "Sebentar lagi acara dangdut dan segala musik akan bermula. Bapak ngak mahu dangdut bersama kita. Atau Bapak mahu ngecari 'Kembang Jepun'" usik Sutiarni saat beberapa toko dangdut sudah mulai beroperasi. "Wah. Capek saya. Tiga lawan satu. Saya lebih suka mendengar dari ikut joget. Kemeringet. Ngak tahan. Kalau kalian mahu, yo silakan. Selepas ini saya mahu ke Mushola dulu. Sekitar jam 7.30 kita ketemu lagi di sini. Kita jalan-jalan ngelihat jualannya di sini nanti" balas Munsyi.

(14) Saat keluar dari Mushola, Munsyi melihat Sharen sudah terpacak menanti di samping gerbang masuk. "Mana Siti dan Sutiarni?" soal Munsyi. "Dia orang jalan-jalan. Uzur. Nanti jam 8.00 baru mereka bertemu kita di depan sana tu" balas Sharen sambil menuding ke arah sebuah Cafe bertentang dengan Mushola. "Kalau gitu, kita jalan-jalan dululah" ajak Munsyi. Sharen manut. Diam. "You macamana?" soal Munsyi cuba memecah sepi. "macamna yang macamana?" soalnya mematikan. "Maksud I, you sihat ke? OK ke dengan perjalanan kita ini? Maksud I you seronok ke?" balas Munsyi cuba mencungkil dalam. "I yakin Siti Nurbaya sudah ceritakan dekat you segalanya. Entahlah" balas Sharen sedikit mengeluh. "Tidak mengapa. I rasa you cuma perlu masa agak panjang sedikit. Mungkin juga perlu pergaulan yang agak luas, supaya you boleh membandingkan segalanya, agar you menjadi bertambah yakin mengenai pendirian you kemudiannya. InsyaAllah" balas Munsyi cuba mendokong. "Mungkin. InsyaAllah. Terima kasih sebab you faham...cuma.." balas Sharen terputus saat Sutiarni sudah melalak memanggil-manggil dari jalan seberang."Yok kita ke Plaza Surabaya aja. Ngak ada apanya di sini" usul Sutiarni saat mereka sudah bergabung. "Apa mau 'shopping' atau apanya?" soal Munsyi ingin pasti. "Udah capek Pak. Kita makan-makan sambil dengar musik. Mungkin mbak Siti sama Sharen mau ke Spa?" ujar Sutiarni. "Kita ke Kartini Restoran aja di Surabaya Plaza Hotel. Spa dan bar juga ada di sana" balas Munsyi.

(15) Kebetulan di Kartini Restoran ada unplug musik, jadi Munsyi mengambil keputusan untuk terus berada di restoran saja sedang Sutiarni dan Siti Nurbaya ke Spa. Sharen tampak gelisah tidak tahu hendak ke mana. "Kita tunggu di sini saja. Mungkin boleh sambung borak kita tadi." usul Munsyi kepada Sharen. "OK. Kalian ngobrol-ngobrol pacaran dulu ya. Kita mijet 90 menit" teriak nakal Sutiarni sambil melambai berjalan lalu bersama Siti Nurbaya. "OK. Kita sambung lagi. Apa yang you hendak tanya tadi?" soal Munsyi. "Oh. I hendak kepastian dulu dari you. Betulkah Bakri teman you itu bukan Bakri Iskandar, CEO Sara Holdings Bhd?" tanya Sharen dengan memandang tepat ke muka Munsyi. Sambil menarik nafas panjang, Munsyi membuka bicara: "Ya dia adalah Bakri Iskandar yang you maksudkan. Jadi...". Sharen sedikit berubah wajah. Dia tampak agak tidak selesa. Munsyi cuba mencari akal untuk menenangkan keadaan. "Maaf. Saya hendak ke bilik air sebentar" pintanya lantas berlalu pergi. Sambil kemudian dia menghampiri kumpulan Trio Unplug lalu menghulur berapa keping kertas merah jambu Rupiah, dia meminta mereka untuk membawa lagu-lagu Kerocong Pop. Sekembali semula ke meja duduknya, Munsyi dapat melihat Sharen sudah agak ceria serta mengikuti dengan asyik musik yang dialunkan oleh Trio Unplug tersebut. "Suka musik ya?" tanya Munsyi mencelah. "Ya jenis sentimental. Lembut. Tapi tidaklah 'odies". balas Sharen sambil terus melempar pandang kepada Trio tersebut. "Di mana Bakri sekarang? Dia buat apa?" soal Sharen memecah diam bicaranya mereka. "Dia ke luar negara sebenarnya. Dia hendak memperlajari Bahasa Arab disamping cuba belajar menyelidik dan menulis. Kemudian dia hendak merantau, ke daerah-daerah asal penyebaran Islam, entah belum tahu berapa lama?" jawab Munsyi sugul. "You memang kawan baik dia? soal Sharen. "I kenal dia, empat tahun sebelum kelahirannya. Maksud I, I adalah anak angkat kepada orang tuannya. Kami seperti adik beradik" jelas Munsyi memandang tepat mata Sharen. Sharen menunduk. Dia mengeluh. Alunan musik sudah samar-samar melintas ke telinganya. "Sempitnya dunia ini" bicara hatinya. "Semasa di Mekah, dia kena serang 'minor stroke dan pneumonia'. Alhamdullilah, semuanya berjalan baik. Kesihatnnya pulih tanpa perlu rawatan berat. Sebulan kami menjalani 'physio-therapy' di Bandung. Hampir-hampir tiga bulan kami bersama merantau untuk mencari erti sebenar kehidupan masing-masing. Alhamdullilah. Dia mahu mengembara dan menulis. Dia sudah meletakkan jawatannya. Saat you mendarat di Jakarta tempoh hari, dia sebetulnya sedang berlepas ke Kaherah." perjelas Munsyi dalam nada yang amat sedu. "SubhannaAllah" keluh Sharen terus menunduk. Airmatanya menitis. "Dia jadi begitu kerana kecewa? I mengecewakan dia? I rasa sangat bersalah....adakah dia akan kembali semula ke Tanahair" bisek Sharen dalam isak tangis tertahan-tahan. "You tidak perlu menyalahkan diri. Tidak ada kesudahannya. InsyaAllah dia akan kembali. I juga yakin, dia telah menemui dirinya yang sebenar. Cuma kini, pasti dia sangat perlukan masa untuk terus mengembara dan membina diri. Redha dan doakan saja kejayaan baginya. Dan You teruskan hidup you sebagaimana yang you rasa paling sesuai." usul Munsyi membujuk.

(16) Munsyi sebagai tabii azalinya. Dia suka mengamati. Dia ingin menserasi firasat dan kebenaran. Dia memerhati rapat gelagat Sharen. Cara dia duduk. Cara dia makan. Cara dia berjalan. Cara dia berdiri. Cara dia berbicara. Cara dia berpakainan berdandan. Senyumnya. Tawanya. Segala riak wajahnya dalam tika keadaan yang berubah-ubah, Munsyi ikuti rapat. Kebersamaan selama sekitar empat hari ke Mall, ke tempat-tempat wisata, serta mengembara ke kawasan-kawasn gunung di Mojokerto di desanya Sutiarni, Munsyi terus memerhati segala Bahasa Badannya Sharen, juga Siti Nurbaya dan Sutiarni. Akhirnya, perlahan-lahan dia mengumpul rasa. Sharen, pribadinya dia. Gadis yang lembut tapi keras. Biar keras tapi rapuh. Kelembutannya adalah naluri ingin dikasih dan mengasih, dua sifat terbentuk halus dalam didik anak manjaan kedua orang tuanya. Sedang kerasnya adalah sifat menantang saat nalurinya tidak kesampaian. Dia paling pantas merajuk. Untuk melembutkannya, dia perlu dipujuk. Di situlah rapuhnya dia. Sememangnya sebegitulah azalinya perempuan: lembut, dalam keras, rapuh saat tepat segalanya. Namun, rasa harga dirinya juga tinggi. Boleh menjadi ego yang menjulang. Berbaur antara ego dan kerasnya dia, maka, pantang dia mengalah. Biar sakit menahan, dia tetap tidak mengaku kalah. Bukan kerana dia tegar. Bukan kerana dia degil. Bukan kerana dia keras hati. Dia hanya ingin mempertahankan egonya. Harga dirinya terlalu berharga. Syukur, jika tergabung dengan Iman, dia boleh bertahan pada keImanan yang kental. Wajahnya yang mudah cerah. Pengamatannya yang hati-hati. Bicara dan langkah yang cukup waspada, adalah gambaran keupayaan tegar Iman dalam dirinya. Pandangan hidup dan tujuan kehidupannya menjadi amat menjurus, specific. Sifat paling introvertnya mempengaruhi segala. Dia lebih banyak menyimpan dari berbicara atau mempamir display. Angan-angannya tinggi, namun mudah juga pudar saat galang introvert mangasak terus. Jadinya, dia lebih damai sendiri-sendiri. Falsafah kebahagian hidupnya pasti sangat exlusive, sendiri, memencil dalam lingkungan sendiri. Sharen, lembut, keras, rapuh, 'introvert', 'exclusive', namun jika betul segalanya, pasti paling setia. Ibarat sebuah ladang Sharen adalah lembah exclusive untuk tanaman exclusive dan perlu diurus secara exclusive.

(17)"SubhannaAllah. Bob, Allah itu terlalu sayang akan engkau. Tertakdir engkau telah bersama Sharen, apa mungkin kalian saling cocok? Apa tidak mungkin kehidupan kalian akhirnya membakar bagai api dalam sekam. Engkau adalah anak Kampung yang merdeka. Engkau menentukan aturan hidupmu sendiri. Bebas bagai helang meninggi ke angkasa. Sedang Sharen adalah anak manja yang belum bisa membebaskan dirinya. Jika engkau benar-benar ingin jadi penulis, penyelidik, pengembang ilmunya Islam, jalan hidupmu pasti bukan jalan hidup yang mudah. Jika engkau tidak zuhud, pasti sukar untuk engkau merasa. Payah untuk engkau menyatakan yang sebenarnya. MasyaAllah. Sepertinya, aku sedang berdepan antara engkau sebagai Umar Al Khataab dan Sharen sebagai Umm Kulthoom Ibni Abu Bakar. Siti Khadijah Al-Kubra yang engkau cari, Umm Kulthoom Ibni Abu Bakar yang engkau lewati. Keserasian kalian bagai jauh panggang dari api" renung Munsyi panjang saat dia terbang pulang meninggalkan ketiga-tiga gadis yang sudah tersentuh rasa dari kehadiran sebentarnya dia. Sebelumnya, saat berpamitan, paling resah adalah Siti Nurbaya. Sempat dia berpesan agar Munsyi mmemanjangkan salamnya buat Bakri. Sedang Sharen, hanya diam membisu, dalam riak penuh tidak pasti. Sutiarni, esaknya ngak karuan. "Apa harus aku perbuat? Diam? Biarkan Allah, lewat waktu dan keadaannya mengatur segalanya? Ya Allah. Tetaplah kami pada jalan terang dan lurusMu. Bantulah kami menempuh jalan samar hidup ini?" rintih hati kecilnya Munsyi, sambil dia cuba memejam mata menikmati deru enjin terbo pesawat MAS membelah angkasa Selat Melaka.

Terasi, Pendam, Sarawak
26 Okt., 2012-1 March, 2013

#Abdullah Chek Sahamat

Writing that complies Bizarre, Odd, Strange, Out of box facts about the stuff going around my world which you may find hard to believe and understand

4 comments:

Abdullah Chek Sahamat said...

Saya menerima beberapa SMS dari teman-teman, yang menyoal kenapa harus saya menulis Jalann Otak Kanan saya ini mirip gaya penulisan Indonsia terutama dalam penggunaan istilah-istilah tertentu.

Apapun saya akan cuba memberikan makna perkataan Indonsia (Jawa sebetulnya) yang banyak saya gunakan, cuma saya masih memikirkan caranya agar ianya tidak menjadi sebuah kamus pula.

Soal kenapa, saya memikir, apa harus saya hanya tahu membuat apa yang saya tahu buat, seperti ngopi dan ngobrol atau lebih baik saya belajar tentang segala jenis kopi lalu bgobrol prihal kopi-kopi itu? Natijahnya, tidakkah lebih baik saya membuat apa yang mesti saya perbuat dari hanya membatasi diri saya kepada yang hanya tahu saya buat. Kedua-dua pasti ada pengertian tersendiri lewat masanya nanti. Allah Maha Tahu, saya menduga.

Abdullah Chek Sahamat said...
This comment has been removed by the author.
Anonymous said...

Im ok to read either in Indonesian or Malaysian. Love to read your writing... take care

balqiswilson said...

Assalamualaikum saudara penulis...
Post terbaru menyingkap tabir jendela 2013...post kedua akhir bertajuk banyak seperti memilih untuk susah bertarikh 8.12.12. Manakala yang terakhir merupakan draft update 21.12.12mengapai ke langit jejaknya di mana.
Adakah saudara sedang berpergian...
Saya yakin ramai pembaca menanti dengan penuh debaran akan kehadiran lembaran baru sempena tahun 2013.
Mungkinkah ianya akan berwajah baru..penuh warnawarni..penuh ceria..apapun pastinya ia tetap menghiburkan hati semua pembaca.
Pastinya ada wadah perjuangan yang akan dibekalkan buat anakmuda tercinta.Pastinya ada keberanian kental dan daya juang untuk anak bangsa yang berdaulat.
Semangat padu bersama usaha yang mekar mengigih menjadi harapan dan sandaran penulis untuk bunga bangsa masa hadapan.
Bangunlah wahai putera puteri yang sedang enak dibuai mimpi..masa berlari pantas tanpa menanti sesaat.
Sedarlah,kamu diamanahkan sebagai penyambung generasi dimasa hadapan..
Sebagai warisan azimat yang begemerlapan..
Penulis umpama sebutir berlian yang sangat berharga.Masih adakah yang belum menyadari akan kehadiran kilauan permata itu?
Ia adalah satu anugerah Illahi yang sangat bernilai.Ilmunya sebagai benteng kehidupan semua, perjuangannya,sumpahsetianya memertabatkan bangsa paling utama.
Bagi saya,tulisannya umpama laut biru yang luas,begitu indah...
membuatkan hati tenang,bahagia dan damai..
seperti terasanya ombak di gigi pantai menyapa kaki..sejuk..nyaman..dan dingin..
seperti angin laut sedang membelai..mendengarkan deruan nyanyian ombak..tenang..
Tepat kata pantun melayu lama dan baru:

Yang korek itu kendi,
Yang merah itu saga,
Yang cantik itu budi,
Yang indah itu bahasa.

Keringat mencurah dek panas mentari
Budi ditabur tidak terkira,
Insan pergi mengadap Ilahi,
Bakti dikenang sepanjang masa.

Selamat menyambut 1.january.2013 buat saudara penulis dan semua pembaca setia...Tq.

Copyright © 2010 abc sadong™ is a registered trademark.

Designed by Access. Hosted on Blogger Platform.